Aletha 6

1584 Kata
Sedari tadi Aletha meringis menahan rasa perih dan nyeri di perut bagian atasnya, ia mencengkram kuat perutnya seraya mengigit bibir bawahnya. Baju seragamnya masih melekat di tubuhnya, setelah pulang sekolah ia langsung pergi ke supermarket dan ia juga belum makan apa-apa sejak tadi pagi. Kemungkinan maag Aletha kambuh lagi. Dari dulu ia memang sudah menderita maag, karena pola makannya yang tidak teratur. Seharusnya sejak awal pemikirannya terbuka, ia kekurangan ekonomi, seharusnya ia lebih menjaga kesehatan tubuhnya. Jika sudah sakit seperti ini, Aletha tidak punya uang untuk berobat ke rumah sakit, membeli obat saja tidak mampu. Uang hasil kerjanya selama ini benar-benar tidak cukup, semuanya ia pergunakan untuk membayar kost-an, keperluan sekolah dan bensin motornya. Aletha sangat jarang berbelanja, ia lebih suka membeli makanan yang praktis untuk menghemat keuangannya. Bahkan di kantin ia dicap sebagai siswi yang sangat jarang makan di kantin, jika pun berkunjung ke kantin itu pun hanya dua kali dalam sebulan hanya untuk membeli roti dan air mineral saja. "Leth, lo baik-baik aja?" tanya Arni seraya memegang bahunya. Aletha hanya menggeleng sambil memberikan senyuman. "Oh ya udah, kalo ada apa-apa bilang ya, gue mau siap-siap pulang." Aletha hanya mengangguk, ia menatap jam dinding. Aletha menghela nafas lega karena jam kerjanya sudah selesai. Aletha menyambar tasnya dan merogoh saku roknya untuk mengambil kunci motor. Aletha membuka pintu kaca supermarket tanpa tenaga, tiba-tiba kepalanya sakit, wajahnya mulai pucat. Aletha memegangi kepalanya sambil terus melangkah menuju motornya. Dengan kekuatan yang ada, Aletha mengendarai motornya dengan harap ia sampai di kost-an dengan selamat. *** Mau sakit atau pun tidak, Aletha wajib sekolah. Ia duduk di kursi taman yang masih sepi sambil mengeluarkan sebungkus roti dan air mineral yang ia beli di pinggir jalan. Aletha meneguk air mineralnya dan mulai memakan rotinya, untuk saat ini rotilah makanan sehat yang bisa ia makan dan harganya juga terbilang murah. Untungnya, ia tidak bertemu Zio di kost-an, jika Zio melihatnya dengan keadaan pucat seperti ini, Zio pasti akan menyeretnya ke rumah sakit dan berujung ia harus merepotkan cowok itu lagi. Aletha tidak mau. Aletha menghela nafas, ketika rotinya sudah habis ia makan. Ia meneguk air mineralnya sampai habis, namun tetap saja tubuhnya masih lemas dan tidak bertenaga. Aletha mengigit bibir bawahnya, agar bibirnya tidak terlihat pucat. Tiba-tiba seseorang duduk di sebelahnya tanpa permisi, sibuk dengan kertas soal di tangannya tanpa menatap Aletha sedikit pun. Aletha tertegun, orang itu adalah Darren. Aletha hanya bisa diam tanpa berani untuk menyapa atau pun bersuara, ia benar-benar gugup dan canggung berada di dekat cowok itu. "Lagi ngapain?" "Hm, nggak ngapa-ngapain, hehehe." Aletha benar-benar merasa konyol, cengengesan di saat yang tidak tepat. Ia memeluk erat buku-buku yang ia bawa, menyembunyikan suara debaran jantungnya yang takut-takut ke dengeran oleh telinga Darren. Aletha beranjak dari duduknya, lebih baik ia pergi ke perpustakaan dari pada duduk berduaan dengan Darren yang mungkin akan memicu penyakit debaran jantung Aletha. "Mau kemana?" tanya Darren yang membuat langkah kaki Aletha terhenti dan segera membalikkan badannya. "Ke perpus, mau jawab soal dari Pak Rizal." "Gue ikut." Aletha tersenyum samar sambil mengangguk. Darren berjalan lebih dulu di depannya sedangkan Aletha di belakang mengekori langkah Darren. Ia menatap punggung tegap Darren, jika saja ia membawa secarik kertas ia pasti akan melukis Darren dari posisi sedekat ini. Mereka memasuki perpustakaan, ternyata Aldino juga sedang berada di sana. Pandangan Aldino yang tadinya fokus kepada coretan di bukunya kini berpusat pada Darren dan Aletha yang memasuki perpustakaan. Aletha menarik salah satu kursi yang berada di hadapan Aldino dan mulai fokus mengerjakan soal-soalnya. Darren tengah menjelajahi rak buku, mungkin sedang mengambil salah satu buku fisika di sana dan benar saja, cowok itu di kursi sebelah Aletha dengan membawa satu buku fisika dan mulai mengerjakan soal fisikanya. "Udah ngerjain berapa soal, Dar?" tanya Aldino. "Tiga puluh, lo?" "Dua puluh." "Woi cupu, lo ngapain duduk di dekat Darren? Mau modus lo?"cibir Aldino. Aletha mendoak, menatap mata abu-abu Aldino dengan kesal. "Lo nggak liat gue lagi ngerjain soal matematika gue? Bukan mau modus seperti yang lo bilang!" ketus Aletha. "Pindah lo sana, ganggu pemandangan tau nggak." Aletha berdecak kesal, Aldino sangat menyebalkan. Lebih baik ia belajar di kelas yang pasti sedang ribut-ributnya karena jam kosong dari pada di perpustakaan yang ada makhluk menyebalkan seperti Aldino. Aletha menyusun buku-bukunya, namun Darren langsung bersuara, "Mau kemana?" "Ke kelas, males di sini," jawab Aletha sambil melirik Aldino. "Duduk," ucap Darren sambil menarik lengan Aletha, seketika Aletha menurut dan duduk kembali. Ia menatap Darren sesaat sambil mengerjap-erjapkan matanya tidak menyangka jika Darren akan menahannya pergi. Aletha sangat senang, ia jadi semangat belajar. "Dar, lo kok jadi aneh gini sih sama tu cewek?" ucap Aldino kesal. "Gue pengen diajarin sama dia, ada beberapa rumus yang gue nggak ngerti, mungkin dia bisa bantu." Aldino hanya mendengus lalu fokus ke soal kimianya. Ketiganya sangat fokus pada soal masing-masing, dan seperti yang Darren katakan tadi, cowok itu menanyakan beberapa rumus yang kurang dipahaminya kepada Aletha. Tentu saja dengan senang hati Aletha siap membantu, ia mengambil secarik kertas dan mulai menjelaskan rumus yang ditanya Darren. Bisa dibilang posisi duduk mereka saat ini sangat dekat, bahu mereka saling bertabrakan dan Aletha bisa mencium aroma tubuh Darren yang membuatnya tersenyum kecil. Tiba-tiba Aldino berdiri dari duduknya seraya membereskan buku-bukunya, membuat Aletha dan Darren kompak menatap Aldino dengan kerutan di kening. Tanpa bersuara Aldino langsung pergi begitu saja meninggalkan keduanya yang mulai melanjutkan acara belajar mereka. *** Aletha memeluk kertas soal matematika yang sudah selesai ia kerjakan, ia sedang berjalan beriringan bersama Darren. Cowok itu tengah menatap lurus ke depan, tangan kanan menggenggam kertas soal fisikanya sedangkan tangan kirinya disembunyikannya di saku celana. Mereka sudah menyelesaikan soal mereka dan akan mengantarkannya ke ruangan Pak Rizal. Di setiap langkah kaki mereka, hanya keheningan yang tercipta, Aletha terlalu canggung untuk memulai percakapan lebih dulu hingga suara milik Darren memecahkan keheningan itu. "Suka melukis?" "Siapa?" tanya Aletha memastikan jika Darren sedang berbicara dengannya. "Lo." "I-iya... Suka," jawab Aletha gugup. Aletha melirik Darren, ia tersenyum kecil cowok itu terlihat sangat tampan jika di lihat dari jarak sedekat ini, biasanya ia hanya bisa mengagumi wajah tampan Darren dari kejahuan. Tiba-tiba Darren menatapnya, buru-buru Aletha mengalihkan tatapannya. "Lo yang waktu itu ngelukis gue pas gue lagi tidur?" Aletha tertegun lalu mengangguk samar sambil membetulkan kacamatanya. "M-maaf ya." "Nggak pa-pa." Langkah Darren terhenti, lantas langkah kaki Aletha juga ikut terhenti. Darren berdiri di hadapan Aletha dengan tatapan datarnya, Aletha hanya menunduk karena mendapat tatapan mengintimidasi dari Darren yang sukses memporak-porandakan hatinya. "Leth." "A-apa?" ucap Aletha gugup, sungguh suara Darren sangat lembut ketika memanggil namanya. "Gue mau jadi teman lo." Senyum Aletha mengembang, ia langsung mengangguk cepat. Hari ini adalah hari yang paling mengesankan di hidup Aletha. Darren, cowok yang ia kagumi mulai menerima keberadaannya dan bahkan mau berteman dengannya. Mengingat Darren selama ini tidak mempunyai teman lawab jenis, membuat Aletha bahagia karena pasalnya, ia adalah teman perempuan Darren yang pertama. *** Setelah pulang bekerja Aletha berniat untuk membeli jagung bakar yang tidak sengaja ia lihat di pinggir jalan yang tentunya menggelitik perut keroncongannya. Setelah membeli jagung bakar di pinggir jalan, Aletha langsung duduk di atas motornya, menikmati jagung bakarnya yang masih hangat sambil menatap kendaraan yang berlalu lalang malam itu. Tidak sengaja tatapannya jatuh kepada sepasang suami dan istri yang baru saja keluar dari salah satu pusat perbelanjaan yang berada di seberang jalan. Rasa manis dan asin di jagungnya seketika hambar di mulutnya, ia jadi tidak berselera makan. Aletha menatap datar ke arah suami istri yang sedang memasukkan barang belanjaan mereka ke mobil. Mata Aletha terpejam sesaat, menetralkan rasa sakit bercampur kecewa yang tiba-tiba menggerogoti hatinya. Sepasang suami istri itu tidak lain adalah Ardi, Papanya dan istri barunya. Aletha bahkan tidak sudi menganggap jika pria paruh baya itu adalah orang tua kandungnya. Baginya, ia adalah anak yatim-piatu yang tidak memiliki siapa-siapa kecuali Alasya dan kedua orang tua Alasya dan juga Zio. Tanpa disangka Ardi membalas tatapannya, sudut bibir Aletha terangkat membentuk senyum miring yang ia berikan kepada Ardi sebagai sapaan kebencian. "Aletha!" Aletha berdecih, bahkan suara pria paruh baya itu saja merusak indra pendengarannya. Aletha membuang asal jagung bakarnya, ia mengabaikan teriakan Ardi yang memanggil namanya dan tengah menghampirinya sambil berlari kecil. Namun Aletha langsung melajukan motornya dengan perasaan sesak yang tiba-tiba menyeruak di dadanya. *** Di perbatasan kost-an Pria san Wanita, Aletha menghentikan motornya karena melihat Zio sedang berdiri sambil menatapnya. "Kak Zio nungguin gue?" Zio mengangguk sambil menyembunyikan tangan ke saku celananya. "Iya, kenapa pulang lama? Di jalan macet atau lagi banyak pembeli?" "Nggak, tadi mampir dulu beli jagung bakar, makanya lama." "Oh gitu, gue kira lo kenapa-napa, gue khawatir sama lo." Aletha tersenyum walau ia memaksakannya. "Kak Zio nggak perlu khawatir, gue nggak pa-pa kok." "Bohong, lo lagi kenapa-napa kan? Pasti ada sesuatu yang terjadi sama lo, iya kan?" Aletha menghela nafas pelan. "Kenapa Kak Zio bicara kayak gitu?" "Raut wajah lo beda, nggak kayak biasanya. Lo lagi ada masalah? Cerita ke gue, jangan di pendam." "Nggak kok Kak, gue nggak kenapa-napa, seriusan." Zio menghela nafas pelan lalu memberikan plastik yang berisi nasi goreng kesukaan Aletha. "Nih buat lo, di makan jangan sampai enggak." "Makasih Kak." "Ya udah lo masuk, mandi, makan terus istirahat. Jangan lupa minum vitamin, lo keliatan pucet," ucap Zio sambil membelai lembut rambut Aletha. Aletha mengangguk, ia menaiki motornya dan melaju menuju kost-annya. *** Share cerita ini ke teman-teman kalian ya dan jangan lupa untuk tap Love:)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN