Aletha 5

971 Kata
Setelah diperbolehkan pulang kepada guru dengan alasan ia tidak enak badan, Aletha langsung pergi ke taman di dekat kosannya. Hari ini pikirannya sedang kacau, ia terlalu memikirkan belajarnya hingga membuatnya stres. Belum lagi pekerjaannya di supermarket yang sangat melelahkan, apalagi ketika pulang sekolah ia harus segera ke supermarket tanpa beristirahat terlebih dahulu. Tidak peduli dengan tugas kelompok, ia akan mengerjakannya sendiri nantinya. Aletha bahkan memutuskan untuk bolos bekerja untuk hari ini karena ia benar-benar lelah. Aletha memejamkan matanya yang masih mengeluarkan air mata, tadi ia menjadi pusat perhatian di sekolah, salah satu hal yang paling ia benci dan hindari sejak dulu namun sekarang Aletha mengalaminya. Isakan tangisnya mulai terdengar, bahunya bergetar hebat, ia benar-benar malu dengan dirinya sendiri. Ini adalah titik terlemah Aletha, ia benar-benar lelah dengan semua yang ia hadapi. "Sejak kapan seorang Aletha Angelica jadi cengeng kayak gini?" Suara berat itu membuat Aletha buru-buru menghapus air matanya dan mendongak menatap Zio yang sudah duduk di sampingnya. "Nangisnya jangan ditahan, nanti jadi penyakit." Aletha menunduk dalam, menahan air matanya yang siap jatuh kapan saja. Ia tidak mau menangis di depan siapa pun, termasuk Zio. "Gue bilang jangan ditahan nanti jadi penyakit," cetus Zio. "Penyakit apaan, bohong!" ucap Aletha dengan suara seraknya. "Hati lo sesak." Aletha diam, ia menghapus air matanya setiap kali jatuh membasahi pipinya. Zio menatap Aletha yang tengah menunduk, tangan cowok itu menyelinapkan rambut yang menutupi wajah Aletha ke belakang telinga. Zio merapatkan duduk mereka, Zio menuntun kepala Aletha untuk bersandar di bahunya. "Nangis Leth, jangan ditahan, keluarin semuanya. Gue bakal tunggu lo sampai lo mau cerita ke gue." Tangis Aletha mulai pecah beriringan dengan air mata yang mulai membasahi pipinya. Aletha benar-benar lemah, untuk pertama kalinya ia menangis dibahu seorang cowok. Namun yang dikatakan Zio benar, jika ia masih saja menahan air matanya, hatinya malah semakin sesak. Zio menunggu Aletha dengan sabar, sesekali Zio mengelus rambut Aletha, memberi kekuatan. Zio tahu saat ini Aletha sedang down, zio tidak bisa berbuat apa-apa, yang bisa ia lakukan hanyalah meminjamkan bahunya untuk Aletha dan selalu berada di dekat Aletha. Beberapa saat kemudian, Aletha mulai tenang, raut wajahnya mulai bersahabat. Ia menegakkan tubuhnya karena kasihan melihat bahu Zio yang pasti terasa sangat pegal. Aletha menghapus sisa air matanya dan menatap Zio yang sedang memejamkan mata. Seketika mata Zio terbuka dan langsung menatap Aletha dengan senyuman lembutnya. "Udah tenang?" Aletha mengangguk pelan. "Bisa cerita ke gue kenapa lo nangis?" "Gue ngerasa capek kak, gue capek belajar, gue capek kerja dan gue capek dapatin ucapan pedas dari makhluk di bumi ini." Seketika Zio terkekeh pelan membuat Aletha mengernyit menatap cowok itu. "Jangan pernah bilang kayak gitu ke gue, di luar sana pasti banyak orang yang lebih capek dari lo. Lo ngeluh, artinya lo nggak bersyukur sama Tuhan." Aletha menunduk dalam. "Maaf kak." "Belajar jangan terlalu diforsir, secukupnya aja, gue tahu lo punya iq tinggi yang nggak bakal tiba-tiba rendah cuma karena lo nggak belajar walau sejam aja." "Iya kak." "Lo pernah cerita ke gue kalo lo lebih suka kerja dari pada diem di kost-an kan? Anggap aja kerjaan lo di supermarket itu adalah sesuatu hal yang menyenangkan. Jangan jadiin pekerjaan lo itu sebagai beban, Leth." "Iya kak." "Omongan orang jangan didengerin, lo nggak hidup dari omongan orang. Lo bilang Mama lo nasehatin lo supaya jadi orang yang kuat dan nggak peduli sama sekitar kan? So, jangan dengerin ucapan sampah mereka." "Iya kak." Zio berdecak. "Dari tadi, iya-iya mulu, ngerti nggak?" Aletha terkekeh pelan. "Iya kak, gue ngerti makasih ya pencerahannya." "Kakak bisa betulin kacamata gue? Tadi pecah keinjek orang." "Bisa, sini biar gue minta tukang optik buat perbikin." Aletha memberikan kacamatanya kepada Zio dengan senyum yang mengembang. "Leth, jangan sedih lagi ya. Gue nggak suka ngeliat lo sedih," ucap Zio lembut. Demi apapun Aletha sangat bersyukur bisa berteman dengan Zio, cowok itu selalu ada di sampingnya di saat terpuruknya, menemaninya dan mau mendengarkan masalahnya. Zio mempunyai keunikan tersendiri menurut Aletha, yaitu kata-kata menenangkan hati dan senyuman lembut yang selalu membuat Aletha merasa tenang. *** Suara dering ponsel membuyarkan lamunan Aletha. Sejak diantar pulang oleh Zio, yang dilakukannya hanyalah melamun sambil menatap rindu ke arah foto Mamanya. Aletha mengambil ponselnya dan menggeser ikon berwarna hijau lalu mendekatkan benda pipih itu ke telinganya. "Halo, Sya?" "Gue ada di perbatasan kost-an, lo bisa dateng ke sini sekarang?" Tanpa menjawab, Aletha langsung memutuskan sambungannya dan menyaambar jaket lalu mengenakannnya. Ia langsung berjalan keluar kost-an menuju perbatasan kost-an wanita dan pria. Benar saja, di sana sudah ada Alasya yang sedang memainkan ponselnya seraya bersandar pada mobil sedannya. "Sya, kenapa?" Alasya langsung memberikan paper bag kepada Aletha, penasaran akan isinya, ia langsung membukanya dan menemukan kotak kacamata di dalamnya. "Dari Kak Zio, dia nitip ke gue." "Sekarang Kak Zio nya di mana?" "Pergi ngampus, katanya ada kelas malem hari ini." Aletha hanya mangut-mangut, ia langsung mengenakan kacamatanya dan menatap Alasya yang masih sibuk dengan ponselnya. "Terus lo ngapain ke sini?" tanya Aletha. "Gue cuma pengen liat kondisi lo, tadi gue denger lo nangis karena Aldino. Oh iya, tadi Aldino nyamperin gue terus minta alamat rumah lo." Aletha mengernyit. "Untuk apa?" Alasya mengedikkan bahunya tanda tidak tahu. "Mau minta maaf kali karena masalah tadi." Aletha berdecak, seorang Aldino mau meminta maaf kepada seseorang? Mustahil! Cowok arogan itu pasti tidak akan sudi melakukannya walau kesalahannya sangat besar dan sulit untuk dimaafkan sekalipun. "Terus lo kasih, enggak kan?" "Nggak. Tapi, tadi gue udah kasih dia pelajaran supaya dia nggak ganggu lo lagi." "Pelajaran?" "Gue tendang tulang keringnya, itu akibat dia udah buat lo nangis." Aletha terkekeh geli. "Udah ah, gue mau pergi ke club dulu. Bye!" Aletha mendengus kesal, Alasya selalu saja seperti itu, pergi ke tempat yang sangat tidak cocok untuk remaja seusianya. *** Hallo, share cerita ini ke teman-teman kalian ya dan jangan lupa untuk tap Love:)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN