Aletha 9

1736 Kata
Kelas XII IPA 1 sedang heboh-hebohnya karena Bu Rini guru sejarah, baru saja memberi informasi jika seluruh kelas IPA akan mengikuti study tour ke salah satu museum. Setelah anak IPS, kini giliran anak jurusan IPA yang akan melaksanakan study tour mereka dan tentunya dipandu oleh Bu Rini. Semua siswa-siswi tengah heboh membahas tentang study tour yang akan dilaksanakan minggu depan, tetapi tidak dengan Aletha, ia sibuk dengan pikirannya. Ia masih kaget mendengar pengumuman yang diucapkan Bu Rini, ia berpikir jika anak IPA tidak mengikuti study tour seperti anak IPS. "Oke, jadi kita akan menginap selama 3 hari 3 malam di salah satu penginapan nantinya dan kita tidak hanya pergi ke museum, tetapi ke tempat bersejarah lainnya." Mita mengangkat tangan kanannya yang langsung ditangkap oleh Bu Rini. "Iya, Mita?" "Biaya untuk mengikuti study tour ini kapan bisa dibayar, buk?" "Mulai besok sudah bisa dibayar ya dan paling lambat hari jumat. Oh iya, uang itu sudah termasuk uang kendaraan dan juga uang makan ya." "Oke, Buk!" semua serentak menjawab terkeculi Aletha. Aletha menghela nafas gusar, untuk mengikuti study tour membutuhkan biaya yang besar dan Aletha tidak akan bisa membayar uang study tour nya. Lagipula jika ia meminta gaji untuk bulan ini dan bulan depan juga tidak akan cukup melunasi uang study tour itu. Bel istirahat berbunyi, Aletha melangkah lamban menuju bangku panjang tepatnya di depan lapangan basket. Ia sibuk berkutat dengan pikirannya tentang bagaimana cara ia melunasi uang study tournya dalam beberapa hari lagi. Jika saja Bu Rini menginformasikan hal itu jauh hari, pasti ia akan mulai rajin menabung. Jika sudah seperti ini, Aletha pusing memikirkannya. Tidak mendapat solusi, Aletha meneguk air mineral yang dibawanya, setelah itu ia menghela nafas gusar. Pikirannya sedang kacau untuk saat ini. *** Sepulang sekolah Aletha menyempatkan diri untuk berziarah di makam Mama nya, dengan ponsel yang terus berdering, ia melangkah menulusuri makam Mama nya. Ya, sedari tadi Arni meneleponnya, untuk pergantian jam kerja, seharusnya ia sudah berada di supermarket saat ini namun ia berniat untuk telat sebentar karena hari ini adalah jadwalnya untuk bertemu dengan Mama nya. Mata Aletha membulat, alisnya bertautan, ia berjongkok dan memungut bunga yang bertaburan di gundukan tanah makam Mama nya. Siapa yang baru saja datang untuk berziarah di makam Mama nya? Selama ini tidak ada yang pernah menabur bunga di makam Mama nya selain Aletha sendiri dan itupun sangat jarang. Bunga itu masih tampak segar, pasti ada seseorang yang baru saja datang untuk berziarah di makam Mama nya. Tapi siapa? Aletha mengedarkan pandangannya, namun ia tidak menemukan seorang pun di pemakaman, bahkan tukang bersih-bersih area makam juga tidak berada di sana. Lagi-lagi ponsel Aletha berdering, ia berdecak kesal. Ia mendoakan Mama nya, setelah itu mengelus batu nisan itu, mengecupnya singkat dan berlalu pergi dengan tergesa-gesa karena Arni pasti akan marah padanya. *** "Leth, lo dari mana aja sih? Dari tadi gue telpon nggak diangkat-angkat!" seru Arni kesal ketika melihat Aletha datang dan segera melepas tasnya. "Tadi gue abis ziarah." Arni mendengus keras. "Lo gimana sih, nggak profrsional banget jadi orang, udah tau jam empat itu jadwal lo kerja tapi lo malah telat gini. Terus pake alasan ziarah segala lagi!" Aletha menatap Arni tajam. "Hari ini kan emang jadwalnya gue datang telat, karena gue harus ziarah dulu ke makam nyokap gue," cetusnya, tidak suka dengan sikap Arni yang suka mengatur dirinya. "Selalu dengan alasan yang sama, kalo lo males kerja, mending lo nggak usah kerja, Leth!" Aletha mengepalkan tangannya, tidak suka dengan ucapan Arni yang sangat menyebalkan menurutnya. Akhir-akhir ini Arni selalu begitu, mempermasalahkan sesuatu hal yang sangat tidak penting. Aletha tahu, Arni marah dan kesal kepadanya karena cewek 22 tahun itu tidak suka melihat gajinya naik sedangkan gaji Arni turun. Aletha mendengus, itu karena kesalahan Arni yang suka pergi di saat jam bekerja dan juga sering bolos. Tidak mau pelanggan risih melihat perdebatan mereka, Aletha mengalah dan membiarkan Arni mengomelinya tanpa henti, ia sibuk meleyani pelanggannya, dan Arni pergi meninggalkan supermarket dengan kekesalan yang teramat sangat karena diabaikan Aletha. Pintu kaca supermarket terbuka, seseorang cowok masuk dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya, tas yang ia sampirkan di bahu kanannya dan topi hitam yang menyembunyikan rambutnya. Cowok itu adalah Darren, pelanggaan langganan supermarket itu. Darren berjalan menuju lemari pendingin dan mengambil minuman dingin lalu berjalan ke arahnya. Darren memberikan selembar uang sepuluh ribu kepada Aletha dan meneguk air sodanya. "Kembaliannya simpen aja," ucap Darren menghentikan pergerakan tangan Aletha yang hendak mengambil uang kembalian. "Tapi-." "Gue nggak suka nyimpen recehan." Aletha menghela nafas lalu mengurungkan niatnya untuk memberikan uang seribu logam Darren. "Boleh gue tau udah sejak kapan lo kerja di sini?" tanya Darren tiba-tiba. Aletha menatap mata hitam legam Darren. Bego! Kenapa nanya itu sih, jelas gue tau dari kapan Aletha kerja di sini! Aletha berusaha menahan kekehannya ketika membaca pikiran Darren. "Sejak gue kelas sepuluh, lo pasti tau, lo langganan di supermarket ini kan?" Aletha menatap ekspresi terkejut diwajah tampan Darren, cowok itu mengalihkan tatapannya dan berdeham pelan. "Gue duluan, selamat bekerja," ucap Darren sambil mengangkat botol minuman sodanya dan berlalu pergi. Aletha mengulum senyum sambil menggeleng pelan, Darren sangat lucu dengan tampang kebingungannya tadi. *** Sejak pagi hingga malam hari hujan terus menguyur kota kelahiran Aletha tanpa henti, hal itu yang membuat sebagian orang malas beraktivitas di luar ruangan, seperti saat ini sejak sore hingga malam seperti ini supermarket sedang sepi pembeli. Beberapa pegawai supermarket sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing tidak terkecuali dengan Arni yang sedang vidio call-an dengan pacarnya. Aletha menyesap teh hangat yang baru saja ia buat, pulang sekolah tadi ia merasa tidak enak badan, tubuhnya lemas dan kepalanya sakit, sesekali ia meringis pelan menahan denyutan di kepalanya. Pintu kaca supermarket terbuka, menampilkan sosok Darren yang kini tengah menjadi sorotan pegawai supermarket termasuk Aletha. Manik matanya memperhatikan penampilan Darren yang sangat tampan malam ini. Hoodie putih polos melekat di tubuhnya, rambut sedikit basah karena cipratan air hujan dan wajah cool yang sukses membuat pegawai supermarket histeris. Darren memang tidak pernah tidak tampan. Walau saat terkena hujan sekalipun. Aletha salah tingkah ketika Darren berjalan ke arahnya dengan membawa sebotol minuman dingin seraya membalas tatapannya. Ia langsung pura-pura sibuk dengan mengecek uang di mesin kasir. Ketika Darren meletakkan minumannya ke meja kasir barulah ia mendongak. "Sepuluh ribu, Dar." Setelah memberikan menyimpan uang Darren ke mesin kasir, Aletha bisa mencium aroma Darren yang khas, begitu menyejukkan indra penciumannya. Diam-diam Aletha melirik cowok itu yang masih belum pergi dari hadapannya. "Gue boleh minta bantuan?" Aletha mendongak menatap Darren dengan kerutan di keningnya. "Teman gue butuh motor buat bawa adik dia ke rumah sakit, gue boleh minjam motor lo?" ucap Darren seraya melirik seorang cowok yang tengah berdiri di luar supermarket yang mungkin adalah teman yang dimaksudnya. Aletha mengernyit kebingungan, mengantarkan seseorang yang sedang sakit dengan motornya? Yang benar saja, di luar sedang hujan, adik teman Darren pasti akan bertambah sakit jika diantar dengan motor. Kenapa tidak menggunakan mobil yang jelas-jelas selalu dibawa Darren kemana-mana? Ditatapnya Darren yang sedang bergerak gelisah, Aletha tersenyum geli, sepertinya Darren sedang membohonginya. Ia menatap mata Darren yang juga tengah menatapnya. Cuma dengan cara gak masuk akal ini gue bisa tau alamat rumah lo. Aletha tertegun, ia menatap masih menatap Darren dengan menahan senyum di bibirnya. Tidak salah lagi, dugaan awalnya benar jika Darren bermaksud ingin mengantarkannya pulang agar tahu di mana alamat rumahnya. "Gimana?" Aletha hanya mengangguk seraya memberikan kunci motornya kepada Darren. "Lo pulang jam berapa? Biar gue yang nganterin." "Eh, berarti lo nungguin gue sampai gue selesai?" "Ya." Belum sempat Aletha membantah Darren langsung berlalu pergi meninggalkannya, Aletha menghela nafas dengan senyum mengembang yang sedari tadi ditahannya. Aletha jadi semangat bekerja, badannya yang tadinya lemas kini bertenaga walau wajahnya masih terlihat pucat, hawa dingin karena hujan kini menghangat karena kehadiran Darren. Sesekali ia melirik Darren yang sedang duduk di kursi luar supermarket sambil menatapnya terang-terangan. Setelah jam kerjanya selesai, Aletha buru-buru mengambil tas ranselnya dan bergegas menemui Darren yang sudah menunggunya sejak tadi. Cowok itu tengah menatap lurus ke jalanan yang tengah diguyur hujan sambil sesekali meminum minuman yang dibelinya. "Darren," panggil Aletha pelan. Darren langsung berdiri dan melangkah bersama Aletha menuju mobil cowok itu. Di sepanjang perjalanan hanya suara gerimis air hujan yang menyelimuti keduanya. Sampai akhirnya Aletha tidak tahan lagi untuk memulai percakapan diantara mereka karena ia takut suara debaran jantungnya mengalahkan suara gerimis air hujan. Jika sampai suara debaran jantungnya terdengar di telinga Darren, kan malu! "Hmm, kenapa adik teman lo nggak dianterin pake mobil lo aja?" Darren yang sejak tadi fokus mengendari mobilnya kini mengalihkan fokusnya ke arah Aletha, walau hanya beberapa detik. Aletha tersenyum karena Darren tidak kunjung menjawab ucapannya, mungkin Darren sedang berpikir keras menemukan jawabannya. "Takut kejebak macet kalo pake mobil," ucap Darren setelah beberapa saat. "Oh gitu." "Rumah lo di mana?" "Di jalan beringin." Darren hanya mengangguk. "Oh iya lo udah belajar?" "Belum." "Karena nungguin gue lo jadi nggak belajar, maaf ya?" "Ya." "Lama ya nunggunya?" "Ya." "Lo ikut study tour sejarah?" "Ya." Diam-diam Aletha mendengus kesal, jawaban yang keluar dari mulut Darren benar-benar seadanya banget! Kepala Aletha kembali berdenyut, ia meringis pelan, wajahnya kian pucat dan tubuh Aletha semakin lemas. "Kenapa?" tanya Darren pelan. "Lo sakit?" "Nggak kok, cuma nggak enak badan aja," jawab Aletha cepat. Darren hanya diam membuat Aletha juga ikut diam, ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil memeluk tas ranselnya erat, menatap jalanan yang basah terguyur hujan, mendengarkan suara rintik air hujan dan menikmati aroma parfum Darren yang membuatnya tersenyum kecil. Tidak lama mobil Darren telah sampai di persimpangan kost-an, Aletha lalu menyandang tas ranselnya dan melepaskan selt bet ketika melihat Zio tengah menunggunya di persimpangan kost-an. "Lo nge-kost?" "Iya, makasih ya udah nganterin, nanti motor gue dianterin ke sini aja. Gue duluan, bye!" ucap Aletha sambil keluar dari mobil dan melangkah menuju Zio. "Hai Kak, nungguin gue?" Zio menghela nafas pelan, sambil melepas jaket nya dan mengenakannya di tubuh Aletha. "Iya, motor lo mana?" "Dipinjem sama temen, nanti juga dibalikin." "Leth, lo pucet, lo belum makan ya?" tanya Zio khawatir. "Belum, hehehe." "Nih, gue beliin nasi goreng, di makan ya." "Makasih kak." "Ya udah sekarang lo balik ke kost-an, mandi, makan terus istirahat." "Oke!" Aletha langsung berlalu pergi meninggalkan Zio, tanpa disadari sedari tadi mobil Darren belum juga pergi dari sana, dan Darren melihat interaksi Aletha dengan Zio yang sangat akrab. *** Share cerita ini ke teman-teman kalian ya dan jangan lupa untuk tap Love:)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN