8. Terik Eraslan

1051 Kata
Matahari telah memuncak. Sinarnya Terpantul oleh kaca yang menyorot langsung ke kamar Restia. Cuaca terik membuat kerongkongan Restia menjerit. Bayangan minuman dingin seolah menjadi angan-angan mustahil yang tidak bisa didapat di negeri ini. Jangankan kulkas. Balok es saja dijual dengan harga selangit di pasaran. Dan balok es itu pun tidak bisa dikonsumsi langsung karena tujuannya untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan nelayan. "Hah! Pingin makan es krim," gumam Restia sambil mengibas-kibaskan tangan. Oh jangan lupakan dress yang sudah ia jingkat sampai paha. "Apa nggak ada orang yang bisa ngelaurin sihir es kayak Elsa? Biasanya di n****+ fantasi kan ada sihir," keluhnya mulai merancau. Ia benar-benar belum siap menghadapi musim panas yang sepanas negeri jepang. "Pantes aja disebut Matahari Eraslan. Musim panasnya kayak simulasi neraka!" liriknya pada halaman rumah dari lantai dua kamarnya. "Ah... pingin es cendol Mang Jajak!" teriak Restia frustasi. "Kapan aku bisa pulang ya?" gumamnya frustasi. Ia mengambil kertas yang berisi coretan tinta. Itu adalah coretan berisi rencana bunuh diri Restia. Rasanya mustahil orang sehat tanpa masalah tiba-tiba ingin mati. Bukan ingin mati sih. Lebih tepatnya harus mati. Sebab Restia tidak akan bisa pulang jika belum mati. Menunggu sesuai alur n****+? Ah, entahlah, Restia tidak sabar menunggu selama itu. Apalagi dilihat dari kondisinya Livius dan Aurora belum mengerti perasaan masing-masing. "Mana nggak ada handphone. Bosen banget!" keluh Restia lagi entah sudah ke berapa kalinya. Ia menatap langit-langit dengan candeliar megah di tengahnya. Suara ketukan pintu terdengar. Restia mengarahkan sorot mata ke pintu. "Permisi Nona, saya membawa surat dari Nona Aurora," ucap Rowena di balik pintu. Seketika Restia langsung bangkit. Senyumnya mengembang begitupun semangatnya. Di dunia ini tidak ada hal menyenangkan selain berkirim surat dengan female lead. Kya! Rasanya tidak sabar! "Masuklah," titah Restia. Rowena muncul setelahnya. Membawa nampan berisi pisau kecil dan beberapa surat. Pisau kecil itu yang nantinya akan digunakan untuk membuka segel surat. Karena di jaman ini menulis nama di depan amplop berisi surat adalah penghinaan dan tidak mencerminkan keindahan. Itu sebabnya setiap orang dewasa memiliki cap segel yang jika ditafsirkan ke dunia nyata sama seperti tanda pengenal. Biasanya di cap segel ada lambang keluarga. Hal itu digunakan untuk kepentingan yang mewakili keluarga. Jika hanya berkirim surat pribadi biasanya cap segel memiliki inisial nama yang dirangkai sedemikian rupa supaya bisa membedakan antara segel satu dengan lainnya. Lambang milik Restia adalah inisial R berpadu dengan bunga lavender. Ciri khas sekaligus bunga kesukaan Restia. Sedangkan lambang milik Aurora berinisial A dengan paduan daun clover. Fyi, daun clover adalah lambang simbolis kerajaan Wisteria. Tempat Aurora berasal. "Silahkan Nona," ucap Rowena menyerahkan pisau kecil. Dengan telaten Restia membuka segel surat Aurora. Rowena pun tampak mengawasi di belakang punggung. "Ugh!" pekik Restia ketika merasakan Ibu jarinya tersayat. "Astaga Nona!" Rowena terlihat panik saat melihat darah di tangan Restia. Ia segera mengambil sapu tangan dan melilitkan ke jari yang terluka. "Aku akan memanggil tabib," ucap Rowena panik sebelum beranjak keluar. "Tunggu!" cegah Restia. Hah! Sifat posesifnya itu benar-benar sesuatu! "Sudahlah, Aku tidak apa-apa. Goresan kecil ini tidak akan membuat ku mati." "Tapi..." "Ambilkan obat luka dan beberapa kain perban," titah Restia yang langsung dituruti Rowena. Restia menyorot ke amplop coklat. Noda darah tercetak di sana. Buru-buru Restia mengelapnya dengan sapu tangan. "Nggak meresap kan?" gumamnya panik. Takut jika darah itu merembas mengenai surat di dalamnya. "Hah, syukurlah," gumamnya lega. Restia membaca barisan kata dengan tulisan tangan rapih. Di negeri ini tulisan yang dipakai menggunakan huruf latin. Selebihnya tidak ada perbedaan apapun dari dunia nyata. Senyum Restia lagi-lagi mengembang. Ia mengabaikan rasa perih di jemarinya dan fokus membaca. "Salam hangat teman pena ku, Lady Restia Adler De Freya. Semoga kesehatan selalu menyertai mu." "Lady, seperti biasa. Bagaimana kabar mu? Di sini aku sedang merasakan hawa panas yang tidak pernah ku rasakan di negeri ku. Apakah Negeri Eraslan setiap tahunnya akan sepanas ini? Jika demikian rasanya aku ingin membawa Lady Restia berkunjung ke Negeri Wisteria. Di sana sangat sejuk. Banyak danau di tengah hutan yang asri. Saat kaki Lady menyentuh air. Dinginnya akan terasa sampai ubun-ubun." "Ah... maaf jika aku tidak sopan. Aku bukannya membanggakan negeri ku. Aku hanya berharap di sini ada tempat yang bisa menghilangkan rasa panas ini. Apa Lady tau di mana itu? Jika Lady tidak keberatan ayo bertemu lagi. Aku ingin berbincang banyak hal dengan Lady." Bola mata Restia menilik ke atas. Mencari arsip dalam otaknya perihal tempat yang sesuai keinginan Aurora. Namun nihil. Ingatan Restia Adler itu seperti ikan. Harus dipancing dengan melihat objek langsung terlebih dahulu. Jika tidak, jangan harap mendapat informasi apapun. Seperti saat Tea Party kemarin. Restia tidak tahu wajah Aurora dan Livius. Namun saat melihat mereka, deretan informasi langsung masuk ke benak Restia. Begitulah sistem ingatan yang Restia dapati selama ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa ingatan Restia Adler belum lengkap sepenuhnya. Itu sebabnya Restia merasa janggal dibeberapa hal. Salah satunya luka di punggung ini. Yang Restia tau, luka ini didapat akibat terkena sayatan pedang. Tapi Restia tidak tahu siapa yang menyayatnya. Dengan kata lain keadaan Restia saat ini mengarah ke semi amnesia. "Nona, saya membawakan obat dan perban," saut Rowena. Raut khawatir masih tercetak jelas. Ia langsung mengambil posisi berlutut dan meraih jemari Restia. "Kalau sakit bilang saja Nona. Saya akan lebih lembut lagi." Heran! Rowena ini terlalu overprotektif. Hanya luka sekecil ini dia sampai panik seperti itu. Dalam ingatan Restia Adler, memang sejak kecil Rowena berada di sampingnya. Mereka tumbuh bersama. Senyum Restia mengembang samar. Mungkin inilah yang disebut ketulusan sejati. "Rowena?" "Iya Nona?" "Menurut mu apa ada danau di tengah hutan di sekitar sini?" tanya Restia. "Emh... sepertinya tidak ada kalau di tengah hutan. Kalau danau di belakang rumah ada." Ha? Jadi kediaman ini punya danau? Gila! Seluas apa sebenarnya pelataran rumah ini? Tempo lalu Restia sudah keliling halaman dan tidak menemukan danau sama sekali. "Ehem... bisakah kamu mengantar ku setelah ini?" "Tentu saja Nona." Setelah selesai membalut Luka. Restia dan Rowena pergi ke halaman belakang. "Ugh!" keluh Restia. "Ada apa Nona?" "Kenapa cuacanya sangat panas! Hah... hah... rasanya matahari seperti berada di kepala ku!" "Tapi matahari tetap berada di tempatnya Nona. Itu di atas," tunjuk Rowena polos. Ia menganggap serius rengekan Restia barusan. "Bukan itu! Ah... sudahlah," dengus Restia. Langkah Restia tampak layu. Dress panjangnya terlihat sangat mengganggu pijakannya. Walau topi dan payung telah melindungi dirinya, Restia masih terasa kepanasan. "Nona..." "Hah?" sahutnya kesal. Rasa panas benar-benar membuat hatinya ikut panas. "Kita sudah sampai."

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN