Kedua manusia itu pun berjalan kembali menyusuri jalan yang sempat mereka lalui tadi. Sepanjang perjalanan, Aksan hanya terdiam, ia memikirkan akibat dari burung Weluh yang di lihat oleh adik angkatnya tadi. Sementara itu, Ariya pun terdiam, ia bingung karena Aksan tak memberitahu alasan kenapa ia terkejut saat dirinya menyebutkan nama warna burung indah tadi.
Namun, aneh. Sekian lama mereka berjalan melintasi semak belukar yang kian lebat, tetapi mereka tak menemukan jalan keluar di pinggir hutan. Tak terlihat sama sekali pembatas pagar belakang rumah Dewi, yang ada hanya pohon yang menjulang tinggi dengan banyak sekali dahan hingga suasana terkesan suram dan menyeramkan.
Suara deru angin menerpa dahan pohon dan membuat daun-daun yang sudah kering pun berjatuhan. Sinar matahari mulai meredup, tanda bahwa siang akan berganti malam.
Aksan melirik jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Waktu telah menunjukkan pukul lima sore, satu jam lagi maka semuanya akan menjadi gelap.
"Kita harus cepat, sebentar lagi malam," ujar Aksan.
"Iya, Kak. Tapi, kok dari tadi kita gak sampai-sampai, ya. Perasaan tadi kita gak terlalu jauh masuk hutannya," ujar Ariya yang mulai merasakan keanehan.
"Mungkin sebentar lagi, ayo jalan," ajak Aksan sembari kembali berjalan menyusuri jalan yang penuh dengan tanaman liar.
Tubuh Ariya mulai mendingin, ia lupa, bahwa hutan adalah salah satu tempat berkumpulnya para makhluk halus. Bahkan, tak jarang hutan adalah kerajaan dari sebuah klan makhluk gaib. Ariya menatap dengan waspada, ia berharap bisa cepat sampai ke rumah dan tak ada satu pun makhluk gaib yang menampakkan dirinya di hadapannya.
"Kamu kenapa diam?" tanya Aksan.
"Eh, enggak apa-apa," jawab Ariya lirih berusaha untuk menyembunyikan ketakutannya karena ia tahu bahwa sang kakak membenci ketika dirinya menceritakan tentang hantu yang ia lihat.
"Oh." Hanya kata itu yang keluar dari bibir Aksan. Ia memimpin jalan dan berusaha untuk mencari jalan keluar dari hutan ini. Walau ia manusia biasa, tetapi ia masih memiliki rasa takut, siapa yang tidak takut jika berada di dalam hutan lebat tanpa tahu jalan keluar.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan, semakin lama mereka semakin lelah. Sudah tiga puluh menit lamanya mereka berjalan. Akan tetapi, jalan keluar dari hutan ini tak bisa ia temukan.
"Kak, kita masih belum bisa keluar. Apa kita tersesat?" tanya Ariya khawatir.
"Aku rasa gitu," ucap Aksan tak kalah khawatir.
"Terus sekarang kita harus bagaimana, Kak?" tanya Ariya ketakutan saat sinar matahari sudah hampir menghilang dari angkasa.
"Aku juga bingung. Sinyal ponsel juga gak ada." Aksan mengangkat ponselnya ke udara untuk mendapatkan jaringan. Akan tetapi, nihil. Jaringan sama sekali tak tertangkap oleh ponsel Aksan.
Rupanya, Aksan dan Ariya sedari tadi bukan menuju ke arah pinggir desa, melainkan menuju ke dalam hutan lebat. Kini, mereka tersesat di dalam hutan tanpa bantuan siapa pun.
"Kita coba jalan saja, siapa tahu kita bisa sampai di belakang rumah Mama," ucap Aksan.
"Iya, Kak," jawab Ariya. Ia menurut dan kembali mengikuti langkah kaki Aksan yang entah menuju ke arah mana karena Aksan juga bingung ke mana arah yang benar.
Cukup lama mereka berjalan, hingga sinar matahari benar-benar telah menghilang di telan malam dan kini hanya menyisakan kegelapan. Beruntung, Aksan membawa ponsel untuk di gunakan sebagai penerangan ketika mereka tengah mencari jalan pulang.
"Tunggu sebentar," pinta Aksan menghentikan langkahnya.
Ia terdiam sembari menajamkan indra pendengarannya. "Kamu dengar itu, gak?" tanyanya.
"Dengar apa, Kak?" tanya Ariya.
"Itu, suara ... suara musik," jawab Aksan kembali fokus mendengarkan suara alunan gamelan.
"Aku gak dengar apa-apa, Kak," ujar Ariya yang bingung melihat Aksan.
"Masa kamu gak dengar suara gamelan itu?" tanyanya lagi.
"Gamelan, di tengah hutan?" gumam Ariya yang mulai merasakan keanehan.
Ariya terdiam, ia mulai merasakan keanehan di sekitar hutan ini. Suara gamelan di tengah hutan bisa menjadi pertanda bahwa akan ada sesuatu yang muncul dari area hutan ini.
Aksan tampak mencari sumber suara dari gamelan itu, ia tetap memfokuskan pendengaran sembari kakinya melangkah ke arah suara gamelan itu berasal. "Ayo kita ke sana, suara itu gak jauh. Pasti ada warga di sekitar sini, nanti kita bisa minta bantuan mereka untuk nganterin pulang," ujar Aksan.
"Tapi, mereka bukan war--"
Aksan segera menarik tangan Ariya, ia melangkahkan kakinya untuk segera mendekat ke arah sumber suara hingga Ariya tak sempat memberitahu bahwa suara yang Aksan dengar adalah suara dari para makhluk halus yang ada di hutan ini.
"Suaranya berasal dari balik pohon beringin besar itu," ujar Aksan sembari mengarahkan cahaya senter ponselnya ke arah sebuah beringin tua yang hidup di tengah hutan.
Beringin yang usianya sudah mencapai puluhan tahun itu tumbuh tinggi dengan banyak sekali akar yang menjuntai hingga menyerupai batang-batang kecil dan terlihat sangat menyeramkan. Di balik pohon beringin ini memang mulai terdengar suara gamelan yang dialunkan, tetapi tak ada cahaya satu pun di sana. Mungkinkah gamelan di mainkan dalam keadaan gelap gulita?
"Tunggu, Kak. Jangan ke sana," pinta Ariya menghentikan langkahnya hingga Aksan pun ikut berhenti.
"Kenapa?" tanya Aksan kebingungan.
"Jangan itu bukan manusia, itu han--"
"Hantu?" tanya Aksan memotong ucapan Ariya. "Sudahlah, di sini tak ada hantu, kita bisa minta bantuan mereka," ucap Aksan lagi sembari memaksa gadis itu untuk mengikuti langkahnya.
Ariya tak bisa menolak hingga ia pun menurut ketika Aksan membawanya ke balik pohon beringin. Mereka melewati akar-akar beringin yang menjuntai ke bawah, pemandangan itu menjadi lebih menyeramkan lagi karena udara yang tiba-tiba saja menjadi sangat dingin hingga menusuk ke seluruh tulang yang ada di tubuh kedua manusia itu.
Wewangian kenanga tercium semerbak, sontak saja Ariya merasakan keberadaan para mahluk gaib yang ada di sekitarnya. Tubuhnya bergidik ngeri, detak jantung pun berpacu kencang. Ia mulai ketakutan jika saja akan ada penampakan seram yang muncul di hadapannya.
Aksan mempercepat langkah hingga suara gamelan yang Aksan dengar terdengar semakin jelas. Suara itu berjarak hanya sepuluh meter dari tempatnya berdiri.
Cahaya terang mulai terlihat dari balik pohon beringin, suara tabuhan gamelan terdengar jelas bahkan di telinga Ariya. Gadis itu meneguk ludahnya sendiri, ia ketakutan. Terlihat beberapa orang laki-laki yang mengenakan pakaian adat menabuh gamelan, sedangkan seorang wanita menggunakan pakaian tari tengah menari di antara para penabuh gamelan.
Sejenak Aksan tertegun melihat pertunjukan yang di mainkan oleh beberapa orang itu. Terlebih, penari yang terlihat sangat menarik di matanya. Akan tetapi, berbeda dengan Ariya, gadis itu ketakutan, ia merasakan ada sesuatu di balik para penabuh gamelan itu.
"Kak, ayo kita pulang," ajak Ariya ketakutan.
"Iya, kita minta bantuan mereka saja," ujar Aksan.
"Tapi, Kak--"
Aksan menarik tangan Ariya hingga mereka lebih dekat ke arah para penabuh gamelan itu, mereka tak menghentikan pertunjukan itu walau tahu ada orang baru yang datang ke arah mereka.
Merasa tak mendapatkan sambutan. Aksan berinisiatif untuk bertanya lebih dulu pada mereka. "Permisi," ucapnya.
Sontak saja, para penabuh dan penari itu berhenti dari kegiatan mereka. Semua pasang mata yang terlihat gelap itu menatap ke arah Aksan dan Ariya. Tak ada jawaban atau ucapan dari mereka hingga membuat Aksan menjadi sedikit kebingungan.
"Maaf, saya mengganggu. Saya ingin bertanya di mana arah jalan keluar dari hutan ini?" tanya Aksan ragu.
Hening. Tak ada jawaban dari mereka, beberapa orang itu hanya menatap tajam ke arah Aksan, entah apa maksudnya. Namun, tak lama, penari itu pun berjalan mendekat ke arah kedua adik dan kakak itu.
Manik matanya sayu, wajahnya terlihat pucat dengan bibir merah darah. "Kenapa mau pulang? Di sini saja, bareng sama kita," ucapnya dengan suara lirih. Akan tetapi, sekujur tubuh Aksan tiba-tiba saja merinding mendengar ucapan dari wanita itu.
"Ka-kami, mau pulang," ujar Aksan mulai takut melihat gelagat mencurigakan dari wanita itu.
"Di sini saja, main sama kita," ucapnya lagi sembari memegang tangan Aksan.
Pemuda itu salah tingkah, bukan karena suka dipegang oleh wanita cantik, melainkan karena tangan wanita itu yang sangat dingin seperti mayat.
Tangan putih milik wanita yang tadinya memegang tangan Aksan tiba-tiba saja berubah menjadi tangan busuk dengan banyak belatung yang berkeliaran.
Aaaarrrggghhh!
Sontak Aksan terkejut dan melepaskan dirinya dari wanita itu. Begitu juga dengan Ariya, ia tak bisa berkata-kata karena saat ini ia berhadapan dengan salah satu penghuni hutan terkuat yang pernah ia temui, tubuhnya terasa kaku hingga ia bingung harus bereaksi bagaimana.
Ha-ha-ha!