6. Tawanan Perang Cantik

1654 Kata
Balutan kain putih yang disematkan diantara rangkaian bunga mawar putih dan merah. Menjuntai dari sisi satu dengan lainnya sehingga membentuk rangkaian yang sangat indah untuk menyambut para tamu yang datang. Keluarga Asral memang di kenal sebagai pencinta mawar. Mereka bahkan memiliki divisi riset khusus untuk memproduksi mawar dengan warna yang berbeda. Tema kali ini mawar merah dan putih. Sebenarnya ini terlalu berlebihan untuk sekedar Tea Party. Rasanya Restia seperti datang ke acara pernikahan bangsawan dibandingkan acara kecil. "Rowena, tunggu aku di ruang tunggu. Mulai dari sini hanya para tamu yang boleh masuk," titah Restia ketika melihat seorang pelayan menunggu di depan pintu kaca sebuah taman. "Baik Nona." Pelayan berjas hitam dengan pita kupu-kupu sebagai dasinya meminta Restia untuk menunjukan surat undangan. Ia pun mengeluarkannya sebagai bukti bahwa ia salah satu tamu yang diundang. "Silahkan Nona," ucap pelayan itu santun. Di depan sana Restia melihat banyak sekali mawar bermekaran sempurna. Pemandangan ini tentu saja membuat takjub mata Restia hingga bibirnya hampir saja menganga. Bagaimana tidak? Di dunia modern mana ada pemandangan bak fantasi seperti ini. Seolah-olah peri Tingkerbell benar-benar ada untuk menjaga bunga tetap bermekaran. "Mari saya antar," ucap pelayan tadi. Oh rupanya Restia akan diantar sampai lokasi tujuan. Sesampainya di tempat, di sana ada meja cukup panjang dan kursi yang di tempatkan sesuai tamu undangan. Beberapa ada yang kosong karena tamu belum datang. Di tengahnya ada berbagai dessert dan kue-kue kering yang disusun cantik di atas standing cake. Sejenak Restia melirik penampilannya sendiri lalu membandingkan dengan penampilan para sosialita di sana. Ah, rupanya ini yang dikhawatirkan Rowena saat Restia ngotot mau pakai baju simple saja. Siapa yang menyangka kalau selera pakaian di era ini benar-benar ampas. Dibanding elegan mereka terlihat seperti kumpulan badut yang sedang reuni. Tapi tetap saja, namanya wanita. Pasti yang berbeda akan jadi pusat perhatian. Seperti Restia yang menjadi sorotan saat ia datang. Baju silver berbalut dongker dengan renda minim. Rambut di gerai dengan bergelombang apik. Tak ada hiasan apapun kecuali jepit bermatakan batu ruby sebagai pelengkap hiasan kepala. "Ehem... terimakasih atas undangannya Lady Tarra. Dan terimakasih karena sudah mengkhawatirkan kesehatan ku melalui surat sebelumnya," ucap Restia elegan. Yah, bagaimana pun ia tidak bisa mempermalukan dirinya sendiri di acara seperti ini. Restia masih butuh citra baik sampai dirinya kembali. "Ah... emh... iya sama-sama Lady Restia. Saya sangat senang Lady sehat kembali. Silahkan duduk." Restia pun mengambil tempat paling pinggir. Entah kenapa hanya tempat itu yang tersisa. Lalu di depannya pun hanya kursi kosong. Terdengar perbincangan unfaedah dari mereka. Di dunia nyata pun Restia termasuk orang yang lebih banyak mendengar dari pada bercerita. Di dunia ini pun ia menerapkan hal yang sama. Mungkin hal itu juga yang membuat mereka memberi tatapan aneh. Karena sebelumnya kan Restia Adler selalu membawa gosip terhangat sebagai bahan perbincangan. Yah, Restia tidak peduli. Toh, dia tidak berencana hidup panjang sampai beranak pinak. Yang ia pedulikan hanyalah satu. Di mana Aurora? Di antara salah satu dari mereka Restia yakin tidak ada Aurora. Walau belum bertemu apalagi tau wajahnya. Restia yakin Aurora punya aura female lead yang kental dari pada kroco-kroco ini. Sedang asik memakan camilan kering di depannya. Seketika indra pendengaran Restia terasa disumpal hingga tak mendengar satu kata pun dari bibir mereka. Ada apa? Kenapa tiba-tiba diam? Penasaran! Restia pun menoleh ke samping. Mendapati para wanita itu terpana pada sesuatu hingga mematung di tempat. Bibir Restia mengembang sempurna. Batinnya meyakinkan bahwa female lead sudah tiba, Aurora Wisteria. Si tokoh protagonis yang sangat dikagumi Restia. Namun, gerakan spontan para lady membuat Restia tercengang. Mereka berdiri lalu membungkuk anggun. Seperti menghormati kedatangan orang penting. "Kau di sini rupanya," suara bariton berat itu mampu membuat Restia membeku. Suara dalam dan dingin yang entah kenapa terus-terusan bergaung dalam ingatannya. Sorot mata yang tak kalah dingin dengan suaranya. Surai hitam yang berayun diterpa angin. Tubuh proporsional yang telah terlatih dalam latihan khusus kekaisaran. Dia, Livius Zen Eraslan. Tunangan sekaligus dewa kematian Restia Adler De Freya. "Sabit kematian ku," gumam Restia lirih dengan senyum bahagia. Ya! Dia lah pintu kepulangan Restia. Restia melirik pedang yang tersemat di balik jubahnya. Sudut bibirnya semakin tertarik ke atas. Percayalah! Siapa pun yang melihat. Wajah Restia seperti masokis gila. Fokusnya teralihkan berkat bisik-bisik dari para lady. Walau lirih, Restia dapat mendengar itu bukanlah buah bibir yang bagus. Yah, bagaimana tidak? Toh, saat ini tunangan Restia justru datang menggandeng perempuan lain dari pada tunangannya sendiri. Persetan dengan itu! "Salam hormat untuk Matahari Eraslan. Saya di sini untuk memenuhi undangan Lady Tarra dalam jamuan teh rutin yang mulia," ucap Restia tertunduk, elegan dan berwibawa. Membuat terbelalak mata seisi ruangan. Pasalnya, siapa yang tidak tahu betapa arogannya putri keluarga Adler satu ini? Kecemburuannya pada Aurora bahkan sudah tersebar seantero negeri. Di depan sana, sang Kaisar hanya berdehem dengan tatapan dingin. Mungkin dalam pikirannya sedang menebak. Trik apa lagi yang akan dilakukan Restia Adler untuk menarik perhatiannya. "Pergilah, aku akan menunggu di ruang tunggu," ucap Livius kepada Aurora. Mengabaikan tunangannya sendiri di depan para Lady bangsawan. Seisi ruangan tau, hal ini akan menjadi topik hangat di kalangan bangsawan esok pagi. Tentang bagaimana sang Kaisar mengabaikan tunangannya sendiri dan memilih tawanan perang cantik. Punggung Livius telah menjauh. Tea Party segera dimulai. Kedatangan Aurora adalah tamu terakhir yang ditunggu. Seperti yang Restia duga, Aurora duduk di depannya. Ia tampak canggung dan lebih banyak menunduk. Di kalangan bangsawan. Aurora hanya dipandang sebelah mata karena dia berasal dari negeri yang telah dikalahkan. Menjadi simbol perdamaian dengan diserahkannya Aurora ke negeri ini. Dari pada simbol perdamaian mungkin lebih tepatnya bayaran atas ampunan yang diberikan Livius setelah memutuskan untuk tidak menghancurkan negeri Wisteria. "Hei?" sapa Restia. "Lady memanggil ku?" "Humm... aku suka pakaian mu. Itu sangat menyatu dengan kulit mu yang bersih," puji Restia. "T-terimakasih.... L-Lady juga terlihat anggun dengan baju itu." "Hehe... menurut ku. Kamu lebih cantik dari siapa pun di ruangan ini," sanggah Restia jujur. "Lihat itu! Sepertinya dia sudah memulai aksinya lagi." "Kadang-kadang aku kasihan dengan Nona Aurora. Dia kan tidak bersalah. Tapi selalu disudutkan Lady Restia." "Iya, sekali-kali aku ingin membela Nona Aurora." "...." "...." Lihatlah para anjing yang terlatih menjilat air liurnya sendiri. Di depan Restia ia akan bersikap baik. Tapi saat keadaan memojokkan Restia, mereka akan balik menyerang. Seperti saat ini. Bisik-bisik dari bibir mereka mulai terdengar lagi. Merasa jengah, Restia pun berdiri. Tak lupa menggebrak meja sekuat-kuatnya sampai teh bergetar sejenak. "Lady Tarra?" "Ha? I-iya?" saut kikuk wanita itu. "Bisakah aku menggunakan meja di sana?" "Oh... tentu. Tapi, untuk apa?" "Aku dan Nona Aurora sepakat akan memisahkan diri dari kawanan Canis Lupus Familiaris. Jadi... kami akan menggunakan meja di sana. Bisa kan?" desak Restia. "Eh... emh... itu...." "Biarkan saja," bisik salah satu Lady. "Si-silahkan," finalnya kemudian. Mereka pun berpindah. Setelah itu ada pelayan yang menyajikan makanan ringan dan teh ke meja mereka. Aurora dan Restia tampak mengobrol santai. Dari semua yang sudah Restia lewati. Sejauh ini yang paling membuatnya bahagia adalah bertemu dengan Aurora. Ternyata benar apa yang dideskripsikan di n****+. Wajah Aurora benar-benar cantik. Seperti dewi kecantikan era romawi. "A-nu... apa tidak apa-apa jika seperti ini?" tanya Aurora sungkan. "Tidak apa-apa. Santai saja. Lagi pula kamu tidak nyaman kan ada di sana?" "I-iya sih tapi.... bukannya Lady Restia akan kerepotan setelahnya?" Restia terdiam. Mencerna kata-kata barusan. Ah, mungkin pikir Aurora, Restia akan kerpotan tentang rumor setelah ini? "Aku baik-baik saja. Ah... emh... itu... sebenarnya, aku ingin minta maaf atas tindakan kekanakan ku selama ini. Maaf, aku sudah banyak merepotkan mu," tunduk Restia yang langsung dicegah Aurora. "T-tidak usah begitu... ah, maksud ku, tidak perlu minta maaf. Aku yang justru merasa bersalah. Jika aku diposisi Lady Restia, pasti aku pun akan bersikap sama. Karena tidak ada wanita yang rela laki-lakinya direbut wanita lain." Tatapan Aurora tampak sendu. Ia terlihat sangat tersiksa dengan rumor yang beredar tentang kedekatannya dengan Livius. Mungkin di tahap ini mereka belum menyadari cinta satu sama lain. Terlebih di dalam n****+ Livius yang menyukai Aurora duluan. "Tenang saja, aku tidak akan memikirkan itu lagi. Kalau pun jodoh aku pasti akan berakhir di kursi permaisuri kalaupun tidak, aku tidak keberatan kembali ke kediaman keluarga ku. Lagi pula, bukankah kursi permaisuri sangat merepotkan? Ya, memang itu terlihat keren. Tapi, ada banyak aturan yang mengikat. Hah, lebih baik aku rebahan di kasur empuk ku," dumal Restia tanpa sadar mengeluarkan unek-uneknya. Yah, walaupun ini bertentangan dengan keinginan Restia Adler tapi ya sudahlah. Toh, Restia memang pendukung Livius dan Aurora garis keras. Lama mereka mengobrol. Bukan tekanan seperti para Lady perkirakan. Justru pemandangan di pojok sana tampak damai dan penuh tawa. Membuat para Lady bingung sendiri. "Apa sebentar lagi akan ada bencana?" "Hush! Kenapa Lady bicara seperti itu?" "Mereka tampak akrab. Aku pikir dunia akan berakhir." "Hah! Mungkin itu hanya siasat Lady Restia saja. Ujung-ujungnya Lady Restia akan mempermalukan Nona Aurora lagi seperti biasa." Bunyi dentingan gelas teh dan alas piring terdengar. Restia dan Aurora benar-benar menikmati Tea party hanya berdua saja. "Aku tidak menyangka Lady Restia semenyenangkan ini." "Memang kamu pikir aku tipe gadis kaku seperti para Canis lupus di sana," lirik Restia pada para Lady. Ia melempar senyum singkat saat mata mereka bertemu tatap. "Emh... aku bertanya-tanya. Sebenarnya Canis Lupus itu apa? Aku sering mengunjungi perpustakaan tapi aku tidak pernah menemui kalimat itu. Sepertinya aku memang kurang wawasan dibanding Lady Restia. Hehe." Ah, sebenarnya bukan kurang pengetahuan sih. Pasalnya Canis lupus familiaris itu kan nama ilmiahnya ras anjing. Di dunia ini mungkin belum ditemukan nama-nama ilmiah seperti ini. "Haha. Anggap saja itu julukan untuk orang yang banyak bicara. Kamu bisa menerapkannya jika ada yang membicarakan mu." "Wah... sangat kreatif. Aku suka namanya. Canis Lupus Familiaris. Lady sangat pintar memberi nama. Hehe." Perbincangan mereka diakhiri saat sesuatu dalan perut Restia ingin keluar. Jangan berpikir yang aneh dulu. Restia hanya kebelet kencing karena tidak biasa meminum teh. "Emh... Nona Aurora. Aku mohon izin sebentar," pinta Restia. "Silahkan Lady." Restia beranjak. Ia menghampiri pelayan untuk di antarkan ke kamar mandi. Setelah selesai. Pelayan itu mengantarnya kembali. Hanya saja, perjalanan kembali sepertinya tidak semudah itu. "Bisa bicara sebentar?" saut suara bariton. Siapa dia?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN