Semenjak koas, ia mulai belajar banyak hal. Salah satunya menjadi pemimpin. Mungkin karena Husein membuatnya mandiri dengan sendiri atau memang ia yang berusaha keluar dari zona nyaman? Awalnya memang terasa aneh tapi Eza seringkali mendorongnya untuk menjadi imam di mana pun. Bahkan orang-orang di rumah sakit turut sering membuatnya menjadi imam. Alasannya hanya satu, menurut Eza, bacaan Qurannya bagus dan fasih. Selain itu, Hasan juga tampak sangat menjaga diri. Dia berbeda dari lelaki-lelaki lain.
Hampir dua tahun ini pun, ia semakin terbiasa. Meski awalnya tak mudah tapi bernama lah kata Husein, lelaki itu pun melalui proses yang cukup panjang hingga akhirnya menjadi imam di masjid Salman ITB. Imam di tengah-tengah mahasiswa. Hal yang membuat namanya cukup melambung meski tak setinggi lelaki lain yang memang lebih populer di kampus.
Hampir satu bulan ini pun, Hasan mulai melupakan cinta pertamanya. Untuk apa juga diingat-ingat kalau tidak ada hasilnya? Lebih baik ia menata hidupnya dan berbuat yang lebih baik lagi untuk masa depannya sendiri. Kalau memang bukan jodohnya, mau bagaimana lagi?
Udah aku belikan tiket untuk kau pulang
Itu pesan dari Husein. Ia tersenyum kecil. Sebetulnya, ia tak mau merepotkan Husein. Tapi sepertinya, Mamaknya yang menyuruh membelikan tiket untuknya. Meski tanpa disuruh pun, Husein pasti membelikan untuknya. Lelaki itu memang bisa diandalkan sejak dulu.
"San!"
Panggilan itu menyadarkannya. Ia segera berdiri begitu melihat sosok direktur rumah sakit ini. Ia agak kaget karena dipanggil secara langsung. Ia jarang berinteraksi secara dekat. Hanya sekali, seingatnya begitu. Kala itu, ia baru koas di sini dan ia melihat secara langsung lelaki itu melakukan operasi. Ia terpesona kala itu. Dan omong-omong, ia juga baru ingat kalau anak perempuannya cantik sekali. Sayang sekali, sudah menikah. Kalau pun belum? Ia mana berani mendekati.
"Ya, dok?"
Ia datang menghampiri dengan sopan.
"Besok ada acara?"
"Oh," ia agak kaget. "Gak ada, dok."
Sang direktur mengangguk-angguk. "Kalau begitu datang lah ke rumah orangtua saya. Ikut buka bersama di sana ya?!" tuturnya yang terdengar seperti setengah memerintah.
"Ah-eh-i-iya, dok," jawabnya terbata-bata. Lelaki itu menepuk-nepuk bahunya kemudian menitahkannya untuk menanyakan alamat rumah itu pada sekretarisnya. Hasan hanya mengiyakan kemudian menghela nafas saat lelaki itu pergi. Sayangnya, Hasan tak melihat kejadian berikutnya di mana sang direktur tampak menghampiri lelaki seusianya sembari memberi kode ke arah Hasan yang sudah berjalan jauh.
"San! Ikut bukber besok? Sama anak angkatan? Terakhir katanya, sebelum kita lulus?" tanya Eza dari ujung koridor.
Hasan menghela nafas. Kemudian berjalan ke arah Eza. Tadinya ia hendak pergi ke arah lain.
"Gue ada acara besok," jawabnya.
"Wih. Sibuk amat?" ledek Eza. Ia tahu kalau Hasan tak punya begitu banyak teman jadi jarang keluar. Berbeda dengannya. Ditanya begitu, Hasan terkekeh. Eza baru tahu alasan Hasan tak bisa ikut bukber pada esok harinya. Ia hanya tak sengaja mendengar gosip-gosip yang bertebaran dan menyebutkan kalau Hasan hendak dijadikan menantu direktur. Tapi dari rumor yang pernah ia dengar, satu-satunya anak perempuan sang direktur sudah menikah. Jadi, dengan siapa Hasan hendak dijodohkan?
Saat melihat Hasan berjalan menuju parkiran, ia membalik langkah. Hasan lembur semalam dan baru hendak pulang sepagi ini.
"Lo mau dijodohin sama anak direktur?"
Ditanya begitu, Hasan malah mengerutkan kening.
"Gue baru dateng dan semua orang ngomong begitu."
Maksudnya, yang berbicara tentunya para pekerja di rumah sakit ini. Beritanya cukup heboh. Tapi semua tak heran karena mereka merasa jika hal itu sangat wajar. Hasan adalah lelaki yang baik. Wajar jika banyak orangtua yang menginginkannya sebagai menantu.
"Gue gak paham," ujar Hasan santai tapi hatinya tidak. Tiba-tiba ia ikut berspekulasi tapi tak punya ide sama sekali karena ia tahu kalau anak perempuan sang direktur sudah menikah. Tidak ada kabar miring pula yang ia dengar. Jadi seharusnya pernikahan itu baik-baik saja. Lantas apa?
Ia mulai berpikir yang aneh-aneh di sepanjang perjalanan. Mulai tersenyum sendiri membayangkan perempuan yang pernah ia lihat fotonya sekali. Foto siapa? Tentu saja anak perempuan sang direktur. Satu rumah sakit pun tahu betapa cantiknya. Tapi kemudian Hasan menggelengkan kepala. Ia tak boleh memikirkan sesuatu yang belum pasti. Meski ia tak bisa mengelak dari pikiran-pikiran itu. Hingga tanpa sadar membuat rasa percaya dirinya tumbuh.
@@@
"Rapi amat? Tumben?" begitu komentar Husein. Entah kapan Husein tiba di apartemen, Hasan pun tak tahu.
Hasan menggaruk-garuk tengkuknya. Ia terlalu kentara ketika sesuatu terjadi dalam hidupnya. Ekspresi wajahnya sama sekali tak bisa berbohong. Padahal Husein hanya menanyakan itu kemudian masuk ke kamar mandi dan tak berkomentar apapun lagi.
Tak lama, Hasan berangkat dengan motornya. Di perjalanan, ia semakin gugup sembari menebak-nebak apa yang terjadi. Saat memasuki gerbang komplek, ia memerhatikan alamatnya diponsel kemudian menanyakannya pada satpam komplek. Lelaki tua itu yang mengarahkan jalannya menuju ke te tempat tujuan. Ia mengucapkan terima kasih kemudian pamit lagi.
Ia mengecek sekali lagi alamatnya dan melihat nomornya ada di pagar rumah. Ia meneguk ludah dalam-dalam. Kalau bukan karena direkturnya yang mengundang, ia tidak akan pernah datang. Tapi mana mungkin ia menolak undangan itu? Rasanya seperti tak tahu diri.
Tiba di depannya, ia melajukan motornya untuk masuk ke dalam rumah. Pagar rumahnya terbuka lebar sehingga ia bisa masuk dengan leluasa sembari berdoa semoga ia tak salah rumah. Kalau sampai salah rumah, ia tak yakin wajahnya masih akan ada di depan.
Direkturnya tersenyum lebar saat melihatnya tiba. Hasan segera turun dari motor dan melepas helmnya. Ia berjalan terburu-buru ke arah lelaki itu kemudian menyalaminya dengan sopan. Bahunya ditepuk-tepuk dan ia diajak masuk ke dalam rumah besar itu. Rumah itu tentu saja jauh lebih besar dibandingkan dengan milik orangtuanya yang sederhana. Ia diajak berkenalan dengan seluruh keluarga besar dari sang direktur. Ia hanya tersenyum, manut-manut dan berbicara seperlunya ketika ditanya. Ia tak tahu sama sekali apa yang terjadi di belakangnya. Para saudara dari sang direktur sibuk melihat interaksinya dengan para anak-anak mereka. Namun tak ada keistimewaan yang ditemukan. Tak ada rasa ketertarikan yang dinantikan. Hingga kemudian, lelaki yang kala itu bertemu sang direktur di rumah sakit hanya bisa berdeham. Ia sudah bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Tetapi.....
Hasan sempat tertegun ketika hendak menyalami seorang perempuan. Tapi tentu tidak menyentuh tangannya. Ia hanya tertegun sesaat karena melihat wajah yang begitu cantik di hadapannya. Tampaknya agak cuek dan dingin tapi Hasan tahu kalau orang seperti ini biasanya memiliki hati yang hangat. Hal yang membuatnya tak bisa berpaling sama sekali.
Ia berdeham saat lelaki lain mengajaknya untuk bercengkrama bersama keluarga besar ini. Ia pikir akan ada batas ketika bergabung dengan keluarga konglomerat ini. Tapi ternyata tidak. Seperti rumor yang pernah ia dengar di rumah sakit, semua staf di sana sangat menyukai keluarga bos mereka. Mungkin karena ramah dan apa adanya? Ia bisa merasakan hal itu. Namun sialnya, ia tak pernah bisa berpaling dari perempuan yang berhasil mencuri kegalauan hatinya sejak pertama kali menatapnya.
@@@
Ia berupaya mencari akunnya. Ia masih ingat betul namanya namun anehnya tak ditemukan. Akhirnya, ia berpikir pada hal lain. Ia mencari akun dari anak sang direktur. Kemudian melihat gambar-gambarnya. Kebetulan sekali, akun itu tidak dikunci dan tak lama, ia menemukan gambar perempuan itu. Ia tersenyum kecil. Ketika baru saja meng-klik akun itu, tiba-tiba ponselnya sudah berpindah tangan. Ia ternganga melihat Husein mengambil ponselnya.
"Cewek baru?" ledek lelaki itu. Kemudian ia tertawa melihat akun perempuan mana yang dibuka Hasan.
"Keponakannya bos ini!" serunya yang membuat Hasan mengerjab-erjab. Ah, ia juga baru sadar kalau Hasan bekerja pada salah satu perusahaan keluarga itu. Jadi pasti tahu. "Yakin?" ledeknya yang tentu saja membuat nyali Hasan menciut. Husein mengembalikan ponselnya dengan melemparnya ke arah Husein. Ia duduk santai sembari mengangkat satu kaki. "Namanya Ann. Anne Adhiyaksa," tuturnya. Ia ingat karena pernah bertemu dengan abang dari perempuan itu. Pernah bertemu beberapa kali hingga akhirnya melihat perempuan itu sekali. Tapi ia tak tertarik. Kenapa? Terlalu cantik, menurutnya. Ia tak berani mendekati apalagi menawarkan diri. Terlebih perempuan itu adalah anak dari salah satu petinggi perusahaan. Mana berani? Tapi kalau Hasan memang punya nyali, Husein persilahkan. Asal ia harus berjuang lebih baik dari sebelumnya.
Husein menepuk-nepuk bahunya. "Tapi masih kecil. Ini cewek masih SMA kalo gak salah," tutur Husein yang membuat Hasan terkekeh. Ia juga tahu kalau gadis itu masih sangat kecil. Tidak mungkin juga ia mendekatinya saat ini kan? Bingung pula caranya. Tapi harapnya, suatu saat nanti ia bisa dipertemukan dengan gadis itu kembali. "Dari pada mikirin cewek, mendingan mikirin masa depan, San. Setelah ini, kau harus menentukan di mana kau akan melangkah. Kalau aku sudah jelas. Hanya saja, aku mungkin gak bisa lagi sering-sering mendatangimu dan melihatmu seperti ini," tuturnya yang membuat Hasan terkekeh. Ia juga bukan anak kecil lagi yang harus selalu dijaga Husein. Selama ini, ia memang sangat tergantung pada Husein yang selalu bisa diandalkan.
"Kau sendiri bagaimana?"
Kening Husein mengerut. Maksudnya apanya?
"Memangnya gak ada perempuan yang menarik? Mamak sudah mewanti-wanti minta kau nikah saja," ungkapnya yang membuat Husein tertawa.
Lelaki itu berdiri lantas berjalan menuju dapur untuk memasak nasi. Setidaknya, harus ada nasi untuk sahur nanti.
"Nikah itu urusan nanti. Aku nak menikmati masa-masa muda ini."
Hasan tersenyum kecil. "Ya, kau terlalu banyak menjagaku dibandingkan main dengan teman-temanmu yang lain."
Husein terkekeh. Ia sebetulnya punya banyak teman. Tapi karena Hasan terkadang kesulitan beradaptasi, ia jadi lebih sering hanya berdua dengan Hasan. Namun tentu berbeda sejak kuliah karena keduanya berpisah. Hasan harus belajar mencari teman baru. Sementara Husein memang anak yang aktif. Jadi bisa dekat dengan siapa saja meski tampak di luar, sesungguhnya Husein dikenal dengan kepribadian yang berbeda. Agak pemalu. Mungkin karena terkadang kurang percaya diri saja.
"Aku dapat teman-teman baru lagi. Kau mau ku kenalkan?" tawarnya.
Hasan menggeleng lemah.
"Yakin?"
Hasan menatapnya dengan kerutan dikening.
"Teman-temanku ini para sepupunya si Ann itu."
@@@
"Bang Hasan? Yang kemarin ikut bukber kan? Sampai salah mengira," tutur Ando yang baru Hasan kenal sebagai kakaknya Anne. Padahal saat acara buka bersama itu, ia bertemu lelaki ini tapi karena terlalu grogi ia tak berani mendekati siapapun. Hanya Farrel yang menyambutnya. Namun ia juga agak segan karena Farrel terlihat tidak begitu banyak bicara. Tapi ternyata, orangnya cukup menyenangkan. Sebelum bertemu dengan Ando, ia dikenalkan oleh Husein pada Farrel. Hasan baru tahu kalau Husein ikut rekaman ngaji di studio rekaman mungil milik Farrel. Pertemanan Husein memang selalu lebih luas darinya. Tidak semua teman-teman Husein bisa dikenalkan pada Hasan. Alasannya? Husein tahu kalau Hasan terkadang tidak terlalu nyaman dengan banyak orang. Jadi Husein memilah-milah karakter orang yang mungkin bisa berteman dengan Hasan.
"Kirain kemarin itu Bang Husein yang diundang," tutur Ando. Ia sudah beberapa kali berbicara seperti itu. Farrel hanya tersenyum kecil. Lelaki itu sedang mengecek peralatan sebelum rekaman. Ia juga dibantu Ferril yang sudah serius sedari tadi.
"Dengar-dengar Abang kuliah di UI?" tanya Ferril. Cowok itu sedari tadi tak begitu menyimak obrolan Hasan dan Ando. Husein? Lelaki itu katanya hendak menjemput teman satu lagi.
"Iya."
"Kapan selesai koas, Bang?"
Kali ini Farrel yang bertanya.
"Insya Allah beberapa bulan lagi."
Farrel mengangguk-angguk. Hasan tak tahu apa-apa latar belakang ketiga orang di dekatnya ini. Ia hanya tahu kalau ketiganya adalah anak konglomerat. Hanya itu.
"Assalamualaikum!" ucap Husein. Lelaki itu muncul lagi bersama Adit. Lelaki itu ternganga melihat kehadiran Hasan.
"Adit," tuturnya. Uluran tangannya disambut dengan senyuman milik Hasan. Ia sudah pernah bertemu sekali dengan lelaki ini.
"Langsung mulai?" tanya Ferril. Cowok itu sudah mengecek semuanya juga sudah menguji coba.
Farrel berdeham. Lelaki itu memberikan arahan pada Hasan untuk membaca Quran dari mana dan sampai mana. Nanti akan disambut oleh Husein. Saat rekaman berlangsung, Farrel tersenyum kecil. Suara keduanya sama persis. Namun ada satu hal yang membedakan. Apa? Suara Husein terdengar lebih berwibawa. Mungkin karena kakaknya? tebaknya. Kalau suaranya dan Ferril sih juga sama persis. Kadang tidak bisa dibedakan kecuali oleh kedua orangtuanya dan Farras. Tapi suara Farrel tentunya tidak mengandung ketengilan. Itu saja yang membedakan.
"Kalau soal cewek, Hasan sudah pernah lah," tutur Husein yang kemudian tertawa sementara Hasan menggaruk-garuk tengkuknya. Malu. Farrel, Ferril, Ando dan Adit kompak terkekeh. Usai rekaman, mereka mengajak Hasan, Husein dan Adit untuk berbuka puasa di martabak milik Farrel. Kebetulan rukonya berada tak jauh dari studionya. Awalnya hanya berbicara seputas kuliah lalu berlanjut pada persiapan perempuan dan asmara.
"Ada cewek namanya Fara, dia taksir dari sekian semester tapi gak berani deketin," bocor Husein yang lagi-lagi disambut kekehan.
"Kenapa gak berani deketin, Bang?" tanya Ferril dengan santai. "Tampang ada, calon dokter. Cewek manapun pasti mau."
Farrel mengangguk-angguk setuju. Begitu pula dengan Ando.
"Dia juga naksir cewek itu," ungkap Hasan sembari menunjuk Husein. Kalimatnya disambut gelak tawa yang memenuhi ruko martabak sore itu.
@@@