Aletha 8

1333 Kata
Dengan seulas senyum, Aletha membalas uluran tangan Darren yang langsung dihadiahi senyum menawan dari cowok itu. Aldino yang melihat itu langsung memasukkan tangannya yang terabaikan ke saku celananya, berdeham pelan lalu duduk di kursinya. Darren mengenggam tangan Aletha, mereka bergabung bersama beberapa pasangan yang sudah berdansa. Aletha berdiri kaku di hadapan Darren, ia tidak tahu harus apa. Darren memegang pinggang Aletha membuat dirinya tertegun, badannya semakin kaku. "Pegang bahu gue." Dengan ragu Aletha meletakkan kedua tangannya di bahu Darren, kemudian Darren bergerak ke kanan secara perlahan, mengikuti lantunan lagu yang sedang mengalun. Aletha hanya mengikuti semua pergerakan Darren dengan debaran jantung yang berpacu lebih cepat karena sedari tadi iris mata cowok itu menatapnya lekat. Tiba banyak gerakan yang mereka lakukan, hanya ke kiri dan ke kanan saja, namun tetap saja membuat Aletha deg-degan, apa lagi kala Darren terus menatapnya. Aletha berusaha mengalihkan tatapannya, walau ia selalu kepergok mencuri pandang. "Leth," panggil Darren. "Y-ya?" "Lo cantik malam ini." Pipi Aletha seketika memanas, ia hanya tersenyum tipis. Darren sukses membuatnya speechless hingga Aletha ingin pingsan rasanya. "Kenapa lo nyembunyiin kecantikan lo selama ini?" Aletha hanya diam, tidak tahu harus menjawab apa. "K-kenapa lo bersikap cuek ke orang selama ini?" tanya Aletha gugup. Darren tersenyum ke arahnya, lagi-lagi Aletha harus menetralkan suara debaran jantungnya karena takut mengalahkan suara lagu yang mengalun. "Karena gue ingin dan sekarang gue bakal terbuka buat lo. Karena lo--." Aletha mengernyit. "Apa?" "Teman gue." Aletha tersenyum simpul, lalu membuang tatapannya karena Darren sedari tadi menatapnya. Dan acara dansa berakhir dengan tepuk tangan yang meriah. Aletha segera duduk di kursinya tadi sedangkan Darren bergabung dengan teman-temannya. Aletha berusaha menetralkan debaran jantungnya yang masih tidak stabil lalu meneguk minuman dinginnya sampai habis dan tersenyum kecil mengingat kejadian dansa tadi. Malam ini Aletha sangat bahagia, sungguh ia tidak pernah menyangka jika ia dan Darren berdansa bersama seperti di negeri dongeng. Tanpa Aletha sadari, di sebelahnya ada Aldino yang tengah menatapmya datar, Aletha meneguk salivanya susah payah ketika melihat wajah arogan itu. Sangat menyeramkan! Aletha melirik Aldino lewat ekor matanya, ia bergedik ngeri melihat wajah datar cowok itu namun sialnya masih saja kelihatan tampan. "L-lo kenapa?" tanya Aletha gelisah karena melihat tatapan tidak bersahabat cowok itu. Aldino tidak menjawab, cowok itu malah membuang tatapannya ke arah lain. Aletha memgernyit, apa Aldino marah karena ia menolak berdansa dengan cowok itu? Aletha mendengus, untuk apa Aldino marah padanya? Sangat kurang kerjaan. Bahkan tadi ia sempat melihat banyak cewek-cewek berebut ingin berdansa dengan Aldino, namun cowok itu menolak dan memilih menonton saja. Malas menebak-nebak, Aletha merapatkan kursinya dengan kursi Aldino, memajukan wajahnya agar bisa menatap mata Aldino. Aletha akan membaca pikiran Aldino, karena ia penasaran apa yang sedang Aldino pikirkan saat ini. Aldino membeku ketika melihat iris mata Aletha tengah menatapnya intens, untuk beberapa saat keduanya saling bertatapan, sampai akhirnya suara cempreng seseorang membatalkan niat Aletha untuk membaca pikiran Aldino. "Heh, lo berdua lagi ngapain?!" pekik Alasya. "Nggak ngapa-ngapain," ketus Aletha kesal melihat ekspresi Alasya yang sangat menyebalkan menurutnya. "Terus tadi itu apa?" tanya Zen seraya terkekeh. "Lagi main adu kedip mata," sahut Aldino. Alasya hanya mangut-mangut dan menarik tangan Zen pergi entah kemana, meninggalkan Aletha dan Aldino yang merasa canggung di tempat mereka. *** Seorang gadis berumur dua belas tahun tengah menangis, menatap nanar keadaan rumahnya yang berantakan karena pertengkaran kedua orang tuanya. Gadis itu melangkahkan kakinya yang bergetar mendekati sofa di mana Mamanya sedang menangis histeris di sana. Hatinya teriris mendengar tangis pilu Mamanya, baru pertama kali ini ia melihat Mamanya menangis semenyedihkan itu. Gadis itu kemudian berjalan menuju kamar orang tuanya, ia berdiri di ambang pintu dengan isakan yang semakin keras ketika melihat Papa nya tengah sibuk mengemasi baju ke koper. "Papa jangan pergi," lirihnya pelan sambil terus menangis pedih. Tidak ada jawaban, pria yang ia sebut Papa itu memyeret kopernya sambil berjalan keluar kamar tidak mempedulikannya. Gadis itu mengejar Papanya sambil menahan tangan Papanya, berharap sang Papa mau mendengarkannya. Namun pria itu malah mendorongnya hingga tubuhnya terjatuh ke lantai. Mamanya tidak tinggal diam, melihat perlakuan kasar sang suami, wanita itu langsung memeluk tubuh anaknya dengan sorot kebencian yang di arahkannya ke suaminya itu. "Dasar jahat, dia anakmu!" Pria itu berdecih, memasang kacamata hitamnnya dengan angkuh. "I don't care! Jangan ganggu kehidupanku!" ucapnya sambil berlalu pergi. "ALETHA BENCI PAPA!!!" Aletha terbangun dari tidurnya dengan nafas memburu, ia duduk sambil memegangi dadanya yang sesak dan menghapus air matanya yang entah sejak kapan membasahi pipinya. Kejadian yang sangat ia benci itu entah kenapa datang dimimpinya, menganggu tidurnya saja! Aletha mengepalkan tangannya, mengingat kejadian sialan itu selalu saja membangkitkan rasa benci dirinya terhadap pria paruh baya yang ia lihat beberapa hari yang lalu. Aletha menghembuskan nafasnya, ia menatap Alasya yang masing tertidur di sebelahnya, ia lalu berjalan ke kamar mandi untuk bersiap. Setelah mandi, Aletha menatap Alasya sebentar lalu menyeret koper kecilnya keluar kamar dan menemui Riza dan Reno yang tengah sarapan pagi di meja makan. "Tante, Om, Letha pamit mau pulang," ucap Aletha seraya menyalami punggung tangan Riza dan Reno. "Lho kok cepat banget pulangnya?" tanya Riza. "Letha mau belajar, Tan. Dari kemarin Letha belum belajar soalnya." "Oh ya sudah, lain kali main ke sini lagi ya, Leth," sahut Reno sambil tersenyum ke arahnya yang diangguki Aletha. "Kamu nggak mau sarapan dulu?" "Nggak tan, Letha makan di rumah aja nanti, Letha pamit ya?" Riza dan Reno hanya mengangguk sambil tersenyum. *** Aletha mencengram perutnya sambil meringis pelan, tangan kanannya masih saja belum berhenti mengerjakan beberapa soal matematikanya yang belum selesai. Sejak kemarin malam ia memang belum mengisi perutnya sama sekali dan alhasil maagnya kambuh lagi. Aletha mendengus, lagi-lagi ia mengabaikan kesehatannya. Aletha menguatkan dirinya dan berusaha meredam rasa sakit di perutnya, namun tetap saja itu jadi tidak bisa fokus belajar. Aletha membuang bolpoin nya sembarangan dan meringis kesakitan. Ponselnya berdering, ia menatap layar ponselnya yang berisikan nama Zio di sana. Tanpa berpikir panjang Aletha menggeser ikon berwarna hijau dan mendekatkan ponsel ke telinganya. "Hallo Kak?" "Leth, lo kenapa? Lo sakit?" Zio sangat peka, bahkan cowok itu bisa menebak keadaannya hanya lewat suaranya saja. "N-nggak, gue nggak pa-pa kok." "Bohong, maag lo kambuh lagi?" "Iya, Kak. Hehehe." "Ck! Sekarang lo temuin gue di persimpangan, sekarang." Setelah mengatakn itu Zio langsung memutuskan sambungannya secara sepihak. Aletha langsung menyambar jaketnya dan berjalan keluar kost-an, Zio pasti khawatir dengan kondisinya. Benar saja, ketika Aletha sampai di persimpangan kost-an pria dan wanita, Zio tengah menatapnya panik. "Ayo naik." "Mau kemana kak?" Zio tidak menjawab, cowok itu mengenakan helm di kepala Aletha dan melajukan motornya. Di sepanjang perjalanan Zio tidak banyak berbicara, ketika di apotek untuk membeli obat maag saja Zio malas untuk membuka mulutnya. Dan sekarang mereka telah sampai di salah satu restauran, Zio langsung memesankan makanan. Tidak lama meja mereka sudah tersaji berbagai macam makanan sehat, tentu Zio memesannya untuk Aletha. Zio mengambilkan nasi serta lauk pauk dan sayuran untuk Aletha, tidak lupa cowok itu menuangkan air putih di gelasnya. Aletha melahap makanannya dalam diam, sesekali ia melirik Zio yang juga tengah menghabiskan makanannya. Aletha menatap mata Zio lekat, tanpa Cowok itu sadari. Tidak berselang beberapa detik, Aletha buru-buru mengalihkan tatapannya ketika melihat Zio menatapnya. Sepertinya cowok itu sedang ada masalah, mungkin karena itu sedari tadi Zio diam saja tidak seperti biasanya. "Kak Zio," panggil Aletha. "Udah selesai makannya?" Aletha mengangguk. Zio langsung memberikan obat maag untuk diminuman Aletha dan memberikan air putihnya. Aletha menelan obatnya dan meneguk air putihnya lalu menatap Zio. "Jangan bandel, kalo waktunya makan ya makan, jangan malah belajar terus." "Iya maaf." "Kak." "Apa?" "Lo lupa senyum ke gue hari ini, Kak Zio lagi ada masalah ya?" Zio menghela nafas, seketika sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis untuk Aletha. "Gue lagi nggak ada masalah, gue cuma khawatir aja sama lo. Lo udah nggak pa-pa kan? Atau mau ke rumah sakit?" Aletha dengan cepat menggeleng. "Nggak kak, gue udah baik-baik aja kok." "Oh ya udah, ayo pulang." *** Share cerita ini ke teman-teman kalian ya dan jangan lupa untuk tap Love:)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN