Aletha 3

1682 Kata
Setelah memarkirkan motornya di parkiran sekolah, Aletha berjalan menelusuri koridor yang masih sepi. Bel masuk akan berbunyi setengah jam lagi, masih ada waktu untuk Aletha duduk menghirup udara segar di taman sekolahnya. Sudah jadi hal biasa jika melihat Aletha datang lebih awal, alasannya hanya satu, ia hanya ingin menghindar dari omelan Ibu kost-annya. Aletha duduk di salah satu kursi panjang yang berada di taman, lalu ia segera mengeluarkan buku gambar dan bolpoin yang setiap hari ia bawa di tasnya. Aletha mengetuk-ngetuk bolpoinnya ke dagu sambil mengedarkan pandangannya, apa yang hari ini akan ia lukis? Rumah, taman, matahari, awan, bunga, atau pohon? Ayolah, Aletha sudah besar, terlalu kekanak-kanakan jika ia harus menggambar itu lagi. Aletha menutup matanya, entah mengapa kejadian di masa lalu terlintas di pikirannya, membuat ia tersenyum sendiri jika mengingatnya. Saat itu Aletha masih duduk di bangku kelas IX SMP. Di bangku taman ia menatap dari kejauhan seorang cowok tengah tertidur pulas dengan earphone yang menyumpal telinganya. Dengan hati-hati Aletha berjalan mendekat, ia memeluk buku gambarnya, lalu duduk di rerumputan menghadap cowok itu. Untung saja cowok itu masih tertidur damai dengan posisi duduk tegap, tangan yang menggenggam ipad dan mata terpejam yang sangat indah. Buru-buru Aletha mengeluarkan bolpoin dari saku bajunya dan mulai melukis cowok itu, sesekali ia tersenyum kecil, ia tidak menyangka bisa menatap cowok itu dengan jarak sedekat ini. Tiba-tiba cowok itu menggeliat pelan, Aletha membulatkan matanya dengan cepat ia menyelesaikan kegiatannya. "Ngapain lo di situ?" Aletha tersentak kaget, ia langsung menutup wajahnya dengan buku gambarnya dan segera pergi dari cowok itu secepat kilat. Aletha tersenyum kecil mengingat kejadian itu, sejak SMP hingga saat ini ia masih saja mengagumi cowok itu. Dari dulu ia sering sekali melukis cowok itu dari kejahuan, namun ketika ia sudah beranjak SMA, Aletha jadi sudah jarang melakukan kegiatan melukisnya karena ia selalu sibuk dengan tugas-tugasnya. Namun sekarang ia akan melukis wajah cowok itu lagi, ia mulai melukis di lembar putih yang masih polos itu. Tidak membutuhkan waktu lama, ka sudah selesai melukis wajah cowok itu dengan sempurna. Senyum Aletha mengembang menatap hasil karyanya, kemudian ia merobek kertas hasil lukisannya dan mengecupnya singkat. Aletha tertawa geli melihat kelakuanya yang mulai aneh. Aletha memasukkan buku gambar serta bolpoin nya ke dalam tas dan beranjak dari duduknya. Ia menatap lagi wajah cowok yang sudah ia lukis itu, tersenyum manis lalu meletakkan kertas itu di bangku, tempat di mana ia duduk tadi dan berlalu pergi. Tanpa ia sadari seseorang sedari tadi memperhatikannya dari kejauhan. *** Semilir angin sore menusuk kulit Aletha ketika ia menginjakkan kaki di sebuah tempat yang sunyi dan sepi yang dihiasi oleh banyak gundukan dan bunga-bunga yang bertaburan digundukan itu. Sepulang sekolah, Aletha menyempatkan diri untuk berkunjung ke makam Mama nya, ia rindu dengan sosok yang ia kagumi sejak kecil itu. Namun apa daya, Mama nya telah meninggalkannya untuk selama-lamanya. Seperti biasanya, tidak ada yang ia bawa untuk Mama nya, walau hanya setangkai bunga. Berbekal kan doa, sudah cukup membuat Mama nya senang menurut Aletha. Aletha berjalan mendekati makam Mama nya dan berjongkok untuk mencabut rerumputan liar yang sudah memenuhi gundukan makam Mama nya. Setelah itu Aletha merapalkan doa dan tersenyum manis ke arah batu nisan Mama nya. Dibacanya nama yang terukir indah di batu nisan itu. Annisa Daryati, nama yang selalu Aletha sebut disetiap doanya dan nama yang selalu ia tangisi di setiap malamnya karena rindu. "Ma, apa kabar?" Aletha tersenyum sambil mengusap batu nisan Mama nya. "Aletha butuh seseorang buat nyemangatin Letha belajar, supaya Letha bisa masuk ke universitas negeri, Ma. Letha butuh Mama saat ini." Tidak ada yang menyahut, hanya semilir angin yang di dengar Aletha. Ia tersenyum kecut, jika saja ia punya banyak uang untuk membiayai operasi jantung Annisa, Mama nya itu pasti tidak berada di tempat ini. Jangan tanyakan di mana Papa Aletha, ia juga tidak tahu dan tidak mau tahu. Annisa dan Ardi sudah lama bercerai sejak umurnya delapan tahun. Ketika mereka menikah, Annisa shock ketika tahu jika sebelum menikah dengannya Ardi sudah memiliki seorang anak dari selingkuhannya. Annisa langsung menceraikan Ardi dan selang beberapa bulan mereka bercerai, Annisa menderita penyakit jantung hingga merenggut nyawa orang yang paling ia sayangi di muka bumi ini. Ketika sudah bercerai dengan Mama nya, Papa nya itu menelantarkan dirinya dan memfokuskan diri kepada kehidupan barunya. Ardi juga tidak datang ketika pemakaman Mama nya berlangsung. Saat itu Aletha hanya sendiri, benar-benar sendiri, menangis histeris sambil memeluk gundukan tanah Annisa. Dan saat itulah Aletha sangat membenci Papa nya hingga detik ini. "Ma, Aletha nggak akan ngejual motor kesayangan Mama. Biar bagaimana pun, motor itu udah Letha anggap sebagai pemberian Mama yang berharga. Walaupun motor itu udah butut kata Alasya, tapi masih bisa Letha gunain ke sekolah kok. Mama tenang aja, Letha nggak malu bawa motor kesayangan Mama ke sekolah." "Maaf ya, Ma, waktu itu Letha berencana buat jual motor kesayangan Mama." "Oh iya, Ma, tadi Letha ketemu sama Darren. Letha senang liat Darren ketawa sama Aldino tadi, Letha harap suatu saat nanti Letha bakal ketawa bareng Darren. Amin." Aletha tertawa pelan dengan ucapana yang ia lontarkan tadi. "Ma, semangatin Letha supaya Letha lebih sabar lagi ngehadepin makhluk di bumi ini. Mereka kalo ngomong suka kasar banget, Ma. Untung Letha tahan banting kayak Mama," kekehnya pelan. Aletha menatap langit yang kian menjingga lalu menatap batu nisan itu lagi dengan senyuman kecil di bibirnya. "Ma, udah sore, Letha harus berangkat kerja. Mama baik-baik ya di sini, Letha sayang sama Mama. Letha pergi ya, Ma. Bye," ucap Aletha, mengecup batu nisan Mama nya sebentar dan berlalu pergi. *** Hari ini adalah hari sabtu, sekolah memang libur, namun hari ini ia akan berangkat bekerja di supermarket dari pagi hingga petang. Setiap weekend memang seperti itu, berbeda dengan hari biasa, kerja sore hari dan pulang malam hari. Setelah memasak mie kuahnya, Aletha langsung menikmati sarapan paginya itu dengan lahap. Suara ketuka di pintu membuat acara makannya sedikit terganggu, dengan malas ia membukakan pintu dan langsung dihujam dengan tatapan datar tanpa ekspresi dari Bu Nuri, Ibu kost-annya. Mampus! Bu Nuri berdeham pelan, lalu melipat tangannya di depan d**a. "Kamu tahu apa kesalahan kamu kan?" Aletha mengangguk samar sebagai jawaban. "Segera kemas barang-barang kamu dan angkat kaki dari tenpat ini, masih banyak orang yang mau tinggi di sini dan membayar uang bulanannya tepat waktu, bukan seperti kamu." Aletha terbelalak, ia meringis. "Buk, tolong jangan usir saya. Saya janji bakal bayar uang kost-an bulan kemarin sama bulan ini, bahkan untuk bulan depan saya akan bayar. Tapi tolong kasih saya waktu sampai nanti sore, saya mohon, Buk Nuri." "Oke, saya akan pegang janji kamu. Jika sampai nanti sore kamu belum juga membayar uang bulanan kamu, saya nggak akan segan-segan buat nyeret kamu keluar dari kost-an ini," cetus Bu Nuri dengan wajah tidak bersahabatnya. Aletha meneguk salivanya susah payah dan mengangguk samar. Setelah mengatakan itu hal itu, Bu Nuri langsung pergi meninggalkannya. Aletha bernafas lega, buru-buru ia menyambar totebag dan kunci motornya dan langsung menuju supermarket. Seharian Aletha sibuk dengan beberapa pembeli, ia dibantu oleh Arni yang sudah masuk kerja. Dari enam pegawai di supermarket, Aletha lah yang paling muda dan masih bersekolah. Ia diterima kerja karena keahliannya dalam menghitung, ketelitiannya yang bagus dan kecepatannya yang tepat. Bosnya langsung menerimanya dengan senang hati. Sungguh, saat itu Aletha sangat senang, ia bersyukur karena bisa mendapatkan pekerjaan yang menurutnya menyenangkan. Seorang cowok bertubuh tinggi dengan masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya dan topi yang menutupi rambutnya---datang menghampirinya dengan keranjang belanjaan yang sudah diletakkan di meja kasir. Beberapa saat tatapan Aletha meneliti penampilan cowok itu, lalu ia menatap mata tajam cowok itu tanpa berkedip, seakan mata itu telah menghipnotisnya. Aletha baru menyadari, akhir-akhir ini cowok itu memang sering sekali berbelanja di supermarket itu dan dengan penampilan yang sama. Tertutup. Belum sempat Aletha membaca pikiran cowok itu, suara dehaman dari Arni langsung membuyarkan lamunannya. Dialihkannya tatapannya dari mata tajam cowok itu, ia mulai menghitung jumlah harga belanjaan cowok itu dengan cepat. Arni juga sedang mengemasi barang belanjaan cowok itu ke plastik dan menyerahkannya kepada cowok itu dengan senyum ramah. "Semuanya jadi delapan puluh ribu," ucap Aletha sambil memberikan struk belanjaan cowok itu. Cowok itu memberikan uang seratus ribuan kepada Aletha dan ia langsung memberikan kembaliannya. Mata Aletha masih menatap pergerakan cowok itu yang sedang memasukkan uang kembaliannya ke dompet, hingga mata tajam cowok itu menatapnya. Dan lagi. Tatapan keduanya bertemu. Jantung Aletha berpacu lebih cepat dari biasanya. Darren? Apa benar cowok itu adalah Darren? Aletha tahu betul mata itu, sangat percis dengan mata Darren. Tinggi badan serta kulit putih nya juga sama seperti Darren. Keduanya masih saling menatap, namun kali ini senyum terukir di wajah Aletha, senyum malu karena ketahuan sedang memperhatikan cowok itu. Cantik. Aletha terbelalak, jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Satu kalimat yang ia baca dipikiran cowok itu yang sukses membuatnya ingin terbang seperti balon yang lepas dari genggaman pemiliknya. Apa boleh Aletha berteriak kencang saat ini juga?! Cowok itu langsung pergi tanpa meninggalkan sepatah kata. Aletha membisu, ia memegangi dadanya dengan deru nafas yang memburu. Arni yang berada di sampingnya kebingungan melihatnya. "Lo kenapa, Leth? Lo sakit?" Aletha mengeleng, seketika senyum mengembang di wajahnya. Tidak salah lagi, itu pasti Darren, cowok yang ia kagumi sejak SMP. Aletha malu, ia salah tingkah, dan juga senang karena cowok itu mengatakan jika dirinya cantik. Pipi Aletha bersemu panas, ia memegangi pipinya dengan senyum yang masih mengembang di wajahnya. Apa Darren menyukainya? Aletha menggeleng pelan. Seorang Darren, cowok yang memiliki otak cerdas ber-iq tinggi, tampan bahkan sangat tampan untuk kalangan seusianya, tinggi, berkulit putih bersih serta wangi. Tidak mungkin menyukainya yang tidak sederajat dengan cowok itu! Aletha berdecak, TIDAK MUNGKIN! Jika mungkin, mungkin hanya ada di alam mimpinya. Namun mengapa cowok itu berbisik di hatinya dan mengatakan jika Aletha cantik? Apa ia yang salah ketika membaca pikiran Darren? Tidak mungkin, selama ini Aletha sangat paham dan mengerti ketika membaca pikiran seseorang, bisa dikatakan ia ahlinya. Satu pertanyaan selalu menganggu pikirannya. Apa Darren menyukainya? *** Share cerita ini ke teman-teman kalian ya dan jangan lupa untuk tap Love:)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN