Sendang, part 1

1175 Kata
Hidup di kampung itu berbeda dengan hidup di kota. Kalau di kota, setiap rumah memiliki kamar mandinya sendiri-sendiri dan tak pernah punya masalah dengan sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Sedangkan kami orang-orang kampung, kami tak punya kemewahan seperti itu. Di kampungku, sumur adalah sebuah kemewahan. Hanya beberapa rumah yang dianggap sebagai orang berada yang memilikinya. Selebihnya, orang-orang biasa seperti kami, harus mandi dan bergantung kepada sumber mata air yang dipakai bersama-sama dengan warga lainnya. Sumber air itu di kampung kami disebut dengan Sendang. Sendang, atau mata air, umumnya ada di bawah pohon besar dan tua. Kebanyakan jenis pohonnya adalah pohon beringin dengan akarnya yang bergelantungan dari dahan-dahan. Selain pohon beringin, terkadang Sendang juga ditemukan di bawah pohon duwet yang berdaun kecil dan bisa tumbuh seukuran dengan pohon beringin. Warga kampung biasanya akan membuat sebuah kolam kecil mengelilingi mata air untuk menjadi tampungan air bersih dan juga membangun dinding mengelilingi Sendang. Dinding ini fungsinya untuk melindungi mata-mata orang yang kurang kerjaan dan ingin mengintip siapa yang sedang mandi di Sendang. Tapi, entah karena si pembangun dinding satu komplotan dengan tukang intip atau memang keterbatasan dana, Sendang di kampung kami, memiliki dinding yang tak memadai. Tingginya cuma 1,5 m saja. Mungkin bagi orang yang berdiri di balik dinding tak akan bisa melihat dengan leluasa orang yang mandi di Sendang, apalagi jika posisi mereka mandi dengan berjongkok seperti yang sering dilakukan oleh para wanita di kampungku. Tapi jika dinding itu bertemu dengan monyet-monyet iseng sepertiku dan teman-temanku, dinding itu sama sekali tak ada fungsinya. Sejak kecil, mungkin usia kelas 6 SD, aku dan teman-temanku memang punya hobi yang jahil. Setiap habis ashar, kami akan memanjat pohon Beringin di atas sendang lalu bersembunyi, menunggu waktu mandi para wanita datang dan kami akan mengintip mereka. Sungguh, bagi anak-anak kampung seperti kami yang tak mengenal film blue atau media digital sejenisnya, mengintip wanita-wanita itu mandi di Sendang adalah sesuatu yang menjadi pelajaran berharga bagi kami dalam mencapai proses kedewasaan seorang laki-laki. Padahal, kalian bisa bayangkan sendiri view yang mungkin bisa kita dapatkan dari usaha keras kami. Dengan memanjat pohon beringin lalu posisi mereka yang mandi sambil berjongkok, tentu saja yang kami lihat adalah tampak atas dari tubuh wanita-wanita itu. Kami hanya bisa melihat pemandangan indah itu dari atas yang jelas tak leluasa karena hanya akan terlihat rambut hitam mereka lalu jika kami beruntung kami akan melihat pepaya milik mereka yang tersembul di antara kain jarik mereka saat menyiram air. Itu saja. Tapi, sekalipun hanya seperti itu, sekalipun sesederhana itu, mengintip mereka mandi di Sendang adalah sebuah pengalaman yang sangat berharga dan indah bagiku. Aku sendiri tak tahu apa yang ada di pikiran teman-temanku saat melihat mereka mandi di bawah sana, tapi kalau aku, aku selalu mencari kesempatan untuk memperhatikan buah kembar yang tersembul dari jarik mereka. Berdasarkan ukuran dan perkiraan tingkat kekenyalan buah ranum milik mereka, aku lalu membuat daftar wanita idaman di dalam kepalaku. Daftar wanita idaman yang tak akan pernah aku bagikan kepada siapa pun karena banyaknya waktu dan usaha yang telah aku curahkan untuk melakukan riset selama ini. “Le, belikan rokok ke warung Lek Minto,” teriak Bapak mengagetkan lamunanku. “Nggih Pak,” jawabku langsung tanpa jeda dan segera berlari meminta uang ke Bapak. Aku memang anak yang berbakti. Wakakakakakakaka. Tapi ada yang lebih memotivasiku untuk menjalankan perintah Bapak selain menjadi anak yang berbakti. Istri Lek Minto bernama Lek Sri, dan Lek Sri ini, masuk dalam lima besar wanita dengan buah terindah dalam daftarku. Lebih tepatnya dia peringkat keempat. Secepat kilat, melebihi Gundala, aku sudah berada di warung Lek Minto. Tanpa permisi, aku langsung masuk ke dalam kios kecil itu. “Tumbas…” teriakku. “Nggih…” terdengar sahutan seorang wanita dan membuatku sumringah. Tak lama kemudian, aku melihatnya. Sosok seorang wanita sederhana dengan kulit sawo matang tapi bersih dan rambut hitam panjang diikat ke belakang. Dia mengenakan daster bermotif bunga yang kedodoran dan sama sekali tak memperlihatkan lekuk tubuhnya. Tapi sumpah… Dua buah yang tersembunyi di dalam balik daster itu, sungguh indah luar biasa. “Lek Minto mana Lek?” tanyaku ke arah Lek Sri. “Kamu mau beli apa Pin? Ngapain pake nanya Lek Minto segala?” tanya Lek Sri balik ke arahku. Oh iya, namaku Arifin dan umurku sekarang 16 tahun. Panggilanku Pin, Ipin, pokoknya seperti itu lah. “Kalau Lek Minto nggak ada, aku mau milih sendiri rokoknya ke situ, Lek,” kataku. “Nggak usah!!” jawab Lek Sri cepat. “Lho? Lha napa?” tanyaku. “Kamu kalau masuk ke sini suka usil,” jawab Lek Sri dan aku hanya tertawa. “Suamimu ada nggak Sri?” tanyaku lagi, kali ini dengan suara pelan. Sri menundukkan kepalanya dan tak menjawab. Heleh, aku tersenyum penuh kemenangan. Pura-puranya aja sok jual mahal. Tanpa berkata apa-apa, aku berjalan ke arah sebelah dalam kios di balik etalase kaca dan berbagai jualan yang digantung dengan seutas tali rafia ke atas itu. Dari luar kios, bagian di balik etalase kaca ini memang tersembunyi dan tak terlihat. “Bentar, aku mau ambil rokoknya,” kataku pelan sambil berpura-pura menyenggol Sri, tapi bagian yang kusenggol adalah dua buah ranum yang tersembunyi di balik dasternya. Muka Sri memerah karena ulahku tapi dia beringsut mundur sedikit, memberiku jalan agar bisa menuju ke arah etalase kaca kecil berisi rokok di depannya. “Hmm. Kok susah sih, kamu aja yang ambilin Sri,” bisikku pelan. “Emoh,” bantah Sri. “Kok emoh? Pembeli adalah raja,” sungutku. “Emoh, nanti kalau aku yang ambilin kamu pasti…” kata-katanya terhenti. “Udah ambilin,” kataku sambil menarik tangan Sri yang berdiri di belakangku. Awalnya dia menolak tapi dengan sekali sentakan, aku bisa menariknya dan membuat dia berdiri di depanku. “Ambilin rokok yang itu,” bisikku sambil menempelkan tubuhku ke belakang tubuh Sri. Sri memejamkan matanya karena nafasku yang berhembus di leher belakangnya. Aku bisa melihat bulu kuduknya berdiri dan tertawa dalam hati. “Malah diem, cepet ambilin!” kataku lagi. Tapi bukannya mengambil rokok yang kuminta, Sri justru membungkukkan badan dan berpegangan ke etalase kaca miliknya. Lalu tangan kanannya menarik daster yang dia kenakan hingga tersingkap ke atas pinggang. Dengan posisi tubuhnya, sekalipun dari belakang semua sudah terbuka, tapi dari depan kios, Sri masih terlihat lengkap mengenakan pakaian. “Nggak usah ngegodain lagi Pin, aku tu dah kangen sama kamu sejak minggu kemarin,” bisik Sri lirih sekali dengan nafas tersengal-sengal. Aku tersenyum dan melihat ke arah tetesan cairan yang membasahi paha Sri di depanku. Beneran dah pengen bener ni cewek. Sampai basah segitunya. Jelas dong, karena si empunya sudah meminta, buat apa lagi aku menunda. Tanpa basa basi, aku menusuk Sri dari belakang dan menikmati tubuhnya. Tak sampai lima menit, tubuh Sri mengejang kuat dan dia mencengkeram lenganku yang meremas buah ranumnya. Aku tahu Sri sedang menikmati pipis enaknya. “Nakal bener, baru bentar dah pipis,” bisikku. “Habisnya… Kamu juga cepetan, keburu Mas Minto pulang,” bisik Sri pelan. “Iya, iya, aman kan di dalam?” tanyaku. “Hu um,” jawabnya. Tak lama kemudian, kami berdua terkulai lemas bersama di sebelah dalam kios Lek Minto.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN