Pagi itu, sebenarnya pewaris sah dari Rumah Sakit Sehat Sejahtera, Shina Adreyna, telah menginjakkan kaki di Indonesia. Hanya saja, dia belum siap untuk menemui para saudara yang selama ini telah mengucilkan dirinya. Sehingga dia datang diam-diam sambil menutup wajahnya dengan kacamata dan syal yang ia pakai.
“Bisa tunjukkan undangannya?” ujar sang resepsionis pada Shina.
Dengan gugup, perempuan itu menunjukkan sebuah kode batang undangan dari ponsel untuk dipindai. Shina berhasil masuk dengan menggunakan kacamata dan sehelai kain untuk menutup kepalanya.
Iya, dia adalah pewaris sah rumah sakit yang berulang tahun ini. Sebelum akhirnya keluarga sang paman mengambil alih segala rupa haknya. Kini Shina tersingkir! Dia hanya menjalani hidup sebagai seorang dokter spesialis kecantikan yang tumbuh tanpa privilese apa-apa.
Sambil berjalan menunduk dan menutup sebagian wajahnya, Shina berusaha untuk tidak mencolok. Dia menyusuri bagian tepi ruangan saja, agar tak berpapasan dengan orang yang ia kenal.
Lalu kemudian ....
‘Byur!’
Shina menoleh dan melihat ada kekacauan yang terjadi. Dia terkejut melihat ada seorang pelayan yang tak sengaja tersiram oleh segelas jus jeruk.
“Tamu undangan itu seperti yang sengaja menumpahkan pada pelayan. Dia sangat semena-mena,” lirih Shina setelah melihat kejadian barusan. Dia tak melihat wajah dari pelayan tersebut, tapi ia hanya melihat orang yang menyiramnya sedikit tersenyum.
Dia juga mendapati ada saudara sepupunya yang sedang berdiri di tengah ruangan. Mereka entah sedang membicarakan apa? Shina tak ingin bergabung dengan mereka.
Hingga akhirnya, sesuatu yang malas untuk didengar Shina pun harus masuk ke telinganya.
“Pelayan yang tersiram air itu katanya menantu laki-laki dari pimpinan!”
“Menantu laki-lakinya? Suami dari Shina maksudnya?”
“Iya, benar! Suami dari Shina! Tapi Shina-nya kok tidak pernah terlihat?”
“Aku tidak mengerti kenapa Shina mau menikah dengan pelayan itu?”
“Katanya Shina itu bukan anak kandung pimpinan. Dia Cuma ponakan yang diangkat oleh pimpinan! Anak itu memberontak, jadi dia menikah dengan laki-laki pilihannya. Padahal laki-laki yang ia pilih adalah pria tak berguna! Jadi sekarang dia kabur ke Korea, dia tidak pernah ada di setiap acara perusahaan.”
Hati Shina merasa panas mendengar hal tersebut. Dia tak terima dan ingin membela diri, tapi sekali lagi dia juga ingat kalau dia sedang menyamar dan tak ingin menjadi pusat perhatian. Di setiap ia berpindah tempat, Shina selalu mendengar pelayan yang disiram tadi menjadi topik pembicaraan. Tidak hanya itu, bahkan namanya juga ikut terseret dengan berita tak sedap mengiringi gosip tersebut.
“Jadi pelayan yang disiram jus tadi itu, Zul? Sudah lama aku tidak melihatnya!” batin Shina.
Tak lama kemudian, ayah angkat Shina alias pamannya sendiri naik ke podium. Singkat cerita, hal yang dia dengar dari sambutan sang Om juga tak menyenangkan. Menantu-menantu perempuan dari sang om memberi sumbangan dengan nilai fantastis untuk rumah sakit.
Shina semakin tak bisa menahan lagi, jika ia terus menerus berada di sini. Perempuan itu pun menepi dan mencari jalan untuk keluar dari tempat tersebut.
“Anak dan menantu pimpinan memang sangat luar biasa.”
“Seandainya anak dan menantuku juga seperti mereka. Masa tuaku pasti akan bahagia!”
Selama Shina mencari jalan keluar, ia melewati orang-orang yang selalu membicarakan kedua sepupunya tersebut. Telinganya semakin panas, ditambah orang-orang juga menggunjing dirinya. Semua undangan yang hadir berpikir jika di antara mereka tidak ada Shina. Sehingga mereka merasa bebas untuk membicarakan dokter muda tersebut.
Sebelum Shina gelap mata dan ingin menumpahkan minuman ke kepala mereka yang membicarakannya, Shina memilih pergi.
Dia berjalan menunduk untuk menghindari tatapan orang. Perempuan tersebut tak terlalu melihat jalan yang ia lalui. Asal ada celah kosong di antara manusia-manusia itu, Shina pun melewati bagian tersebut.
Hingga akhirnya, kaki membawa Shina ke sebuah pintu yang tidak terlalu lebar dibanding pintu utama. Pintu tersebut ada di sudut dan sepertinya hanya panitia acara juga para pelayan yang bekerja yang melewati pintu kecil itu.
Tapi setidaknya, Shina bisa lolos dari manusia-manusia penggosip yang membicarakan dirinya.
Keluar dari ruang utama, Shina masuk dalam sebuah lorong. Dia mencari jalan keluar melalui lorong tersebut.
“Oh, jadi benar Zul itu bagian dari keluarga pimpinan yayasan? Hebat sekali!”
“Hebat apanya! Dia hanya membuat malu keluarga pimpinan! Buktinya, istri dari Zul, Nona Shina itu tak pernah muncul lagi setelah lima tahun terakhir. Dia malu telah salah menikah dengan Zul!”
Ternyata Shina salah. Bukan hanya para undangan, tapi para pegawai juga masih membicarakan dirinya. Memang se-aib itu menikah dengan pelayan? Rasanya Shina tidak lagi punya muka.
Terpaksa dia masuk ke dalam salah satu ruangan dan kemudian bersembunyi di sana.
**
“Zul! Kau baik-baik saja?” Salah seorang pelayan menghampiri Zul yang sedang berada di ruang loker tempat para pelayan pria.
“Ah, ya! Aku hanya perlu mengganti seragamku saja!” Zul melepaskan kemeja putih yang ia kenakan di depan loker.
Lalu pria tersebut membawa baju yang kotor ke arah wastafel.
“Maaf, Zul!” ucap rekannya tersebut.
“Maaf untuk apa?” jawab Zul sambil menyalakan keran air dan mencuci bagian kotor dari kemejanya.
“Maaf karena aku tidak tahu jika kau adalah menantu payah dari pimpinan yayasan yang sering dibicarakan. Aku ... tidak bermaksud untuk menggunjingmu!”
Mendengar itu, Zul diam saja. Dirinya tak memberi respons apa-apa dan fokus membersihkan baju kemeja yang terkena noda kuning itu.
“Kalau begitu, aku pergi dulu!” pamit kawan dari Zul tersebut.
Kini Zul sendiri dan ia berniat menggantung baju basahnya di balik lemari. “Ya, nanti di rumah aku cuci lagi! Setidaknya tidak ada noda kuning yang tersisa dulu atau nanti jadi membekas.”
Pria pelayan tersebut sedang melepas kacamata, kemeja, dan juga kaus dalam. Atau bisa disebut juga jika tubuh bagian atasnya sedang telanjang.
Otot bahu dan belikatnya menonjol dari belakang. Tampak jika punggung Zul begitu lebar dengan kulit yang mengilap akibat keringat membasahi.
Sepasang mata mengamati bagian belakang Zul melalui celah-celah. Dia tampak menelan ludah dan mengalihkan pandangan, tapi tetap lagi matanya melihat ke arah sana. “Benarkah itu Zul? Kenapa tubuhnya tampak seperti orang yang sangat terlatih? Apa aku tidak salah lihat?” batin si pengintip.
Sementara itu, Zul bersenandung lirih sambil mengenakan kemeja putih yang lain. Saat ia hendak mengancingkan kembali kemejanya, ia mendengar sebuah suara dari balik lemari.
‘Brak!’
Otomatis dia menoleh dan melihat ada kardus yang menghamburkan isinya ke lantai. “Ada orang di sana?” tanya Zul. Seingat dirinya, semua teman tadi telah keluar dan hanya menyisakan dia seorang.
Zul mendekat pada kardus tersebut. Dia jongkok, mengambil kardus itu dan tak sengaja melihat sepasang kaki mengenakan sepatu berhak tinggi di kolong tersebut.
“Ternyata benar ada orang!” batin Zul sambil mengendap-endap.
Pria itu berdiri dan berjalan pelan menuju ke belakang lemari.
Tanpa melihat wajah orang yang ia tangkap, tangan Zul langsung meraih pergelangan orang yang sedang sembunyi itu.
“Kena kau!” ujarnya.
“Aaaah!” teriak Shina yang spontan membuat Zul menutup mulut tersebut dengan telapak tangannya.
Kedua wajah mereka bertatapan. Aroma dari tangan Zul yang baru saja mencuci dan bau sabun tercium oleh Shina.
“Lepaskan aku,” ronta perempuan itu hingga kain yang menutup wajahnya terlepas.
Zul menatap lekat perempuan di depannya dan ia berusaha berpikir jika ia sedang tidak salah lihat. Sesuatu menabuh genderang dalam jantung. Saat perempuan itu meronta, ia semakin merapatkan posisi mereka.
Benarkah ini adalah Shina yang sangat ia rindukan?
Dia pun mengarahkan tangannya dan perlahan berniat mengambil kacamata yang dikenakan perempuan itu. Tapi sayang, tangan Zul ditahan.
“Jangan buka!” ucap perempuan tersebut.
Dari suaranya, Zul sangat mengenali dengan baik jika itu memang merupakan suara istrinya.
“Shina!” ujarnya dengan hati yang sangat bahagia.
Tapi Shina masih menahan kacamatanya sebagai penutup terakhir dari wajah agar tidak bertatapan langsung dengan Zul.
“Bisakah kau ... kancingkan dulu yang benar! Itu ... bajumu,” gugup Shina sambil memalingkan wajah dan tampak bagian pipinya yang memerah. Dengan menggunakan telunjuk, dia menunjuk pada bagian tubuh Zul yang terbuka.
Tanpa memedulikan kegugupan Shina,, Zul malah mendekat dan memberi senyum lebar untuk istrinya. “Shina, aku masih tak percaya jika kau sampai datang ke tempat kerja untuk menemuiku! Ayo kita keluar dan buktikan pada orang-orang jika semua itu tidak benar!”