7. First Meet

1010 Kata
"Bisa bicara sebentar?" Laki-laki itu memberi isyarat kepada pelayan yang mengantar Restia untuk pergi. Sepertinya Restia familiar dengan adegan ini. Entah kenapa terlintas begitu saja di benak. "Salam untuk Matahari Eraslan. Yang Mulia Livius Zen Eraslan," salam Restia. Mengangkat sedikit gaunnya dan menekuk lututnya singkat kemudian berdiri tegak kembali. Sebuah adat yang diberlakukan untuk menyapa bangsawan kelas atas. Satu alis Livius tampak terangkat. Restia meyakini kalau Livius tengah dilanda kebingungan karena perilaku Restia yang tiba-tiba berubah. Yah, pada dasarnya Restia memang tidak ingin mengejar-ngejar Livi. Biarkan Livi untuk Aurora seperti alur dalam n****+. Restia memang tergila-gila dengan tampang Livius. Itu adalah mahakarya luar biasa yang diciptakan Tuhan. Akan tetapi hatinya tidak merujuk pada rasa cinta. Jika diibaratkan posisi Livius itu seperti Idol yang Restia cintai. Sebatas itu. "Apa yang kamu rencanakan kali ini?" tanya Livi. "Emh.... minta tanda tangan mu dan Aurora." Tadinya sih ingin jawab jujur seperti itu. Tapi, dia akan menganggap Restia gila. Itu sebabnya Restia harus berdalih. "Maaf Yang Mulia. Kali ini saya tidak merencanakan apapun. Jujur... selama ini saya lelah dan ingin berisitirahat. Jadi... saya ingin berbaikan dengan Nona Aurora." "Hal itu tidak ada dalam kamus mu!" "Ada.... baru saja saya tulis tadi. Hehe. Ternyata Nona Aurora sangat asik diajak ngobrol. Dibanding para canis lup... ah, maksud ku, dibanding dengan para lady lainnya. Saya lebih tertarik mengobrol dengan Nona Aurora." Senyum Restia padam ketika tubuh Livius tanpa sadar sudah berjarak beberapa centi darinya. Ia terus mendekat. Tatapan tajam tak luput tersirat dari kedua maniknya. Sampai daun telinga Restia merasakan hembusan nafas dan Livius berujar. "Aku tidak akan memaafkan mu jika terjadi sesuatu dengan Aurora!" DEG! Sakit! Sebenarnya hati siapa yang sakit? Mungkinkah ini perasaan milik Restia Adler? Tenang! Restia harus tenang! "Aku janji tidak akan mencelakai Aurora. Sebagai gantinya...." Restia melirik ke samping tepat ke arah pedang yang tersemat dibalik jubah Livius. "Maukah Yang Mulia membunuhku?" Manik Livius menatap lekat. Mencari kepalsuan di sorot mata Restia. Nihil! Yang ia temui hanya keseriusan. Seketika Livius menjauh. Diam-diam ia meraba pedangnya. Keningnya mengernyit ketika ketidakpahaman memenuhi isi kepalanya. Kenapa Restia ingin mati? Mungkin itu yang saat ini terpikirkan. "Jangan bercanda. Kembalilah ke taman. Aurora mungkin sedang menunggu mu," ucap Livius datar. "Aku tidak bercanda Yang Mulia." "Apa Kamu benar-benar putus asa sampai ingin mengakhiri hidup?" Livius mendengus. "Hidup itu bukan tentang cinta saja." "Oh ya? Kalau begitu, bisakah Yang Mulia meratakan sekali lagi kampung halaman Nona Aurora?" Livius mengernyit. Gagal paham dengan perkataan Restia. "Kalau hidup bukan tentang cinta saja. Maka Negeri Wisteria sudah lama hancur. Lalu kenapa Yang Mulia memilih untuk memaafkan Negeri Wisteria yang diam-diam mengumpulkan pasukan untuk menyerang kekaisaran?" "Ku tanya sekali lagi. Apa Yang Mulia yakin itu bukan cinta?" goda Restia yang tentu saja terdengar seperti sindiran untuk Livius. Padahal Restia murni ingin mendapat jawaban pasti tentang perasaannya terhadap Aurora. Jika memungkinkan Restia bisa jadi Mak Comblang mereka. Karena di dalam n****+, Aurora itu sangat tidak peka dengan ketulusan Livius. Namun, alih-alih dapat jawaban. Restia justru dibuat terkejut dengan tindakan Livius yang tiba-tiba duduk sambil mencium punggung tangan Restia. Ha? Apa maksudnya ini? "Sebelum menjawab. Akan ku tanya terlebih dahulu. Apa benar yang kamu rasakan saat ini adalah cinta?" DEG! Apaan sih? Terlebih ketampanannya itu kenapa tidak bisa dikontrol! Restia tiba-tiba saja bisa melihat bayangan bunga-bunga bermekaran di sekelilingnya. Sadar Restia! Sadar! "Tentu saja itu...." seketika Restia terdiam. Mengulas kembali alur n****+ Matahari Eraslan. Entah kenapa dari kemunculan peran antagonis Restia Adler De Freya untuk pertama kali. Restia sudah berprasangka bahwa Restia Adler hanyalah terobsesi dengan Livius. Livius adalah Kaisar negeri Eraslan. Sedangkan Restia anak dari Marquess yang tidak pernah merasakan hangatnya pelukan seorang Ibu. Chalid Alder pun jarang berada di rumah. Tak jarang Restia mencelakai diri agar Ayahnya bisa pulang demi mendapatkan perhatian. Tumbuh di lingkungan bangsawan tanpa perhatian adalah seburuk-buruknya tempat hidup. Restia Adler telah tumbuh di tempat berduri itu. Menjadikannya haus akan perhatian hingga ia memiliki ambisi untuk menjadi permaisuri sang Kaisar. Karena dengan begitu orang-orang akan melihat kearahnya dan ia tidak akan sendiri lagi. Mata hitam itu menatap lekat. Seolah meminta jawaban pasti di tengah keraguan yang melanda hati Restia. "M-maaf mengganggu...." saut seseorang lirih. Spontan Restia menarik tangan yang tengah digenggam Livius dan menoleh ke sumber suara. Mata Restia membulat ketika menyadari sosok yang menginterupsinya. "A-Aurora," gumamnya lirih. "Hohoho, A-Aurora... ada perlu apa?" tanya kikuk Restia sambil berjalan cepat menghampiri Aurora. "Ah... itu... sebenarnya acara Tea Party akan segera berakhir. Para Lady meminta ku untuk mencari Lady Restia. Karena akan di undi kelanjutan acara Tea Party selanjutnya akan dilaksanakan di kediaman siapa. Jadi... emh... itu... maaf jika aku mengganggu momen kalian," jelas Aurora malu-malu. "Tidak! Kamu sama sekali tidak mengganggu. Aku justru terselamatkan," ucap Restia bergumam di akhir kalimat. "Apa acaranya berjalan lancar?" tanya Livius lembut. "Humm... acaranya lancar. Apalagi ada Lady Restia. Aku jadi tidak gugup lagi," ucap Aurora lembut. Terpancar binar bahagia di kedua matanya yang langsung disadari Livius. "Begitu.... syukurlah," Livius tersenyum merekah. Senyum yang bahkan sepeser pun tidak pernah Restia Adler dapatkan. "Kembalilah, aku akan menunggu di ruang tunggu," titah Livius. Tentu saja ucapan lembut itu mengarah pada Aurora. Bahkan Livius tidak melihat sedetik pun ke arah Restia. "A-anu... bukankah Yang Mulia sibuk? Aku tidak apa jika harus ditinggal. Lagi pula ku dengar setelah Tea Party masih ada kegiatan bebas lainnya," ucap Aurora kikuk. Entah itu karakternya atau ia tertekan. Bicaranya tergagap sejak Restia bertemu tatap. "Aku akan menunggu di sini. Tidak usah memikirkan kesibukan ku. Aku sudah berjanji akan meluangkan waktu untuk mu." Interaksi mereka tampak dekat. Mereka sendiri lupa kalau ada sosok Restia di tengah-tengah. Menjadikannya obat nyamuk. Untung saja mereka adalah karakter kesukaan Restia. Jika bukan, mana mungkin Restia betah melihat ke-uwu-an ini. Saat ini justru sudut bibir Restia tertarik karena kesenangan melihat adegan ini. "Lady?" tegur Aurora. Spontan Restia menoleh. Ah, baru saja Restia sedang membayangkan adegan kissing di akhir cerita antara Livius dan Aurora. "I-iya?" "Apa ada yang ingin Lady sampaikan dengan Yang Mulia? Saya tidak akan mengganggu dan pergi duluan," ungkap Aurora. "Tidak ada. Yuk kembali," ucap Restia sumringah sambil menggandeng lengan Aurora. Meninggalkan Livius dengan segudang pertanyaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN