"Kenapa woy? Ngelamun aja, Bumil. Tidur! Udah malam." Aku tersentak kaget saat Evita yang ternyata juga masih terjaga, menegurku tiba-tiba. "Mikirin apaan, sih?" Seperti malam kemarin, gadis berambut sebahu itu kembali mengambil posisi duduk di sampingku untuk menuntaskan rasa keponya. Aku tahu itu. "Nggak ada," jawabku sekenanya. Gadis berkaca mata minus di sampingku manggut-manggut sambil meraih kuaci di meja kecil hadapan kami. "Pasti lagi mikirin bapaknya bocah, kan?" tebaknya sambil mengupas kuaci dengan menggigitnya. "Enggak, ah. Sok tahu!" sangkalku enggan mengakui. "Lah, terus, kalau bukan mikirin Kang Irham, mikirin siapa, dong? Masa iya mikirin Fatih yang gaje itu." Begitu mendengar nama Fatih, aku refleks tersenyum. Ingatan tentang dia yang pura-pura mengaku cinta membua