3. Hadiah Misterius!

1652 Kata
“Lepaskan aku, Zul! Aku tidak mau ke pesta itu lagi!” tolak Shina sambil mengempaskan tangan dari sang suami. “Kenapa? Kau ... tidak mendengar jika mereka semua menggunjingkan kita dengan gosip yang salah?” tutur Zul mencoba untuk bicara. Shina ragu. Dia hanya menggigiti ujung jari telunjuknya karena merasa gugup. “Sebaiknya aku kembali lagi ke Korea! Aku ada banyak pekerjaan di sana!” Perempuan itu pun menegakkan kepala, dia berjalan dan meninggalkan Zul untuk pergi kembali tanpa ragu. Dalam pikiran Shina, hanya sebuah kesalahan saat dia memutuskan untuk datang ke negaranya ini. Dia sudah merelakan apa yang ia miliki di sini. Termasuk seluruh harta peninggalan dari sang orang tua, demi bisa hidup tenang. Bagi Shina, tidak ada tempat lagi di Indonesia untuk dirinya yang membawa ketenangan. Di saat pikirannya sedang berkecamuk penuh dengan pikiran negatif, Shina yang hendak keluar membuka pintu merasakan ada seseorang yang memeluk perutnya. Dirinya berhenti melangkah karena pelukan itu terasa sangat erat dan sedikit membuatnya merasa sesak. “Shina, kuatlah! Ayo kita temui mereka bersama-sama!” ajak Zul yang sedang memeluk erat istrinya itu. Pria itu seakan tidak rela jika harus ditinggal kembali oleh Shina karena mereka telah berpisah bertahun-tahun lamanya. “Zul! Bukankah sudah ada dalam kontrak pernikahan kita, jika tidak ada kontak fisik dalam hubungan ini?” Shina mulai geram. “Aku tidak peduli! Asal kamu tidak pergi!” Zul tak mengindahkan ucapan Shina. Dia masih terus memeluk istrinya dan melarang perempuan itu untuk pergi. “Pernikahan kita ini hanya sekedar status di atas kertas! Aku harap kamu tidak lupa! Jadi ... jangan terlalu dibawa perasaan!” Shina memaksa lepas pada tautan tangan Zul. Pria itu sebenarnya masih bisa menahan Shina, tapi dia tidak melakukannya. “Shina! Aku ingin kamu mempertahankan apa yang menjadi hakmu di keluarga ini! Mereka sudah semena-mena padamu selama ini, jadi aku harap kamu bisa membalas semuanya dan merebut kembali milikmu!” Ucapan Zul membuat Shina membalik badan. Perempuan itu menatap nanar pada pria yang baru saja mengatakan sebuah kemustahilan. Sejenak Shina tak membuat ekspresi apa-apa, lalu kemudian dia tersenyum miring menertawakan Zul. “Aku harap kamu tidak melewati batas, Zul! Kamu tak ada urusan apa-apa dengan keluargaku! Jadi kamu tak perlu ikut campur apa yang menjadi keputusanku! Aku sudah merelakan semuanya! Hidupku sudah bahagia selama ini, aku harap kamu bisa menghargai keputusanku ini!” Zul pun akhirnya benar-benar melepaskan tangannya dari Shina. Dia tak bisa berkata apa-apa, jika itu memang sudah menjadi keinginan sang istri. Tapi meski begitu, bagi Zul ada yang salah dengan semua ini. Maka dari itu, pria itu pun berkata lagi. “Shina, aku akan membantumu untuk membuktikan semuanya! Jadi kau tak perlu sembunyi di sini!” Sebuah hal mengejutkan bagi Shina, saat tangannya ditarik oleh Zul lagi dan mereka berjalan ke luar dari ruang loker. Para pegawai yang lalu lalang di lorong menatap keduanya. Shina menutup wajah dengan tasnya. Tapi Zul tidak! Dia dengan percaya diri menggandeng Shina untuk menuju ke ruang acara. “Zul jangan gila,” bisik Shina sambil berlari mengikuti Zul yang menggenggam erat tangannya. Zul tak menanggapi rengek dari Shina. Dia terus membawa perempuannya untuk berlari. “Kita tidak bisa menandingi mereka! Kita hanya akan dihujat jika seperti ini!” Shina berusaha menahan langkah kaki Zul. “Percayalah padaku!” ujar Zul sambil membuka pintu yang menghubungkan lorong dengan ruang utama. Jantung Shina berdegup dengan kencang. Dia tidak sanggup untuk bertemu dengan seluruh keluarga dari sang om yang selama ini telah menyakitinya. Dia tidak mau kejadian lima tahun yang lalu terulang lagi. Keringat dingin membanjiri telapak tangan Shina. Dia menggenggam tas dan menutup seluruh pandangannya menggunakan tas tersebut. Hingga akhirnya ... Zul membuka pintu dan riuh para tamu undangan tak menyadari kedatangan mereka. “Zul ... aku mau pergi ....” Shina berbisik sambil tetap menghadang wajahnya. “Sebentar lagi,” ucap Zul yang membawa Shina ke tengah ruangan. Pria pelayan itu sengaja membawa istrinya menuju ke tempat keluarga Handoko sedang berkumpul. “Aku tidak memesan minuman,” ucap salah satu menantu perempuan keluarga itu begitu melihat wajah Zul sang pelayan. “Saya tidak sedang mengantar minuman! Saya hanya ingin bergabung dengan kalian!” ucap Zul dengan percaya diri yang sangat tinggi. Sementara itu, Shina senantiasa menyembunyikan diri di balik tubuh Zul. “Bergabung? Apa aku tidak salah dengar?” ujar si anak sulung sambil tertawa. Tawa itu diikuti oleh anggota keluarga lainnya. “Hei, bukankah yang sedang bersama si pelayan itu adalah Shina?” celetuk salah seorang tamu yang berkata. “Wah, kau benar! Itu dia Shina! Dia akhirnya datang juga!” Shina mendengar banyak orang menyebut namanya. Kini semua orang sudah tahu jika dirinya berada di tengah acara. Dia benar-benar tak sanggup menahan malu, semua ini gara-gara Zul, batin Shina yang merasa kesal. “Wah, keponakanku yang sangat om rindukan! Om baru sadar jika Zul sedang membawamu! Ayo, kalau begitu, ayo bergabung dengan kami!” Sang om sedang memasang wajah penuh pencitraan agar terlihat baik di mata para undangan yang hadir. Shina pun terpaksa menunjukkan diri dari balik punggung Zul. “Halo, Om! Halo, Tante! Halo semuanya!” Dia mencoba menyapa semua yang ada meski sebenarnya dirinya sangat enggan. “Dia tampak malu karena merasa minder dengan anak menantu pimpinan yang lain,” bisik seorang tamu undangan di dekat Shina. Suara itu sangat jelas terdengar di telinganya meski diucapkan dengan lirih. “Shina, kau datang dari luar negeri membawa oleh-oleh apa dari sana?” timbrung salah seorang tamu undangan di sana. “Ehh ... oleh-oleh ....” Shina bingung karena jujur ia datang dengan tangan kosong. “Iya! Oleh-oleh! Ini, kan, acara ulang tahun Rumah Sakit, kau tidak menyediakan hadiah sama sekali?” timpal salah seorang menantu keluarga Handoko yang lain. Shina bingung. Dia memang tidak menyiap-nyiapkan apa-apa untuk dibawa. Ditambah dirinya merasa gugup. Hal itu yang membuat Shina memeluk lengan Zul dengan erat meski tanpa ia sadari. “Aku dan adik ipar telah membawa hadiah untuk rumah sakit ini! Kau tak menyiapkan apa pun untuk rumah sakit keluargamu ini?” ujar istri dari si anak sulung yang membanggakan pemberian mereka. Zul pun peka jika Shina kini sedang terpojok, untuk itu dia melangkah ke depan Shina dan membawa perempuan itu agar bersembunyi lagi di balik punggungnya. “Shina sudah menyiapkan hadiah!” jawab tegas dari Zul. Tentu saja, Shina langsung mendongak untuk menatap kepala dari si pemilik punggung lebar yang sedang menghadang di depannya ini. “Dia sungguh sembarangan bicara!” “Kalau begitu, mana hadiahnya?” tantang salah satu dari mereka. “Kita tunggu saja!” jawab Zul kali ini. “Kau gila! Kau mau bawakan apa untuk yayasan dan rumah sakit keluargaku? Kau mau menjual lever untuk mendapatkan semua?” kesal Shina dalam hati pada suaminya yang membual. “Aku tidak bermain-main, Shina juga sudah mempersiapkan hadiahnya!” jawab Zul tanpa memberi informasi apa-apa pada Shina. Sementara Shina benar-benar gugup dan merasa ingin kabur saja dari tempat tersebut. “Mana? Tidak ada yang datang! Kamu memang benar-benar manusia yang berhalusinasi!” tuduh putra bungsu sang pimpinan tersebut. “Aku mau pulang, Zul! Jangan permalukan lagi lebih dari ini,” ucap lirih Shina sambil memohon. “Bersabarlah!” jawab Zul dengan santai. “Sudah! Sudah! Tidak perlu diributkan!” Sang om berusaha menjadi pendengar. “Shina tak membawa apa-apa juga tidak apa-apa. Mana mungkin dia memiliki uang sebanyak itu karena tak punya orang tua! Bahkan Shina juga tak punya pasangan yang bisa membahagiakan dirinya dengan harta.” Shina menelan ludah mendengar ucapan omnya. Entah kenapa, saat itu juga Shina merasa terusik dan sangat ingin melampiaskan kekesalannya, tapi tidak di sini. “Papa terlalu baik pada Shina! Dia akhirnya jadi seperti itu!” tutur salah seorang anak pimpinan. “Dia juga menikahi pria tak berguna, hal itu membuat kelas mewah dari Shina semakin turun saja!” komentar lainnya. Dalam hati Shina menggerutu. Padahal dia dijodohkan oleh sang om dan juga tante, hanya saja tak ada orang lain yang tahu. Sehingga semua berpikir, jika menikahi Zul adalah keinginan Shina. Tak disangka, Zul langsung menimpali lagi. “Kalau kalian nanti menemukan hadiah dari Shina lebih mewah dari pemberian kalian, maukah kalian minta maaf karena telah menyakiti perasaan istriku?” Di sana langsung hening, tak ada seorang pun yang menggubris ucapan Zul. Lalu tak lama setelah keheningan itu, semuanya terkekeh. Semua orang yang mendengar menertawakan ucapan Zul. “Sepertinya dia tidak tahu apa yang sudah disumbangkan oleh keluarga istri kita sehingga dia berusaha menyainginya!” ujar si anak sulung Shina menjadi semakin gugup. “Baiklah! Ada-ada saja! Paling juga dia menyumbang satu box masker. Sangat tidak masuk akal, jika dibandingkan dengan dari kami,. Adik ipar menyumbang mesin dialisis baru, sementara aku menyumbang air ambulance, sumbangan dari kalian apa?” ledek iparnya yang menikah dengan anak sulung pimpinan. Saat mereka sedang sibuk menggunjing dan saling membandingkan pemberian, asisten pimpinan mendadak menghampiri. “Kau tak lihat, aku sedang mengobrol dengan tamu!” tolak pimpinan yang kesal pada sang asisten karena obrolan mereka diganggu. “Tapi ini penting, pimpinan!” “Ada apa?” kesalnya. Sang asisten menunjukkan transferan uang untuk membangun rumah sakit. “Ada orang yang mengirimkan uang untuk disumbangkan ke rumah sakit.” “Orang? Siapa?” tanya sang pimpinan bertanya-tanya. “Jumlah uangnya tidak main-main, dia menyumbangkan dua milyar rupiah. Dia juga mengirimkan tiga buah air ambulance sekaligus sebagai hadiah katanya!” “Tiga? Tiga air ambulans? Siapa yang sudah mengirimnya?” “Uang dua milyar juga? Siapa orang dermawan yang sudah mengirim semua itu!” Shina menatap pada Zul tidak percaya. Sementara Zul memberi senyum yang begitu lebar untuk istrinya. “Itu hadiah yang Shina bawakan untuk kalian!” tutur Zul dengan percaya diri. Dengan penuh bimbang dan keterkejutan, sang asisten menunjukkan nama pengirim yang tertera dalam badan surel. “Siapa ini?” tanya pimpinan. Sang asisten pun menggeleng. “Saya baru saja menerima surel dan dalam surel itu dikatakan jika ... ‘Semua hadiah uang dan ambulans pesawat itu adalah hadiah dari Tuan Zulius dan istrinya!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN