Lek Minto itu adalah tipe sahabat sejati dan teman setia di tongkrongan. Karena itu, dia lebih sering menghabiskan waktunya di warung kopi perempatan bersama sebagian besar Bapak-bapak kampung dibandingkan menemani istrinya di rumah. Kesalahan itulah yang aku manfaatkan untuk bisa menjebak Sri ke dalam pelukanku.
Semuanya berawal dari kejadian beberapa bulan lalu.
Meskipun berdinding papan kayu dan berlantaikan plesteran, tapi listrik memang sudah mengalir ke rumahku. Tapi, demi menghemat pemakaian listrik, keluargaku tak memiliki televisi dan hanya memiliki sebuah radio kecil untuk sarana hiburan kami. Satu-satunya kebutuhan vital akan tenaga listrik di rumah kami adalah untuk penerangan.
Dan sama seperti nasib kampung-kampung lainnya, listrik di kampung kami, mirip-mirip dengan undian berhadiah. Kami tak tahu kapan tiba-tiba listrik akan padam dan rumah kami menjadi gelap gulita. Malam itu pun sama.
Saat listrik padam, Bapak dan Ibu terbangun untuk mencari lilin sebagai ganti penerangan. Memang sudah seperti biasanya seperti itu dan semua itu normal bagi kami. Tapi setelah beberapa menit mencari, mereka baru sadar, ternyata lilin kami sudah habis dan tak ada sisa lagi.
“Le, ke warung Lek Minto sebentar, belikan lilin,” titah Bapak malam itu.
Aku melirik ke arah jam dinding dan melihat jarum pendek sudah melewati angka sepuluh sedangkan jarum panjang menunjuk ke angka enam. Bukankah itu artinya sekarang setengah sebelas malam?
“Sudah jam segini Pak, apa warung Lek Minto masih buka?” tanyaku dengan mata setengah terpejam karena hawa kantuk yang belum hilang.
“Nggak pa-pa nanti kamu dodok aja,” jawab Ibu menambahi perintah Bapak.
Mau tak mau, aku pun akhirnya meraih ke sarungku dan menggunakannya untuk menyelimuti tubuhku demi melawan dingin yang sebentar lagi akan kurasakan saat keluar dari rumahku. Singkat cerita, dengan mata yang sudah terbelalak dan tak lagi mengantuk karena serangan hawa dingin di kampungku, aku kini sudah berdiri di depan warung Lek Minto.
Tok tok tok.
Aku mengetuk pintu warung Lek Minto yang sudah jelas tutup itu. Aku menunggu selama beberapa detik dan tak mendengar ada jawaban dari dalam.
“Leeeekkkk…” aku mulai memanggil dengan suara keras ke arah dalam rumah, siapa tahu suaraku mengalahkan kerasnya suara ketukan di pintu tadi.
“Leekkkkkk… Beli lilin…” teriakku lagi setelah beberapa saat tak ada sahutan.
Aku lalu mencoba mengintip di antara sela-sela papan ke dalam warung Lek Minto dan melihat kalau suasana di dalam warung Lek Minto gelap gulita. Tak ada lilin dinyalakan di dalam sana. Itu artinya, Lek Minto dan Lek Sri pasti sudah terlelap tertidur dan tak terbangun saat listrik padam barusan.
“Sudahlah,” kataku menyerah setelah memperkirakan jika Lek Minto atau Lek Sri masih terlelap di alam mimpi mereka.
Tapi…
Kalau aku kembali dengan tangan kosong, aku yakin Bapak dan Ibu pasti akan ngomel-ngomel dan ujung-ujungnya aku nggak akan bisa melanjutkan tidurku. Mending aku di sini dulu dan berusaha mendapatkan lilin itu dengan cara apa pun.
Aku mulai memutar otakku dan mendapatkan ide lain. Rumah tradisional di kampung kami dibangun dengan tata ruang yang hampir sama semua. Aku menduga kalau kamar Lek Minto ada di sebelah samping kanan rumahnya. Kalau aku mengetuk di kamar Lek Minto, aku yakin dia pasti bangun.
Aku lalu berjalan ke arah samping rumah Lek Minto dan menemukan jendela kamar yang aku yakini merupakan kamar Lek Minto. Tanpa basa-basi, aku langsung mengetuk daun jendela kamar itu dengan sedikit keras.
Tok tok tok…
Tak ada sahutan. Aku mengulanginya lagi.
Tok tok tok…
Krusek, krusek.
Kali ini aku mendengar ada pergerakan di dalam kamar. Kalian jangan bertanya darimana aku bisa mendengarnya. Ingat, rumahnya cuma berdinding papan, apalagi ini tengah malam yang hening, jelas saja aku bisa mendengar ada pergerakan di dalam kamar sana.
“Bentar Mas, Sri bukain pintu belakang.”
Lho? Kok Lek Sri manggil aku Mas? Lagian juga kok bukain pintu belakang?
Deg.
Tiba-tiba, entah darimana, sebuah pikiran melintas di kepalaku dan membuat tubuhku memanas seketika. Jangan-jangan Lek Minto belum pulang ke rumah dan Lek Sri menganggap aku suaminya?
Kalau begitu… Mungkin saja aku…
Sebuah pikiran jahat muncul di kepalaku dan tak bisa kubuang lagi. Apalagi setelah mengingat kalau kondisi di dalam rumah Lek Minto yang gelap karena tak ada lilin yang dinyalakan.
Kalau aku pura-pura jadi Lek Minto…
Aku bisa…
Arghhhhhh.
Tombakku langsung tegang berdiri memikirkan rencana mesumm yang tiba-tiba memenuhi kepalaku.
Tenang…
Tenang…
Aku menarik napas berkali-kali dan berusaha menenangkan gejolak yang sekarang menguasai tubuhku ini. Tapi, semakin berusaha kutekan, desakan itu semakin menguat tak terkendali. Dengan tubuh gemetar, aku berjalan menuju ke pintu belakang rumah Lek Minto dan menunggu.
Cklek.
Pintu belakang rumah terbuka dan saat itulah semua pikiran baik yang melarangku untuk berbuat keji kepada Lek Sri lenyap seketika.
Di depanku, seorang wanita berdiri sambil memeluk tubuhnya sendiri. Dia mengenakan daster bermotif bunga-bunga yang tinggi roknya sepaha dan memperlihatkan kemulusan kakinya. Wajahnya terlihat masih dikuasai oleh rasa kantuk dan rambutnya sedikit acak-acakan, tapi justru menambah kesan liar dan seksi darinya.
Dan yang paling membuatku terpesona adalah dua buah gundukan yang membusung tinggi karena ditekan oleh kedua tangannya sendiri begitu menantangku seolah memintaku untuk menjamahnya.
“Lho?” Lek Sri terlihat kaget ketika melihat bukan suaminya yang berdiri di depan pintu melainkan aku.
Aku yang sudah gelap mata tak membiarkan dia sadar dengan bahaya yang sedang mengancam dirinya dan langsung maju ke depan, memeluk Lek Sri dan melumat bibirnya kesetanan.
“Mhhhhhhh…” Sri berusaha melepaskan ciuman dan pelukanku tapi aku terus memaksanya, aku juga mendorong tubuhnya ke belakang agar bersandar ke dinding papan di belakangnya.
Setelah berhasil menekan tubuh Sri ke dinding, tangan kananku bergerak ke bawah mencari benda yang tersembunyi di balik daster bunga miliknya. Saat tanganku menemukan benda hangat berdenyut itu, badanku bergetar karena semua rangsangan yang kini menguasaiku.
Tanganku berusaha melepas celana dalam milik Sri agar lebih leluasa untuk meraba miliknya, tapi dia mengepitkan pahanya dan membuat aku tak bisa melepasnya.
Aku melepaskan ciumanku dan menjaga jarak antar wajah kami sejauh beberapa cm saja sehingga aku bisa merasakan deru nafasnya.
“Lepasin, Pin. Kamu gila ya? Aku aduin ke Mas Minto nanti!!!” ancam Sri dengan nafas tersengal-sengal.
Sedikit kekuatiran muncul di kepalaku tapi aku segera menepisnya. Sudah kepalang tanggung. Aku lalu maju dan berbisik telinga Sri, “Kalau sudah terlanjur masuk, kamu masih berani ngadu ke suamimu? Emang kamu nggak malu? Apa kira-kira anggapan dia kalau tahu milik istrinya sudah kemasukan laki-laki lain?” kataku sadiss.
“Wong edan!!” teriak Sri sambil mendorong tubuhku ke belakang. Tapi aku tak menyerah dan tetap memeluknya sekuat tenaga. Kalau sekarang aku berhenti, Sri mungkin masih berani ngadu ke suaminya, tapi kalau aku berhasil menancapkan milikku ke tubuhnya, aku yakin dia bakalan malu cerita soal ini ke siapa pun.
Dengan gerakan cepat, aku menekan tubuh Sri dan menarik celananya ke bawah. Aku lalu menurunkan celanaku sendiri dan menempatkan pahaku di antara kedua paha Sri yang susah payah aku bentangkan dengan kedua kakiku.
Menyadari posisi kami yang sudah sangat berbahaya, Sri menangis sesenggukkan dan berhenti melawan. Mungkin dia tahu kalau semuanya akan sia-sia sebentar lagi. Dan dia memang benar.
“Aarggghhhhh,” jerit Sri ketika aku berhasil memasuki tubuhnya tanpa pemanasan apa pun dan mungkin membuat dia kesakitan. Dengan cepat, aku membungkam mulutnya dengan tangan dan mulai menggerakkan tubuhku perlahan-lahan.
Sri hanya menangis sesenggukkan dan tak bergerak sama sekali selama aku menikmati tubuhnya setelah itu.
Sejak malam itu, dia milikku.