Sendang, part 2

944 Kata
Dari sekian banyak wanita yang kuteliti selama ini, ada lima orang yang masuk ke dalam daftar ter the best dalam kepalaku. Dari kelima orang itu, hanya dua yang bisa aku dapatkan, Lek Sri salah satunya. Satunya lagi adalah Budhe Rini. Tapi berbeda dengan Lek Sri yang bisa kudapatkan semuanya, aku cuma bisa pegang-pegang doang dengan Budhe Rini. Budhe Rini ini ada di urutan ketiga di daftar keramatku. Di kampung kami, memang ada kebiasaan untuk anak-anak atau remaja sepertiku memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan Lek yang merupakan singkatan Paklek atau Bulek meskipun sebenarnya tak ada hubungan keluarga apa pun dengan orang itu. Semua itu untuk menunjukkan hormat kepada yang lebih tua. Tapi kalau sudah berdua saja, biasanya aku memanggil Lek Sri langsung dengan Sri saja. Berbeda dengan Lek Sri, Budhe Rini itu memang benar-benar Budheku. Dia adalah istri dari kakak laki-laki ibuku. Jadi memang ada hubungan keluarga. Rumahnya tak begitu jauh dari rumahku. Meskipun ukuran jauh dekat di kampungku mungkin berbeda dengan asumsi kalian. Rumah Budhe ada di belakang rumahku. Tapi di antara rumah kami dipisahkan oleh kebun pisang dan buah-buahan dengan jarak hampir 100m. Ada jalan setapak antara rumahku dan rumah Budhe yang memang biasa kami pakai. Tapi jalan setapak itu hanyalah jalan tanah tanpa paving atau cor sama sekali. Sebagai anak tunggal, bisa dibilang aku memang jadi sasaran suruhan orang tua. Aku selalu disuruh ketika Bapak minta dibelikan rokok, ketika Ibu minta dibelikan mie atau bumbu dapur, dan juga ketika orangtuaku ingin menyampaikan sebuah pesan ke keluarga Budhe. Tapi, nanti aja ceritaku soal Budhe dan aku. Sekarang aku mau ceria soal list keramat milikku. Bulek Sri ada di peringkat empat dan Budhe Rini ada di urutan ketiga. Untuk urutan kedua dan pertama, masing-masing ditempati oleh dua nama yang sebenarnya aku juga tak tahu bagaimana menjelaskannya. Peringkat kedua ditempati oleh seorang gadis remaja seumuranku. Dia bernama Amanda. Kalian tahu sendiri, untuk generasi seumuranku, nama-nama wanita kampung kan sudah punah, tergantikan oleh nama-nama keren seperti Amanda tentunya. Si Amanda ini berbeda denganku. Dia bukan anak orang kere sepertiku yang menggantungkan hidupnya dari bertani di sawah. Amanda ini anak perangkat desa di kampungku. Dia anak Pak Yono, si Carik di desa kami. Bagi kalian yang belum tahu, Carik itu adalah Sekretaris Desa. Bisa dibilang, Pak Yono ini adalah pejabat kedua tertinggi di desa setelah Pak Kades. Sebagai anak Pak Carik, tentunya Amanda hidup serba berkecukupan lah. Aku juga yakin keluarganya pasti punya sumur atau bahkan saluran PAM sendiri di rumahnya, tapi entah kenapa, beberapa bulan lalu, selama beberapa hari, Amanda mandi di Sendang yang menjadi tempat tongkronganku. Saat itulah aku menyadari betapa indahnya Amanda. Wkwkwkwk. Meskipun setelah itu hingga sekarang, Amanda tak pernah sekalipun mandi di Sendang lagi seperti dulu. Sama seperti Amanda, peringkat pertama juga kasus spesial. Nama yang tertulis di sana adalah Suciati. Tapi kalau ada yang menanyakan nama itu di kampungku, aku yakin 99% tak akan ada orang yang tahu. Alasannya? Karena memang nama itu hampir tak pernah dipakai sehari-harinya. Orang-orang kampung lebih mengenal Suciati dengan nama Bu Nyai, karena memang beliau istri Pak Yai. Di kampungku memang masih kental suasana kejawen. Orang-orangnya seperti keluargaku juga jauh dari kehidupan agamis. Bapak dan aku berangkat ke masjid untuk sholat berjamaah saat jumatan dan sholat id saja. Lalu bagaimana ceritanya aku bisa punya nama Arifin? Jelas, namaku bukan muncul dari kepala Bapakku. Bapakku yang bernama Jito, dan tak pernah mengaji selama hidupnya tak akan bisa memikirkan nama sebagus Arifin dalam kepalanya. Itu semua tentunya andil dari Pak Yai. Namaku adalah pemberian dari Pak Yai. Di kampungku, ada sebuah masjid yang berukuran tak terlalu besar. Di sebelah masjid itu ada sebuah keluarga yang memang dianggap pemuka agama di kampung kami. Itulah keluarga Pak Yai. Pak Yai sendiri memiliki nama Mundzakir. Terkadang kami menyebutnya dengan Pak Dzakir. Di masjid kampung yang sederhana itulah Pak Dzakir mengajar anak-anak kecil mengaji setiap sorenya. Aku termasuk salah satu mantan anak didiknya. Oke, oke, ini malah ngelantur kemana-mana. Masjid jelas memiliki sumber air bersihnya sendiri. Ada sumur yang tak pernah kering tak jauh di sebelah kanan Masjid. Selain itu, sumur itu dilengkapi dengan pompa listrik yang akan mengisi bak-bak untuk wudhu di Masjid. Selain untuk keperluan masjid, tentunya air bersih dari sumur itu digunakan juga oleh keluarga Pak Dzakir. Tapi, sama seperti kasus Amanda. Karena suatu alasan, Bu Nyai pernah selama beberapa hari berturut-turut mandi di Sendang. Meskipun beliau masih tetap mengenakan mukena penutup kepalanya, tapi aku masih bisa melihat bentuk dan ukuran dari buah ranum yang dia miliki. Dan feelingku mengatakan, milik Bu Nyai adalah yang terbaik dari semua milik wanita yang pernah aku teliti. ===== “Udah to Pin…” sungut Budhe Rini sambil berusaha melepaskan diri. Aku mana mau. Tanganku masih asyik meremas dan memilin ujung buah miliknya. “Aduhhh…” teriak Budhe Rini ketika gerakan tanganku mungkin terlalu kasar dan membuatnya kesakitan. Dia lalu mendelik ke arahku dan aku hanya tertawa lalu tersenyum kecut dan melepaskan tanganku dari tubuhnya. “Kamu tu lho, kok kurang ajar terus. Tiap kali ke sini, pasti…” Budhe Rini tak melanjutkan kata-katanya. “Lha habisnya, itunya Budhe bagus banget,” kataku. “Tak bilangin ke Dek Siti, kualat kamu nanti,” ancam Budhe Rini sambil menyebut nama Ibuku. “Jangan to Budhe,” rengekku ke arahnya, sekalipun aku tahu Budhe tak akan melakukannya. Toh ini bukan kali pertama aku meremas dan memegang buah ranumnya. Budhe Rini selalu mengancam dengan ancaman yang sama tapi tak pernah benar-benar melakukannya. “Ini bawang merahnya, dah sana pulang!” usir Budhe Rini sambil mendorongku setelah memberikan segenggam bawang merah yang memang diminta oleh Ibu. Aku tertawa kecil dan berlari keluar dari pintu belakang rumah Budhe, menuju ke kebun pisang untuk kembali ke rumahku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN