Tak ada kabar. Intinya begitu. Bahkan hingga sebulan telah lewat dari kejadian itu. Perempuan yang ia titipi surat untuk Faradina itu pun tak kunjung membalas pesannya lagi selama hampir seminggu ini. Hasan menghela nafas. Ia hanya bisa menatap ponselnya dengan tatapan kosong. Husein pun terus bertanya di setiap pesan yang dikirim. Ikut menanti hasil dari usahanya.
"Kalau gak ada kabar, kau datangi aja lah," begitu tutur Husein satu minggu kemudian ketika Hasan bertanya apa yang harus ia lakukan. Saudara kembarnya itu masih di Solo. Sibuk dengan perusahaan. Husein memang tidak menetap. Kadang di Solo, kadang di Jakarta, kadang di Surabaya, kadang di Makassar. Selalu berpindah. Urusan hati? Tidak ada. Hasan mendengar dari Mamaknya, kalau Husein lebih memilih sendiri untuk sementara ini. Katanya ingin menikmati masa muda. Husein juga menimpali, lebih mudah baginya hidup sendiri dan tidak memikirkan perempuan saat ini dibandingkan dengan Hasan yang pusing dengan koas juga perempuan. Mana di rumah sakit, ia malah dikejar-kejar cewek yang selalu mengaguminya sejak dulu. Kalau dulu tidak terlalu gencar mengejarnya, kini? Bah! Pusing kepala Hasan!
"Si Ocha tuh," bisik Eza lantas terkikik-kikik mendengar helaan nafas milik Hasan. Sahabatnya itu tampak lelah menghadapi perempuan yang sudah tersenyum di dekat pintu.
"Rossa!" panggil Aisha. Perempuan itu adalah dokter senior di sini. Hasan hanya menyimak. Ia tak pernah tahu kalau dokter itu adalah adik dari pemilik rumah sakit ini. "Kenapa kamu di sini? Tadi kan saya suruh kamu ke bangsal?"
Perempuan itu berkacak pinggang dan dibalas helaan nafas jengkel oleh perempuan yang dipanggil Rossa itu. Dengan berarti hati, ia terpaksa pergi dari ruangan Hasan. Hasan menghela nafas lega. Sementara itu, Aisha juga sudah pergi. Perempuan itu hendak pulang.
Dengan cepat, Hasan berjalan menuju lift. Ia hendak pulang aah lebih tepatnya ke kampus.
Yah sorry, Bang. Bukannya gak mau bantu. Tapi posisi sekarang lagi di luar kota. Kalo gak mendadak begini, bisa deh temenin Abang ketemu Fara.
Itu pesan yang baru masuk dari Ridwan. Hasan membacanya ketika hendak memakai helm. Lagi-lagi ia hanya menghela nafas kemudian segera memakai helm. Tak lama, ia sudah mengendarai motornya ke luar dari area rumah sakit.
Hasan mengendarai motornya dengan gamang. Ia tak tahu apakah keputusan yang ia ambil ini adalah keputusan yang benar atau tidak. Tapi ia tak mau menunggu lebih lama. Terakhir, ia mendengar kalau Fara sudah selesai sidang. Itu kabar yang ia dengar beberapa hari yang lalu. Kabar itu juga yang membuatnya bertekad untuk menemui gadis itu. Urusan lain akan ia urus nanti. Jika gadis itu mau menerimanya, ia tentu akan langsung membawa orangtuanya untuk melamar. Ia tak main-main. Urusan nafkah? Setidaknya ia sudah punya sedikit. Toh sebentar lagi koasnya akan segera selesai. Ketika menjadi dokter umum, gajinya tentu akan naik dan ia merasa cukup untuk hidup berdua dengan Fara nanti.
Hasan memarkirkan motornya tepat di samping gedung fakultas. Ketika ia tiba di sini, jantungnya berdebar kencang. Rasanya seperti ingin pulang. Tapi ia tak mungkin menjadi pengecut bukan? Ia harus berani memperjuangkan perasaannya.
"Aku gak kebayang gimana kau menghadapi Fara nanti," begitu ledek Husein. Hasan hanya mendengus mendengarnya kala itu. Menurutnya, ia dan Husein itu beda tipis jika urusannya dengan perempuan. Meski ia harus mengakui kalau Husein sedikit lebih berani dibandingkan dengannya.
Ketika berjalan menyusuri koridor, tangannya gemetar. Jantungnya berdegup semakin kencang. Ia melirik ke sekitar guna mencari sosok Fara. Hampir setengah jam berkeliling, rasa-rasanya gadis itu tak terlihat. Padahal Fara ada di kampus. Gadis itu sedang merevisi skripsinya sebelum ditandatangani dosennya secara resmi. Hasan tidak mencarinya ke perpustakaan jadi memang taka akan pernah ketemu. Setelah hampir satu jam berkeliling, Hasan mengambil duduk sebentar. Saat mendengar suara azan ashar, ia berjalan menuju mushola dan solat di sana. Ketika ia hendak bersiap keluar dari mushola, disaat itu lah ia mendengar para pria bergosip ria.
"Ah! Seriusan lo?"
"Beneran! Temen-temennya Fara juga pada iyain!"
Mendengar nama Fara disebut, tentu saja membuat Hasan terusik. Pergerakan lelaki itu langsung terhenti. Alih-alih berdiri, ia malah terpaku di atas sajadah.
"Sama Mas Herpi?"
Yang lain mengangguk-anggukan kepala.
"Waw! Beruntung banget Mas Herpi!"
Yang lain terkekeh-kekeh kecil tapi kemudian salah satu di antara mereka mengeluarkan suara 'sssttt'. Barangkali takut terdengar oleh mahasiswa lain. Meski kabarnya memang sudah tersebar.
"Katanya sih mau lamaran!"
"Dalam waktu dekat?"
Lelaki itu mengendikan bahu. Ia tak tahu kalau persoalan itu. Ia hanya tahu kalau ada kabar Fara dilamar Mas Herpi.
"Yah sayang sekali," tutur yang lain dan disambut dengan gelak tawa. "Kalau beneran jadi, bisa patah hati satu fakultas."
Mereka tergelak. "Cewek idaman sefakultas udah dilamar bapak dosen kita ya sudah lah. Gak ada tandingannya lagi itu."
Yang lain terkekeh lagi. Sementara jantung Hasan nyaris berhenti saat mendengar kabar itu. Lelaki itu masih terpaku hingga ia tersadar kala salah satu mahasiswa yang mengenalnya, menepuk bahunya. Ia hanya mengangguk-angguk dan berbasa-basi sebentar. Kemudian pamit pergi. Saat menuruni tangga, ia malah melihat Fara dari kejauhan. Gadis itu berjalan sendirian sambil menenteng tas laptopnya. Hasan gugup luar biasa. Kakinya tak bergerak. Ia tak tahu harus melakukan apa hingga....
"Dek!" panggil seorang lelaki dari arah gedung fakultas. Fara yang berjalan tepat tak jauh dari depan mushola itu berhenti. Terdengar gelak ledekan juga seru-seruan dari mahasiswa-mahasiswa lain yang melintas melihat keduanya. Lelaki itu menggaruk tengkuknya malu. Fara berdeham, gadis itu agak menghindar dari tatapannya. Sementara Hasan terjebak jauh di depan mereka namun melihat semua kejadian itu. Hasan bisa menyimpulkan kalau apa yang ia dengar tadi memang benar. Bukan sekedar gosip belaka. Melihat lelaki yang sedang berbicara dengan Fara itu tampak berwibawa dan memang sepertinya dosen. Bukan seperti dirinya yang masih kere. Tiba-tiba mentalnya semakin ciut.
Hasan hanya bisa berdiri di sana. Ia tak tahu harus melakukan apa. Ia tak tahu harus pergi ke mana. Yang jelas, ia hanya bisa merasakan sesak yang begitu kuat menghantam dadanya. Sesak yang entah datangnya dari mana. Kemudian hatinya menyimpulkan alasan kenapa suratnya tak kunjung terbalas? Barangkali apa yang terjadi di depannya ini lah yang terjadi. Gadis itu sudah dilamar lelaki lain dan ia hanya bisa melihat dari jauh. Seperti dulu, hanya sebatas mengagumi dan khayalannya yang tak akan pernah menjadi nyata.
Di sisi lain, perempuan yang Hasan titipi surat untuk Fara itu baru saja menyingkir. Perempuan itu berbelok ke arah lain saat melihat Hasan berdiri di depan mushola dan terpaku di sana.
@@@
Husein menepuk-nepuk bahunya tanpa kata-kata apapun. Ia bahkan baru tiba di Jakarta. Saat Hasan bilang gagal, ia langsung memesan tiket ke Jakarta. Ia naik pesawat dari Solo ke Jakarta hanya untuk melihat Hasan. Ia takut Hasan terluka parah dan memang benar. Mana mungkin pula Husein mencegahnya? Namun Husein belum berani bertanya, bagaimana Hasan bisa gagal mengejar perempuan itu. Ia hanya ingin memberikan Hasan waktu untuk menenangkan diri. Jadi ketika Hasan masuk lagi ke dalam kamar usai membuka pintu untuknya, ia hanya membiarkan. Biar lah Hasan merenungkan aoa yang telah terjadi. Terjadi apa? Tentu saja jatuh cinta kemudian patah hati karena cinta sepihak.
Aaaah. Cintaaa dan cintaaa. Husein terkekeh-kekeh kecil. Dulu, ia juga sempat galau ketika ditolak Fara. Gadis itu tak mengatakan apapun saking syoknya saat ia mendatanginya dan menyatakan kalau memiliki niat untuk melamarnya. Saat itu, Husein masih berpikir kalau masih ada harapan. Tapi usai syok itu, Fara tiba-tiba pamit dengan hanya bilang....
"Maaf."
Hanya itu. Bukan kah itu penolakan yang terlalu kentara? Dari situ, Husein tahu kalau itu adalah penolakan. Namun ia menerimanya. Kalau Hasan?
Hasan bahkan tak berhadapan langsung dengan Fara dan nasib cintanya langsung mengenaskan seperti ini. Ditolak. Sebetulnya, ia agak arah sedikit karena menurutnya, Fara bisa saja membalas suratnya jika memang ingin menolak. Bukannya malah terkesan menggantungkannya hingga sebulan ini. Tapi Hasan tak pernah tahu kalau surat itu tak pernah sampai.
"Udah mendingan kau?" tanya Husein di pagi harinya. Lelaki itu sedang mengoleskan roti. Usai solat subuh di masjid apartemen, ia jogging sebentar kemudian mampir ke minimarket yang bukan 24 jam hanya untuk membeli roti. Sementara Hasan masih mendekam di dalam kamar. Ia tak tahu apa yang dilakukan Hasan tapi ia yakin kalau Hasan mungkin sedang tidur. Hasan memang tidur tapi hanya dua jam.
Hasan menutup pintu kamar kemudian menarik kursi makan. "Gimana rasanya patah hati, San?" ledeknya yang membuat Hasan terkekeh kecil. "Sakit kan? Itu lah yang aku rasakan dulu."
Hasan berdeham sambil mengukum bibirnya. Ia juga menertawakan Husein kala itu. Lebih tepatnya, ia memang sangat girang karena Husein ditolak. Tapi sepertinya, kasusnya lebih parah. Karena setidaknya, Husein berani menghampiri Faradina dan bertanya langsung. Kalau ia? Jauh dari itu bukan?
"Allah itu selalu mengabulkan doa-doa hamba-Nya, San," tuturnya sembari mengoleskan roti dengan selai coklat. "Tapi dikabulkan dengan tiga cara. Pertama, Dia iya kan. Itu pertanda kalau apa yang kita inginkan memang lah sudah yang terbaik untuk kita. Kedua, Dia tunda. Itu pertanda bukan waktu yang tepat untuk mengabulkan doa-doa hamba-Nya. Barangkali Dia memang sedang menyiapkan waktu terbaiknya. Ketiga, Dia tolak. Itu pertanda kalau Dia sudah menyiapkan sesuatu yang jauh lebih baik untuk hidup kita. Kita gak pernah tahu apa yang terjadi pada hidup kita tapi Allah sangat tahu apa yang terjadi dan terbaik untuk kita."
Husein membalik badan dan melihat ke arah Hasan. Hasan juga tahu persoalan itu namun ia diam saja. Ia mengerti apa yang dimaksudkan oleh Husein. Intinya kan, Fara bukan perempuan yang terbaik untuknya. Mungkin yang terbaik untuk lelaki lain. Begitu kan?
"Bangkit lah. Kau baru ditolak sekali."
"Bukannya kau juga?"
Husein terkekeh. "Tapi aku gak separah kau."
"Apa bedanya kalau intinya tetap ditolak?"
Husein tertawa terbahak-bahak. Sungguh skakmat sekali ucapan saudara kembarnya ini.
"Gak apa-apa lah patah hati. Yang penting kan sudah pernah memperjuangkan dengan cara yang baik. Barangkali memang bukan yang terbaik dan Allah sedang menyiapkan perempuan lain yang lebih baik."
Hasan tersenyum kecil mendengarnya. Husein memang benar.
"Dan kau berhenti lah datang dan pergi kayak gini. Mamak menduga aku masih kanak-kanak karena kau sering datang ke sini," ia menyampaikan keluh kesahnya dan Husein tergelak. Sejujurnya, Husein sudah melapor pada ibu mereka kalau Hasan patah hati. Barangkali nanti akan menelepon Hasan.
@@@
"Bagaimana rencana kau selanjutnya?" tanya Husein. Cowok itu sudah rapi. Ia hendak kembali ke Solo pagi-pagi ini dengan menaiki pesawat.
"Melanjutkan hidup lah, apalagi?"
Husein terkekeh. "Ya kan aku hanya bertanya."
Hasan terdengar sensitif sekali dengab pertanyaannya itu. Hasan menghela nafas. Ia tidak emosi apalagi ini masih pagi. Hanya saja, hatinya belum sembuh. Wajar saja, kejadian itu kan baru terjadi beberapa hari yang lalu dan ia dipaksa untuk berdiri menghadapi semuanya. Hidup memang selalu ada masalah.
"Aku pamit ya? Jaga-jaga kau di sini. Jangan tinggalkan solat dan sedekah. Itu kunci utama hidup."
Hasan tersenyum kecil. Ia menepuk-nepuk bahu Husein agar lelaki itu tenang dan tak memikirkannya. Biarkan lah ia termenung dalam urusan asmara tapi bukan berarti ia terbawa arus patah hati. Hanya saa, semua butuh waktu.
Begitu Husein pergi, ia juga bersiap-siap untuk kembali berangkat ke rumah sakit. Ia berjalan menuju lift, berdiri paling belakang di dalam sana. Kemudian berjalan meraih motornya di parkiran. Tak lama, ia sudah mengenakan helm dan juga mengendarai motornya. Hidup harus berjalan maju seperti motor ini, pikirnya. Ia hanya boleh melihat ke belakang sesekali melakui kaca spionnya. Jangan terlalu sering dan terlalu lama melihat kaca spion karena apa? Karena nanti bisa menabrak. Dari pada masa depan menjadi kacau, lebih baik mengikhlaskan apa yang sudah terjadi. Dan hal ini menjadi pembelajaran baginya. Barangkali, usahanya mengejar perempuan masih kurang. Tapi baginya, ini adalah usaha terbesar yang bisa ia lakukan.
"Lebaran nanti, lo mudik?" tanya Eza. Hasan bahkan baru saja melintasi koridor tapi lelaki itu langsung bertanya hal semacam itu. Hasan mengerutkan kening mendengar pertanyaannya. Ramadhan memang tak lama lagi. Ia belum menentukan apakah bisa pulang atau tidak.
"Mungkin."
Eza menggelengkan kepala. Tahun kemarin, setahunya Hasan tak mudik. Ah ya, Eza ini juga teman satu jurusannya di kampus. Tapi baru benar-benar dekat semenjak keduanya koas bersama di sini. Biasanya, Eza bergabung dengan gengnya yang lain.
"Mudik ajalah. Ngapain lo di sini?"
Hasan menggaruk-garuk tengkuknya. Mungkin nanti ia akan bicarakan hal ini pada Mamaknya. Kalau sekarang, ia belum terpikir ke arah sana, maksudnya untuk pulang atau kah lembur di rumah sakit seperti tahun sebelumnya. Tahun kemarin, ia terpincut dengan gaji yang ditawarkan pihak rumah sakit, makanya ia tak pulang. Kalau tahun ini? Ia yakin jika rumah sakit ini akan menggajinya dengan lebih besar. Ia kan perlu menabung untuk masa depan. Mana mungkin ia bertumpu pada orangtuanya? Husein saja sudah menabung banyak. Kehidupan saudara kembarnya itu sudah cukup mapan. Meski ia tak bisa menebak seberapa besar gajinya.
"Kaaaaak Hasaaaaaaaan!" teriak gadis diujung lorong.
Eza menyemburkan tawa dan langsung berbelok ke arah lain. Sementara Hasan baru saja mencicitkan langkah dan langsung membalik badan.
Alamaaaak, pikirnya. Saat ada perempuan yang malah jatuh cinta kepadanya kenapa yang modelnya begini-begini amat? Yaaa, cantik sih. Tapi kalo agak-agak liar dan agresif begini, Hasan malah takut alih-alih jatuh cinta.
@@@