Jangan Ganggu Aku!

1266 Kata
Rasa takut yang dialami Ariya hanya membuatnya berdiri kaku menatap sosok gaib yang ada di hadapannya. Tak berapa lama, terdengar langkah kaki mendekat. Pintu pun terbuka. Aksan melihat ke dalam dapur dengan cahaya yang suram. "Ada apa, Ariya? Kenapa kamu berteriak?" tanya Aksan sembari meneliti. "Ma-maaf, Kak. I-itu di jendela ada hantu," jawab Ariya ketakutan. "Hantu?" tanya Aksan seraya melangkah mendekat ke arah jendela, lalu membukanya serta meneliti setiap pepohonan yang tumbuh di halaman rumah. "Kak, jangan dibuka, nanti dia masuk," pinta Ariya pada Aksan. Pemuda itu mengembuskan napas pelan, seraya berkata, "Ariya aku tau kalau kamu baru saja kehilangan ayah kamu, tapi kamu jangan melakukan hal bodoh seperti ini untuk mencari perhatian. Sekarang kamu tidur, tidak ada lagi cerita hantu, itu cuma cerita omong kosong yang disebarluaskan oleh orang bodoh." "Tapi, Kak--" "Sudah cepat! Masuk kamar!" perintah Aksan pada gadis itu. Ariya pun menuruti perintah Aksan dan segera masuk ke dalam kamarnya. *** Semilir angin bertiupan menerpa pepohonan rindang yang ada di halaman. Mentari yang mulai condong ke arah barat memberikan rasa hangat di kulit para warga desa yang kini mulai pulang dari sawah ke rumah masing-masing. Suara kicau burung yang terdengar dari pepohonan yang tumbuh di hutan samping desa menambah kesan asri pada Desa Asih ini. Andre membawa putra dan putri angkatnya ke desa tempat tinggali ibu kandung Aksan. Ia tak ingin memisahkan anak dan ibunya, walaupun kini ia telah bercerai dengan istrinya. Rumah bergaya klasik, terbuat dari kayu-kayu jati yang diambil dari hutan tak jauh dari rumah ini, terasa sangat nyaman dan juga membuat siapa pun yang tinggal akan merasa betah di dalam rumah karena udara yang sejuk nan menyegarkan. Rumah berdiameter cukup besar ini ditinggali oleh Dewi, mantan istri dari Andre. Sebagai seorang ayah, Andre sesekali membawa Aksan untuk bertemu sang ibunda agar sang anak dapat merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Andre tak egois walaupun hak asuh Aksan sudah jatuh ke tangannya beberapa tahun lalu, ia masih memikirkan Aksan yang harus tumbuh dengan kasih sayang. Ia juga meninggalkan Aksan di desa beberapa hari untuk melepaskan rindunya kepada seseorang yang telah melahirkan dirinya ke dunia ini. *** Suara kicau burung yang terdengar dari luar rumah membuat gadis yang kini sudah beranjak remaja, Ariya, itu pun tertarik. Ia beranjak dari kursi dan berjalan mendekat ke arah jendela yang tak jauh dari tempatnya duduk tadi. Sedari pagi, Ariya hanya berada di dalam rumah ini. Akan tetapi, ia tak merasa bosan karena suasana sejuk di dalam rumah berdinding kayu ini. Ia meneliti hamparan luas yang penuh dengan pohon-pohon rindang lebat di belakang halaman rumah Dewi. Manik matanya membulat sempurna, ia takjub melihat indahnya pemandangan yang ada di desa ini. Udara terasa begitu segar, semilir angin dan juga pohon-pohon rindang membawa kesejukan tersendiri untuk dirinya. Entah sudah berapa lama, ia tak rasakan kedamaian seperti ini. "Aku pengen keluar, ah," ucap gadis itu sembari melangkah keluar dari rumah melalui pintu belakang. Gadis itu menghembuskan napasnya dengan pelan, ia terlihat menikmati indahnya pemandangan desa ini beserta dengan udara bersih yang sudah jarang ditemui. "Segar banget udara di sini. Aku suka," ujarnya sembari tersenyum senang menatap ke arah rimbunnya pepohonan. Rumah Dewi memang berbatas langsung dengan hutan yang berada di bawah kaki gunung Asih. Hutan itu menjadi tempat bagi para warga untuk mencari kayu bakar atau pun bahan pangan lainnya. Mereka menjaga hutan dengan baik, agar penghuni di dalam hutan yang di yakini para warga agar tidak marah dan membuat desa mereka terkena malapetaka. "Indah," gumam gadis itu sembari menatap ke arah puncak gunung yang jauh menjulang tinggi di hadapannya. "Ngapain kamu di sini?" tanya seseorang yang jelas saja membuat gadis itu terlonjak kaget. "Aaa! Siapa itu?" tanya Ariya sembari berbalik badan dan mencari sumber suara. Manik matanya meneliti dan menemukan seseorang yang tengah duduk di dahan pohon. Ariya mempertajam penglihatannya. "Kakak ngapain di sana?" tanya gadis itu pada Aksan yang masih asyik duduk di pohon mangga. "Metik mangga, emang mau ngapain lagi?" Ia balik bertanya sembari mengambil mangga yang telah matang di pohonnya. "Nih, tangkap!" perintahnya dan melemparkan sebuah mangga pada Ariya. Sontak gadis itu terkejut dan berusaha untuk menangkap mangga yang jatuh. Beruntung, mangga itu mendarat tepat di tangannya. "Ah, aku kirain gak kena," gumam Ariya sembari melihat mangga itu. Wangi buah mangga matang tercium hingga menggoda selera Ariya untuk mencicipi buah mangga yang ranum itu. Aksan turun dari pohon dengan cara melompat. Pemuda itu segera mendekat ke arah Ariya dan mengambil mangga yang ada di tangan Ariya. "Aku juga mau," ucap Ariya. Namun, Aksan telah mengigit mangga matang itu. "Mau?" tawarnya. "He'em," sahut Ariya. "Petik sendiri, dong," ucap Aksan sembari berjalan ke arah kursi yang ada di halaman belakang. Ariya kesal, ia mencebikkan mulutnya ketika melihat Aksan yang tengah menikmati manisnya mangga itu. Akan tetapi, tak berapa lama kemudian perhatiannya terarah pada pohon yang berada di pinggir hutan. Manik matanya membulat sempurna saat melihat seekor burung berwarna biru terang dengan ekor panjang menjuntai dengan warna serupa. "Cantik banget," lirih Ariya terkagum-kagum. Tanpa ia sadari, ia mendekat ke arah pohon rindang tempat burung itu bertengger. Gadis itu ingin melihat keindahan burung yang berhasil menarik perhatiannya itu. "Cantik," gumam gadis itu. Ariya membuka pintu pagar yang menjadi batas antara hutan dan rumah Dewi. Ia ingin segera melihat indahnya burung berwarna biru terang itu lebih dekat lagi. Kini, jarak Ariya dan pohon tempat burung itu bertengger hanya lima meter saja, gadis itu terdiam sembari mengamati indahnya warna bulu dari burung berekor panjang. "Burung apa, ya, itu?" tanyanya lirih. "Hei, kamu mau ke mana?" tanya Aksan yang ternyata mengikuti langkah Ariya hingga ke bawah pohon. Burung berwarna indah itu terkejut dan segera terbang rendah melewati pepohonan dalam hutan. "Kak Aksan? Kenapa Kakak ke sini? Burungnya pergi gara-gara Kakak," gerutu Ariya ketika melihat burung itu telah terbang. "Burung apa?" tanya Aksan kebingungan. Ariya tak menjawab, ia segera berlari mengikuti ke mana arah burung itu mengepakkan sayapnya. Aksan yang kebingungan segera mengikuti Ariya yang kini mulai memasuki hutan di belakang rumah ibunya. Langkah kaki Ariya menerobos tanaman semak belukar, ia seperti tak sadar, perhatiannya hanya terarah pada burung itu. Ariya pun terus berlari mengikuti jejak burung indah tadi hingga perlahan burung itu pun terbang tinggi dan menghilang dari pandangannya. "Loh, kok hilang?" tanya gadis itu sembari mengedarkan pandangan ke arah atas. Ia memutarkan tubuhnya sembari mencari keberadaan burung itu. Tak terdengar lagi suara kicauan, tak terlihat lagi indahnya bulu-bulu burung itu. Burung itu seperti hilang tanpa jejak. "Ariya, kamu kejar apa?" tanya Aksan yang masih mengikuti Ariya sedari tadi. Napasnya tersengal-sengal, detak jantung pun berpacu dengan kencang. Aksan menyandarkan dirinya di sebuah pohon den berusaha mengatur napas agar bisa normal kembali. "Loh, Kakak kok ikut?" tanya Ariya. "Gara-gara kamu lari kok gak bilang-bilang," ujarnya terlihat kesal. "Dih, kok, gara-gara aku. Gara-gara Kakak tuh, burungnya terbang sampai sini," ucap Ariya. "Burung apa, sih? Aku gak lihat," ucap Aksan. "Itu tadi, burungnya warna biru terang, ekornya panjang," jelas Ariya. Aksan terdiam. Ia merasa aneh ketika mendengar bahwa Ariya melihat seekor burung berwarna biru. "Riya, kepala burung itu berwarna apa?" tanya Aksan memastikan. "Kalau nggak salah, sih, warnanya hitam," jawab Ariya sembari mengingat warna burung itu. "Apa! Kamu yakin warnanya warna hitam?" Tanya Aksan terkejut. Jelas saja ia terkejut karena yang dilihat oleh Ariya adalah burung keramat yang dipercayai sebagai penunggu hutan. Burung berwarna biru yang diberi nama Weluh oleh warga desa hanya menampakkan dirinya kepada orang yang dia inginkan saja. Beruntung, Ariya bisa melihat burung Weluh pada saat berkunjung pertama kali ke desa ini. "Kakak kenapa? Memang warnanya warna hitam, kok," jawab gadis itu. "Nanti aku ceritakan. Ayo sekarang kita pulang," ajak Aksan sembari berdiri setelah napasnya kembali normal. "Iya, Kak," jawab Ariya menurut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN