Hutan Larangan

1254 Kata
Aksan yang menyadari ada keanehan pada tangannya segera menoleh, sontak ia terkejut. Tangan tanpa tulang yang dipenuhi oleh belatung adalah tangan milik sosok wanita penghuni hutan larangan. Wanita itu tertawa melihat Aksan yang ketakutan. Manik matanya seketika berubah menjadi merah menyala, taring tajam keluar dari sudut bibirnya yang bercampur dengan cairan kental berwarna merah darah. Rambut wanita itu memanjang, sedangkan gaun yang ia kenakan tadi berubah menjadi gaun merah panjang menjuntai. Kesan wanita ayu dan manis seketika menghilang dan berubah menjadi sosok wanita hantu yang menyeramkan. Tawa wanita itu terdengar hingga membuat burung malam yang bertengger beterbangan ke udara. Sementara itu, lelaki yang bertugas menabuh gamelan pun ikut berdiri dan menatap ke arah Aksan, manik mata mereka pun ikut berubah menjadi merah darah. Hi-hi-hi! "Aaaarrrggghhh! Hantuu!" teriak Aksan ketakutan. Pemuda itu mencoba berlari sembari menarik tangan Ariya yang terdiam membisu melihat penampakan hantu dengan energi yang besar. "Riya! Lari!" teriak Aksan lagi. Mereka pun segera berlari melintasi semak belukar yang kian lebat sepanjang jalan yang mereka lewati. Mereka berdua berlari tanpa melihat ke arah belakang. Bruk! Tubuh Aksan tersandung akar pohon hingga tubuhnya jatuh tersungkur di atas berbatuan kecil di antara semak belukar. "Aw," rintih pemuda itu. Kaki kanannya masih tersangkut di antara akar pohon, darah segar menetes dari luka akibat akar itu. "Kakak gak apa-apa?" tanya Ariya seraya mendekat ke arah sang kakak. Napas keduanya masih tersengal-sengal karena berlari tadi. Ariya melihat ke arah kaki Aksan. Ia mencoba untuk membebaskan Aksan dari jerat akar yang melukai kakinya. "Pelan-pelan, Ri. Sakit," rintihnya menahan rasa sakit. "Iya, Kak," jawab Ariya. Ia mengangkat perlahan pergelangan kaki Aksan, ia berhasil membebaskan kaki Aksan, kini terlihat jelas guratan luka yang ada di pergelangan kakinya. Wussshh! Angin berembus kencang, hingga membuat pepohonan rindang yang ada di sekitar mereka meliuk-liuk dan membuat dedaunan berguguran. Udara dingjn seketika menusuk tulang. Ini adalah tanda bahwa makhluk yang tadi mereka temui ternyata masih mengikuti langkah mereka. "Kak, mereka datang. Ayo, kita harus cepat pergi dari sini," bisik Ariya sembari memapah Aksan untuk segera berdiri. Sesekali Aksan merintih kesakitan ketika Ariya membantunya berjalan. Mereka melintasi jalan yang lebih curam, pohon semakin lebat hingga sinar rembulan tak bisa menembus lebatnya pepohonan. Kini, mereka sudah jauh berada cukup jauh di dalam hutan, aura arwah jahat wanita tadi tak terasa lagi, mereka sudah terbebas dari jerat para mahluk gaib, walaupun tak bisa di nyatakan aman. Akan tetapi, ini masih cukup beruntung karena bisa terlepas dari kejaran para arwah jahat. Aksan kembali merintih saat kakinya yang terluka terasa semakin sakit. "Aw, sakit." "Kita duduk dulu, Kak," ucap Ariya sembari membantu Aksan untuk duduk bersandar di bawah pohon. Gadis itu mengarah cahaya dengernya ke kaki Aksan. Akibat tergores akar kayu yang ternyata cukup tajam membuat pergelangan kaki Aksan terluka hingga darah masih mengucur. Tanpa berpikir panjang lagi, Ariya segera merobek bagian bawah dari kaos yang tengah ia kenakan. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Aksan yang heran melihat Ariya. "Diamlah, Kak." Ariya menjawab sembari tetap fokus membentuk kain panjang sekitar dua puluh centimeter. Ia meluruskan kaki Aksan, ia membalut luka yang ada di pergelangan kaki sang kakak dengan kain dari kaos yang ia kenakan. "Aw, pelan-pelan, dong," rengek Aksan. Manik mata Ariya melihat ke arah Aksan. "Dih, gitu aja cengeng banget," ucap Ariya mengejek. "Is, kamu, kan, gak ngerasain," ujar Aksan itu tersipu malu. Ariya tak menjawab, ia tetap fokus pada balutan kainnya pada kaki Aksan. Tanpa pemuda itu sadari, ia menatap wajah Ariya yang tengah membungkus lukanya. Wajah Ariya terlihat lelah, butiran peluh menetes dari wajahnya. Akan tetapi, itu sama sekali tak mengurangi manisnya wajah Ariya yang diterangi oleh cahaya senter. Senyum mengembang dari wajah Aksan, ia begitu menyukai wajah Ariya yang tampak sangat perhatian pada dirinya. Entah mengapa, detak jantungnya berdegup kencang, bukan karena ketakutan seperti tadi, melainkan sebuah rasa yang berbeda. Aksan berdebar-debar saat memperhatikan adik angkatnya itu. "Ternyata, dia cantik dan baik," batin Aksan. Entah, dia selama ini tak pernah memperhatikan Ariya karena sibuk dengan pekerjaannya. Deg! Deg! Debaran jantung Aksan terdengar jelas di keheningan malam ini. Hal itu membuat Ariya merasa kebingungan. "Kakak gak apa-apa? Aku kok kaya dengar suara deg deg, gitu ya?" tanya Ariya. Wajah Aksan bersemu merah, ia malu ketika Ariya menyadari bahwa Ariya mendengar detak jantungnya. "Gak dengar apa-apa, kamu ngayal tuh!" elak Aksan. "Oh, gitu, toh," ujar Ariya manggut-manggut. Gadis itu kembali membalut luka Aksan hingga erat. Ariya duduk di samping Aksan untuk menenangkan dirinya yang juga masih ketakutan, sedangkan Aksan pun terdiam berusaha untuk menenangkan debaran jantungnya. Ia kebingungan karena memikirkan sesuatu tentang adik angkatnya. "Ariya, tadi itu apa? Hantu?" tanya Aksan membuka percakapan. Ariya menoleh. "Ya, bisa di bilang begitu," ujar Ariya pelan. Aksan terdiam, ia begitu terkejut dengan wujud dari hantu itu. Ia mulai berpikir tentang kejadian masa lalu saat Ariya bercerita tentang hantu dan segala jenisnya. "Apa bentuk yang di lihat Ariya dari dulu itu seperti tadi itu, ya?" batin Aksan bertanya-tanya. Namun, belum sempat ia bertanya. Ariya tiba-tiba saja berdiri. Manik mata gadis itu menatap ke arah sekitar. Ia merasakan ada aura lain di sekitar tempat ia dan sang kakak tengah beristirahat. akan tetapi, aura yang ia rasakan terasa berbeda dari yang ia rasakan pada sosok mahluk halus bergaun merah itu. "Aura siapa? Apa dia bermaksud jahat juga?" tanya Ariya dalam hati. Gadis itu terus menatap dengan waspada, jaga-jaga jika ada sesuatu yang kembali ingin menyerang mereka. "Kak, kita pergi dari sini sekarang," ucap Ariya. "Tapi, ini masih sakit," ucap Aksan merintih sembari memegang pergelangan kakinya yang terluka. "Cengeng, cuma gitu aja. Ayo, pergi. Kakak mau jadi penghuni hutan ini?" tanya Ariya menakuti Aksan. "Ogah! Gak mau! Di sini gak ada cewek-cewek cantik," ucap Aksan. "Ada tuh tadi," jawab Ariya singkat. "Dih, ogah! Ya kali mau sama setan," ujar Aksan kesal. "Dah, dah. Ayo, Kak," ajak Ariya lagi sembari meraih tangan Aksan dan meletakkannya di pundak, ia membantu pemuda itu untuk berjalan dan meninggalkan tempat ini walau sebenarnya mereka sama sekali tak tahu jalan keluar dari hutan seram ini. "Pelan, pelan. Sakit," rengek Aksan manja pada gadis yang kini berada sangat dekat dengan tubuhnya. "Is, ternyata kakak ini cengeng," ujar Ariya menoleh ke arah Aksan. Sontak, mata mereka beradu. Sejenak mereka terdiam dalam posisi itu. Beberapa detik kemudian, Ariya membulatkan manik matanya, ia terkejut karena wajahnya sangat dekat dengan Aksan. Gadis itu segera membuang muka dan kembali berjalan, ia salah tingkah karena tatapan Aksan tadi. Sementara itu, Aksan hanya terdiam, ia cukup terkejut melihat wajah Ariya yang sangat dekat dengan wajahnya. Pemuda itu tersenyum, ia terpana melihat manik mata indah milik Ariya, selama ini ia tak pernah menyadari wajah cantik sang adik angkat. Mereka berjalan menembus malam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, hanya terdengar suara deru angin yang menggoyang pepohonan dan juga suara binatang malam. Wussshh! Semilir angin berembus menerpa tubuh kedua insan itu. Sontak Ariya menghentikan langkahnya, ia kembali merasakan aura itu, aura yang entah baik atau jahat. "Ada apa?" tanya Aksan heran. Gadis itu tak menjawab. Ia menoleh ke arah sekitar untuk mencari sumber dari aura yang kini ia rasakan. Semerbak wangi melati tercium, tanda bahwa akan ada lelembut yang datang ke arah mereka. "Siapa itu?" tanya Ariya mulai penasaran. "Ariya, kamu ngomong sama siapa?" tanya Aksan bingung. "Kakak tunggu di sini," ujar Ariya sembari membantu Aksan untuk duduk bersandar di pohon. "Kamu mau kemana?" tanya Aksan, tetapi tak di hiraukan karena Ariya telah berjalan ke arah semak belukar yang tingginya mencapai pinggang orang dewasa. Gadis itu merasakan ada aura asing sedari tadi, rasa penasaran seketika menutup rasa takut yang dirasakan. "Apa maumu? Keluarlah jika tak bermaksud jahat," pinta Ariya dengan suara lirih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN