Aletha 11

1505 Kata
Setelah sarapan pagi di salah satu warung bubur ayam di pinggir jalan, Aletha langsung mengendarai motornya menuju sekolah. Jalanan pagi itu cukup ramai namun tidak sampai menimbulkan kemacetan. Aleta merasa tidak nyaman dengan motornya, keningnya mengernyit kebingungan ketika motornya melaju dengan sempoyongan Dan hampir saja ia menyenggol salah satu pengendara motor. Aleta langsung menepikan motornya di pinggir jalan dan mengumpat kesal ketika melihat ternyata ban motor di bagian belakangnya bocor. "Ah sial, kenapa harus bocor sekarang sih, mana sekolah masih jauh lagi," di atasnya kesal sambil melihat jam di pergelangan tangannya. "Gue bisa telat nih," gerutunya mulai cemas. Mau tidak mau kita harus mendorong motornya mencari bengkel yang sudah buka di pagi hari seperti ini susah payah letak mendorong motornya dan mengabaikan kekehan dari beberapa siswa-siswi dari sekolahnya yang melihatnya sedang mendorong motor. Akhirnya Aletha menemukan bengkel motor yang baru saja dibuka oleh pemiliknya, bengkel motor itu berada di seberang jalan jadi ia harus menyebrang dengan mendorong motornya dengan susah payah. Dengan keadaan jalan jalanan yang semakin ramai, Aletha sangat kewalahan menyebrangi jalan, dengan sangat hati-hati ia menyebrangi jalan dan naasnya hal buruk pun tiba-tiba terjadi. Tubuh Aletha terpental jatuh membentur aspal begitu pula dengan motornya, sebuah mobil sedan mewah baru saja menabraknya hingga membuat beberapa pasang mata menatap ke arah Aletha dan akhirnya menimbulkan kemacetan akibat insiden itu. Aletha meringis menatap tangannya yang berlumuran darah, ia langsung saja beranjak dari tempatnya dan menegakkan motornya, Aletha menghela nafas pelan melihat mobil yang menabraknya itu, seakan tidak peduli dan tidak tahu menahu seorang pun tidak ada yang keluar dari mobil itu walau hanya sekedar melihat keadaan Aletha, mobil itu malah mengklekson dirinya hingga membuat nya tersentak kaget, seakan menyuruhnya untuk segera pergi dari sana karena posisi Aletha yang menghalangi jalan mobil itu. Aletha berusaha menahan diri nya dengan menghela nafas panjang, dengan langkah tertatih ia mendorong motornya, linangan air mata yang sedari ia tahan masih tersimpan aman di pelupuk mata, ia masih bisa menahannya. Ketika sampai di bengkel itu, salah satu pegawai dari bengkel itu langsung membantu Aletha mendorong motornya dan segera memperbaiki motornya. "Neng gak papa neng?" tanya pegawai bengkel itu sambil memperhatikan luka di lengan dan siku kaki Aletha. Aletha menggelengkan kepalanya pelan. "Saya nggak papa pak." Sambil menutupi darah yang mengalir di tangannya dengan sapu tangan, Aletha menatap motornya yang sedang diperbaiki. "Pak masih lama nggak motornya selesai? Soalnya saya mau pergi ke sekolah," tanya Aletha. "Masih neng, motornya juga tiba-tiba mati mesin, jadi harus membutuhkan waktu yang agak lama untuk memperbaikinya." Aletha menghela nafas gusar, jika seperti ini ia akan benar-benar terlambat nantinya. Aletha akhirnya memutuskan untuk meninggalkan motornya diperbaiki di bengkel dan ia berangkat menuju sekolah dengan menaiki angkot, sepulang sekolah nanti ia akan mengambil motornya. Untung saja ketika Aletha sampai di sekolah ia datang dengan tepat waktu, sehingga ia bisa menghindari hukuman dari wakil kesiswaan ketika ia telat masuk kelas. Dengan sedikit menyeret kaki kirinya yang sedikit ngilu akibat benturan di aspal, Aletha berjalan menuju toilet, membasuh darah dari lengannya dan siku kakinya. Setelah itu Aletha keluar dari toilet dan duduk di salah satu kursi panjang yang berada di koridor, sesaat ia menghela nafas pelan lalu merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Aletha mengeluarkan sapu tangan dari tasnya dan melap luka di tangannya sambil meniupnya pelan ketika tangannya sedikit pedih. Tiba-tiba seseorang mengulurkan plester ke arahnya yang membuat aktivitas Aletha langsung terhenti dan ia mendongak menatap seorang cowok yang sedang menatapnya dengan malas seraya menghembuskan nafas kesal. Ya, cowok itu adalah Aldino. Tidak menerima plester yang diberikan oleh Aldino, Aletha malah beranjak dari duduknya dan berlalu pergi mengabaikan keberadaan Aldino, bukan apa-apa, hanya saja ia malas untuk berurusan dengan cowok itu hanya membuat dirinya akan semakin kesal saja hari ini. Melihat dirinya dibaikan membuat Aldino merasa geram, cowok itu mencekal tangan Aletha dan menariknya pelan hingga Aletha terduduk lagi di bangku dengan tatapan kaget dan raut wajah keheranannya melihat tingkah Aldino terhadapnya. "Kenapa sih Lo?!" Aldino mendengus kesal, ia membuka plester yang dibawanya lalu berjongkok di hadapan Aletha dan menempelkan plester itu di tangan Aletha yang terluka dan juga siku kakinya yang membuat Aletha mengernyit kebingungan melihat sikap Aldino terhadapnya. Apa-apaan ini? -gumamnya keheranan sambil menatap Aldino. Setelah selesai menempelkan plester dibagian yang terluka Aldino menatap Aletha sambil menghela nafas pelan. "Dasar b**o," ucap Aldino pelan namun masih bisa didengar oleh Aletha. Aletha terbelalak dan langsung saja berdiri duduknya. "Lo kenapa sih," cetusnya kesal sambil membenarkan kacamata yang melorot. Aldino ikut berdiri, cowok itu menatap Aletha sebentar lalu berlalu pergi begitu saja meninggalkan Aletha yang mengernyit kebingungan melihat sikap Aldino yang tidak pernah masuk akal. Ia memperhatikan lukanya yang sudah dibalut oleh plester, Aletha mengernyit pelan bagaimana Aldino bisa tahu jika dirinya terluka? Aletha menghela nafas pelan, sudah pasti cowok itu melihatnya di jalan tadi. *** Alasya merebahkan tubuhnya di sofa sambil menghembuskan nafas pelan dan memejamkan mata, ia baru saja pulang sekolah dan ia benar-benar sangat lelah. Aletha membuka matanya lalu menatap sekeliling rumahnya yang sepi, seperti tak berpenghuni, Mama dan Papa nya pasti sedang sibuk bekerja saat ini dan hal itu membuat Alasya sangat kesal. Kedua orangtua nya itu tak pernah menyambutnya saat pulang sekolahnya. Tiba-tiba ponsel Alasya berdering, ia merogoh saku rok pendek di atas lututnya lalu mengeluarkan ponselnya dari sana, raut wajah Alasya langsung berbinar ketika melihat Zen menghubunginya, dengan cepat Alasya mengangkat telepon dari sang kekasih sambil tersenyum. "Hallo Zen, ada apa?" tanya Alasya dengan nada lembut. "Hallo sayang, kamu udah pulang?" "Udah, ini baru aja sampai rumah." "Oh gitu bagus deh, langsung mandi ya cantik habis itu makan." Alasya tidak bisa menahan senyumnya, Zen terlalu menggemaskan ketika kekasihnya itu memberikan perhatian kecil kepadanya. "Iya sayang." "Aku juga baru aja sampai di rumah, habis ini mau otw ke tempat futsal." "Kamu mau main futsal malam ini? Aku temenin ya? Boleh ya?" seru Alasya antusias sambil memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih nyaman. "Nggak boleh sayang, udah kamu di rumah aja, kasihan nanti kamu kecapekan nungguin aku selesai main. Aku nggak tega ngelihatnya." Alasya mengerucut kecewa, ia menyandarkan punggungnya pada sofa dan tidak membalas perkataan Zen kepadaya, melihat sang kekasih ngambek membuat Zen menghela nafas pelan dan langsung membujuk Alasya dengan nada lembutnya. "Alasya sayang, nanti sebelum aku ke tempat futsal, aku mampir ke rumah kamu, mau bawain martabak keju kesukaan kamu. Oke?" Senyum Alasya seketika mengembang, ia mengangguk dengan cepat. "Okey!" Diujung sana Zen terkekeh geli melihat Alasya yang sudah tidak marah lagi padanya. "Ya sudah, aku tutup ya telponnya, kamu jangan lupa istirahat ya cantik." "Iya ganteng." "Bye, i love you." "I love you too," ucap Alasya sambil menutup sambungannya lalu ia memukul-mukul bantal sofa saking salah tingkahnya dibuat oleh sang kekasih. "Woi!" Ucapan keras itu membuat Alasya terperanjat kaget dan langsung mendongak menatap kesal ke arah Aletha yang entah sudah sejak kapan berada di rumahnya dan mengagetkannya, hampir saja jantung Alasya melompor kelaur dari tempatnya. "I love you, i love you, geli tau!" cetus Aletha sambil duduk di sofa dengan memakan cemilan yang diambilnya dari dapur tadi. "Astaga Letha! Lo ngagetin aja sih! Sejak kapan Lo di sini? Kok nggak bilang-bilang?" "Sejak tadi, lama banget Lo pulang, dari mana aja Lo?" Alasya menghela nafas pelan sambil merebahkan kepalanya di pundak Aletha. "Gue habis nganterin si Morin ke rumahnya, mana rumahnya jauh banget lagi, capek gue bawa mobil tadi." "Oh," jawab Aletha singkat sambil mengunyah cemilannya. Mata Alasya langsung terbelalak ketika melihat tangan dan kaki Aletha yang terluka. "Lo kenapa? Kok bisa luka-luka gini?" "Tadi pagi kena tabrak mobil, lecet sedikit doang, nggak sakit kok," ucap Aletha santai. "Kok bisa?" "Ya bisalah Sya, lagian salah gue nggak hati-hati bawa motor." "Terus Lo sekarang nggak papa? Motor Lo?" Aletha menggeleng pelan menyakinkan Alasya. "Gue nggak papa, motor gue juga masih aman-aman aja." "Oh syukur deh kalo gitu, gue panik banget tau. Oh iya, Lo ngapain ke rumah gue? Tumbenan banget, Lo nggak kerja? Ini kan hari pertama Lo kerja di kafe mama nya temen gue." Aletha menatap Alasya. "Iya gue tahu, gue dikasih tau Tante Dian tadi kalau gue harus pake kemeja warna putih katanya seragam kerja gue belum ada, jadi gue mau minjam baju lama Lo, boleh nggak?" Alasya tersenyum sambil mengangguk pelan. "Tentu aja boleh, di lemari banyak baju kemeja warna putih gue, Lo bisa pake sesuka hati Lo." "Nggak, gue mau yang lama aja, yang udah nggak kepakai sama Lo." "Ih yang baru aja, ya udah ayo kita cari," ucap Alasya sambil menarik tangan Aletha dengan paksa menuju kamarnya. "Gue nggak mau Makai yang baru, masa kemeja mahal punya gue pakai buat kerja, nanti kotor gue nggak bisa ganti Sya." "Udah nggak papa, kayak sama orang asing aja Lo ih." Aletha hanya bisa pasrah dengan kemauan Alasya, niatnya untuk meminjam baju kepada Alasya sepertinya adalah kesalahan besar, harusnya ia membeli saja di toko pakaian murah dari pada ia harus mengenakan salah satu brand terkenal milik Alasya hanya untuk dikenakannya saat bekerja seperti ini. *** Hallo, jangan lupa untuk share cerita ini ke teman-teman kalian ya dan Tap Love juga dong:)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN