Gadis Misterius

2066 Kata
Dua tahun kemudian. "Selamat datang kesibukaaaan," ledek Eza yang membuat Hasan tertawa. Cowok itu baru saja mengambil liburan cukup lama setelah sekian lama sulit istirahat. Lelaki itu merangkulnya sembari berjalan melintasi lobi rumah sakit. "Gue tadi liat ada yang baru keluar dari mobil baru." Hasan terkekeh. "Itu mobil Husein." "Mobil Husein yang udah jadi hak milik?" Hasan tertawa. Tahu saja. Ia sengaja membeli mobil Husein dengan cara mencicil. Saudara kembarnya itu baik sekali. Selain memberikan harga yang cukup murah, apartemen di Jakarta juga dialihkan atas namanya secara penuh setelah selama ini, mereka membagi dua kepemilikan apartemen itu. Apa alasan Husein melakukan itu? "Gue udah cukup dengan apa yang gue punya." Begitu kata-katanya. Husein memang bukan orang yang tamak. Dengan pendapatannya yang emang jauh di atas Hasan, ia sudah bisa menyicil apartemen sendiri. Selain itu, ia juga sudah membeli mobil baru. Ditambah lagi, posisinya di perusahaan semakin tinggi. Terkadang Hasan merasa jika ia tertinggal jauh tapi Husein selalu membesarkan hatinya. "Kadang kita terlalu sering melihat ke atas jadi lupa melihat ke bawah. Padahal dulu posisi kita di bawah. Jangan terlalu sering melihat ke atas, San. Jangan melihat apa yang tidak kita punya tapi lihat lah apa yang kita punya sekarang dan syukuri itu. Alah selalu memberikan rejekinya pada setiap hamba-hamba-Nya yang mau berusaha. Soal banyak atau sedikit itu hanya tergantung cara berpikir dan cara bersyukur." Dan kata-kata Husein selalu ia benarkan. Benar-benar kakak teladan baginya. Meski dua tahun ini, dengan kesibukan masing-masing dari mereka sudah sibuk dan jarang bertemu. Tapi setidaknya, Hasan dan Husein masih sering bertukar pesan untuk memastikan keadaan masing-masing. "Dok!" teriak salah seorang staf di lobi. Eza menoleh terlebih dulu kemudian menepuk-nepuk bahu Hasan karena ternyata, Hasan yang dimaksud. Ketika membalik badan.... "Dipanggil dokter Aisha," tutur perempuan itu. Hasan menganggukan kepala lalu berpisah dengan Eza. Lelaki itu berjalan masuk lift. Ia jarang masuk ke gedung administrasi di mana semua ruangan dokter senior ada di sana. Kalau dokter-dokter junior sepertinya juga memiliki ruangan tapi tidak sebesar ruangan dokter senior. Tiba di depan ruangan Aisha, ia mengetuk pintu sembari mengucap salam. Terdengar suara Aisha dari dalam sana yang menyuruhnya masih. Ketika membuka pintu, ia tidak tahu kalau ternyata Aisha tidak sendiri. "Ini dokter Hasan, Ann," tutur Aisha yang langsung memperkenalkan perempuan berjilbab yang duduk membelakanginya. Ketika perempuan itu menoleh ke arahnya, saat itu lah Hasan terpaku. Tentu kaget dan tak menyangka karena malah dipertemukan lagi di sini setelah sekian lama. Gadis ini berubah banyak. Meski wajahnya asih kekanakan tapi ia bisa merasakan auranya yang menjadi dewasa muda dibandingkan dua tahun sebelumnya? "Ini, Ann, Hasan. Kamu bantu dia magang di sini," tutur Aisha. Aaaah. Hasan mengangguk-angguk. Ia tak tahu kalau gadis ini memilih untuk kuliah kedokteran juga. Eh iya kah? Bukan perawat atau bidan bukan? Karena kalau itu, tak mungkin Aisha menyerahkan padanya. Kalau perawat, biasnaga dipegang dokter Fahri dan juga ketua perawat di rumah sakit ini. Kalau bidan, biasanya didampingi dokter kandungan di sini. Dan lagi, ia masih baru menjadi dokter umum. Baru setahun lebih sedikit? "Ann," sebut gadis itu. Hasan tersenyum tipis sembari mengangguk-angguk lagi. Ketika menoleh pada Aisha, perempuan itu menyuruhnya untuk membawa Anne keluar. Anne berpamitan pada Tantenya. Gadis itu berjalan mengintili Hasan. Saat Hasan menghentikan langkahnya, ia juga ikut berhenti. "Ann kuliah kedokteran?" Gadis itu hanya berdeham. Kemudian melangkah lagi karena Hasan juga melangkah. "Udah semester berapa, Ann?" "Masuk empat." Aaaah. Hasan mengangguk-angguk. "Biasanya yang ngambil magang itu tingkat tiga atau empat." Anne tak menjawab. Menurutnya, itu terserah orang. Ia memilih magang lebih cepat juga ada sebabnya. Kenapa harus menyejajarkan keinginan Anne sama dengan anak-anak lain? Begitu pikirannya. Tapi ia tak berani menyuarakannya karena? Untuk apa juga. "Sekarang bukannya lagi liburan ya, Ann?" tanyanya lagi yang membuat kening mengerut. Anne heran saja. Biasanya kalau ada anak magang seharusnya diajak memperkenalkan isi rumah sakit. Bukan kah itu yang diminta Tantenya tadi? Tapi lagi-lagi ia tak menyuarakan isi hatinya. Biar kah Hasan dengan pikirannya sendiri. "Iya." Singkat sekali, pikir Hasan. Ia pikir menjadi pendiam itu menyenangkan karena tak terlihat banyak beban. Tapi menghadapi orang pendiam ternyata menyebalkan. Dan sialnya, ia juga pendiam. Apakah orang-orang yang berhadapan dengannya juga akan kesal? "Mau mulai dari mana, Ann?" tanyanya. Ia mempersilahkan Anne untuk memilih dari mana ia ingin mengenal isi rumah sakit ini. Tapi.... "Terserah." Itu sungguh jawaban yang membuat Hasan hanya bisa menghela nafas. Anne bukannya tak sopan. Ia hanya merasa jika tak perlu terlalu banyak basa basi. Hasan seharusnya mengenalkan rumah sakit ini secara langsung dan bukannya banyak basa-basi seperti ini. @@@ "Itu cewek yang lo taksir dua tahun? Eh empat tahun?" tanyanya dengan mata terbelalak usai menjumlahkan tahun di mana Hasan terakhir curhat soal asmara. Lelaki itu terkekeh. "Bukan." "Terus?" Hasan menghela nafas. "Kalau yang itu, mungkin sudah menikah," tuturnya. Ia tak tahu apa kabar cinta pertamanya. Tapi mengenang kejadian terakhir, harusnya sudah menikahkan? Ia sama sekali tak tahu apa kabarnya karena ia memang tak mencari kabarnya lagi. Untuk apa juga? Perasaannya juga layu sebelum berkembang. "Gue ketemu dia terakhir waktu diundang direktur kita bukber." "Itu kan udah lama banget, San." "Belum lama," tuturnya lantas menoleh ke arah ruangannya di mana jendelanya terbuka dan mereka bisa melihat Anne yang begitu serius menulis dari sini. Tadi Hasan menyuruhnya membuat resume kunjungan mereka hari ini. "Belum lama jatuh cinta?" Hasan terkekeh. Terserah Eza ingin menilainya seperti apa. Ia hanya bisa menghela nafas sembari duduk sebentar di sini bersama Eza yang akhirnya merebahkan pantatnya. "Cantik sih," tuturnya. Cantik sekali, menurut Hasan sih begitu. Cinta pertamanya juga cantik. Tapi berbeda aura dengan gadis yang duduk jauh di sana. Terlihat pendiam, dingin, serius dan sangat misterius. Sungguh sulit didekati. "Lo hobi cewek pendiam ya?" Eza hanya menebak-nebak. Menurutnya, seharusnya Hasan mencari perempuan yang agak bawel. Kalau sama-sama pendiam seperti ini, siapa yang akan memulai? Hasan? Hahaha. Eza ingin tertawa. Eza tahu betapa payahnya Hasan jika berhadapan dengan perempuan. Hasan menggaruk tengkuknya. Ia juga tak tahu sih. Hanya saja, terlihat seperti itu. Cinta pertamanya juga begitu. Agak susah didekati. Tapi menurutnya, Fara masih lebih ramah dibandingkan dengan gadis itu. Namun yang pasti, ia akui kalau ia menyukai perempuan cantik dan tertutup dengan pakaiannya. "Ada banyak perempuan di sini. Yang jilbabnya panjang juga cantik. Tapi memang yang ini paling cantik," Eza masih mengoceh tidak jelas. Hasan terkekeh kemudian ia segera berdiri. Dari kejauhan, ia melihat Fahri tampak celingak-celinguk. Ia ingin menghindar sebentar dari lelaki itu. Ketika berdiri, ia mendorong bahu Eza kemudian terkekeh-kekeh kecil meninggalkan Eza yang menggerutu. Cowok itu tidak jatuh hanya saja, dorongan Hasan tadi membuat kedua tangannya bertumpu ke tanah demi menahan tubuh agar tidak benar-benar terjatuh. "Eza!" panggil Fahri. Eza berdesis. Ia baru tahu apa sebabnya Hasan langsung pergi. Ia segera berdiri dan berlari menghampiri dokter seniornya itu. s**l memang, pikirnya. Ia dan Hasan memang sering begini. Sementara itu, Hasan mengambil beberapa buku kedokteran di gazebo. Buku gambar-gambar kerangka. Kemudian ia membawanya menuju ruangannya. Anne mendongak ketika melihatnya muncul dengan senyuman. Setahun ini, Hasan memang berubah banyak. Ia yang kaku mulai agak ramah menghadapi pasien. Dan begitu pula dengan menghadapi perempuan. Bedanya, ketika ia berhadapan dengan perempuan ini, jantungnya berdebar tak henti. "Ann bisa bawa pulang," tuturnya sembari menaruh dua buku yang lumayan tebal di atas meja Anne. Tadinya, Anne tak punya meja dan kursi sendiri. Tapi Eza berinisiatif untuk mencari bangku itu di gudang kemudian ditaruh di sini. "Itu tutorial menggambar rangka manusia. Jadi, Ann bisa mencoba menerapkannya di rumah." Anne hanya mengangguk-angguk. Sejujurnya ia agak bosan dengan magang hari ini. Tadi, ia berkeliling ke seisi rumah sakit bersama Hasan. Ia hanya bertanya-tanya sedikit padahal biasanya, ia anak yang aktif. Namun entah kenapa, ia malas saja. "Eung....Ann...," panggilnya. Gadis ini bahkan tak mengeluarkan satu kata pun. Ia tak butuh terima kasih sebetulnya. Ia hanya perlu senyuman Anne. Tapi gadis itu.... "Makasih, dok," tuturnya dengan wajah yang super datar. Hasan jadi bertanya-tanya, apakah ekspresinya memang hanya itu? @@@ "Ada yang lagi jatuh cinta," tuturnya tiba-tiba ketika duduk di kursi kantin. Cewek-cewek yang sedang duduk, berhah ria hingga salah satu di antaranya menyeletuk..... "Bukannya elo sama Dina?" ledeknya yang membuat cewek-cewek lain tertawa. Eza terkekeh. Sementara cewek yang disebutkan namanya hanya duduk cool di sampingnya. Tidak berniat memperpanjang ledekan. "Hasan mana, Za? Tumben kagak berdua sama elo," komplain perempuan lain yang baru saja menarik kursi untuk duduk di dekat mereka. "Kagak lah. Gue punya cewek kali. Masa bareng Hasan terus?" candanya yang disambut tawa lima cewek. Tapi satu di antara cewek itu hanya diam sembari berdeham kemudian melanjutkan aksi makannya. Perutnya lapar karena tak sempat sarapan tadi pagi. Meladeni gadis-gadis ini hanya membuat lelah saja karena ia kalah jumlah mulut. Satu rumah sakit memang bersekongkol untuk meledeknya dengan Eza ketika lelaki itu ada di sekitarnya. Kadang juga tidak berada di sekitarnya tapi, tetap menarik perhatian banyak orang. Nasib cinta lokasi ya begini. Eh cinta? "Ya kan Hasan bini lo, Za. Dina cewek lu! Hahahaha!" Seisi kantin riuh lagi. Beberapa dokter yang mendengar hanya tertawa saja. Kalau sudah datang anak-anak administrasi rumah sakit, memang selalu riuh di kantin. Semakin riuh karena ada jalinan asmara di antara dokter dan staf keuangan. Memang bukan rahasia umum jika di dalam sebuah tempat kerja, akan asa yang cinta lokasi. Dalam kasus ini, Eza menjadi tersangka utamanya. Tapi cowok itu terlihat santai dan menikmati. Lebih tepatnya, ia memang sedang bahagia. "Kesannya gue bad boy banget ya," celetuk Eza sambil nyengir. Yang lain masih tertawa-tawa. Sementara yang dibicarakan sedang berjalan bersama Anne melintasi koridor. Keduanya hendak kembali ke ruangan Hasan usai berkunjung ke bangsal-bangsal. Selama hampir seminggu ini, Anne terus masuk dan ia sudah menguasai banyak hal. Entah menyuntik atau memasang selang infus. Ia juga diperkenalkan ruang operasi dan alat-alat yang digunakan. Selain ruang operasi, ia juga diperkenalkan dengan alat USG dan lain-lain yang terkait kandungan. Mungkin itu hanya sedikit dari dunia kedokteran yang sangat luas. Tapi Anne berusaha menikmatinya meski baru belajar seperti itu saja, otaknya terasa sudah penuh. Hasan yang selalu menemaninya meski terkadang bergantian dengan dokter lain ketika Hasan harus ikut operasi. "Gimana tadi? Dapat tambahan ilmu baru lagi?" tanyanya. Tapi lagi-lagi hanya dibalas dengan deheman iya dari gadis yang mengintil langkahnya dari belakang. Entah kenapa, gadis itu selalu berjalan di belakangnya selama semingguan ini. Hasan kembali melanjutkan langkah. Ia tahu sih kalau ia tak perlu berharap banyak dari reaksi gadis ini. Sikapnya datar dan itu membuatnya penasaran. Apa yang ada di dalam hatinya? Selama dua hari terakhir ini, Anne lebih banyak belajar menggambar kerangka manusia dari Hasan yang ternyata jago banget. Yeah, selain wajah tampannya yang memukau, cerdas dan alim, akhirnya Anne menemukan lagi kelebihan dari lelaki yang nyaris tanpa kekurangan ini. Hasan? Tentu senang karena terus bersama Anne. Terkadang ia berdeham dan sesekali curi pandang. Gadis itu tak pernah sadar ketika ia menatapnya. Anne terlihat sangat fokus pada apa yang ia berikan. Entah tugas atau sesuatu yang harus Anne pelajari. Gadis itu juga tak pernah protes. "Ann!" panggilnya. Gadis itu menoleh. Ia sedang duduk di kursinya. "Mau makan siang? Mumpung saya kosong, biar sekalian saya traktir bagaimana?" tawarnya tapi seperti biasa, gadis itu selalu menolak dengan gelengan tegas. Rasa-rasanya Hasan tak pernah melihat perempuan ini keluar ke kantin ketika jam makan siang. Padahal direktur sering menanyakan keberadaannya. Dokter Aisha dan Fahri juga sering menanyakan keberadaannya. Hasan benar-benar melihat dirinya di dalam diri Anne. Hasan itu lelaki introvert. Ia terlalu malu untuk bergabung dengan banyak orang. Namun tiga tahun terakhir mulai mengubah diri. Ia tak bisa hidup sendiri kan? Ia harus bergabung dengan banyak orang meski sulit. Ia harus bisa beradaptasi dengan apa yang terjadi. "Serius? Makanan di kantin enak-enak loh, Ann. Lebih enak lagi kalau ke kantin khusus. Di sana anak magang juga diperbolehkan untuk makan. Gratis lagi," tuturnya. Tapi lagi-lagi dibalas dengan gelengan kepala. Setidaknya, Anne agak banyak bicara ketika ia ajak jalan-jalan ke bangsal tadi. Meski sekarang, berubah lagi. Gadis itu terlihat tak antusias setiap melihatnya. "Kalau begitu, saya ke kantin dulu ya, Ann. Ann gak apa-apa di sini sendirian?" "Gak apa-apa, dok," jawabnya cepat. Ia sengaja menjawab dengan cepat agar Hasan segera pergi. Ia lebih nyaman sendirian di sini. Hasan mengangguk-angguk lantas segera pergi dan menutup pintu. Barangkali Anne belum bisa beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit. Jadi lebih nyaman sendirian. Sepeninggalnya Hasan, gadis itu segera mengeluarkan bekal rotinya dan makan sendirian di ruangan itu. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN