Bab 3: Keputusan

1655 Kata
*** Marina menghela napas dalam-dalam. Dadanya tiba-tiba terasa sesak saat ingatan akan masa lalu yang kelam kembali menyergapnya, membuat hatinya remuk redam. Ia merasa hancur oleh pria yang pernah menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sampai saat ini, Marina masih belum mampu melupakan sosok lelaki itu. Meskipun Willem telah mencoba berulang kali untuk menemui Marina, namun Marina tetap kukuh menolak dengan tegas. Dia menegaskan bahwa tidak ingin terlibat lagi dengan mantan kekasihnya tersebut. Disaat yang sama, Marina juga merasa dilema karena masih terjebak dalam kenangan dan perasaan terhadap lelaki itu. Penolakan Marina untuk bertemu dengan Willem telah menimbulkan rasa penasaran di kalangan keluarga. Mereka bertanya-tanya mengapa Marina begitu keras menolak hingga keluarga tidak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi antara Marina dan Willem. Jika saja Axel dan Mario, kedua kakak laki-laki Marina, mengetahui perlakuan Willem terhadap adik mereka, mungkin keduanya sudah mengambil tindakan tegas terhadap Willem. Mereka mungkin sudah melampiaskan kemarahan mereka pada Willem. Di sisi lain, alasan Marina menyembunyikan permasalahan tersebut dari keluarganya adalah karena rasa malu, ketakutan, dan keinginan untuk tidak menimbulkan masalah yang lebih rumit. Marina khawatir bahwa jika masalah ini terbongkar, akan berdampak pada rumah tangga kakaknya, Axel, dan Clarissa. Marina akhirnya memutuskan untuk menutup babak hidupnya dengan Willem. Dia menolak untuk bertemu lagi dengan lelaki itu. Sehingga, ketika sang Ayah menawarkan perjodohan dengan Luke, Marina dengan cepat menerimanya. Dia berharap bahwa dengan menjalin hubungan baru, dia bisa melupakan Willem. Namun, harapan Marina tidak berjalan sesuai rencana. Meskipun dia mencoba untuk menerima Luke dan belajar mencintainya, Marina tetap tidak bisa melupakan Willem. Bayangan Willem selalu menghantuinya, membuatnya sulit untuk benar-benar membuka hati pada Luke. Tak jarang, Marina menangis di malam hari tanpa alasan yang jelas, namun yang pasti air matanya bermuara pada Willem. Selama ini, Marina menerima banyak surat dari Willem, yang isinya selalu singkat namun penuh makna, "Maafkan aku. Aku mencintaimu, Marina." Meskipun tulisannya singkat, namun kata-kata itu mampu mengguncang perasaan Marina dan membuatnya terus terbayang oleh Willem. Dari ratusan lembar surat yang diterima Marina dari Willem, kalimat yang terus-menerus diulang adalah "Maafkan aku. Aku mencintaimu, Marina." Meskipun begitu, makna kalimat tersebut sudah kehilangan arti baginya. Hati Marina telah hancur oleh Willem, seperti habis manis sepah dibuang. Harga dirinya diinjak-injak oleh Willem, menyisakan kekecewaan dan kebencian yang mendalam. Tentu, Marina merasa sangat kecewa dan membenci Willem atas perlakuan dan pengkhianatannya. Meskipun begitu, apakah Marina benar-benar membenci Willem? Pertanyaan itu sulit dijawab dengan pasti. Yang jelas, Marina tidak ingin bertemu lagi dengan Willem. Dia menolak untuk melihat wajah tampan lelaki itu, karena tak ingin terjebak lagi dalam pesonanya yang dapat mengulang kisah lama yang menyakitkan. Marina berusaha keras untuk tidak terlena kembali. Itulah sebabnya dia tega menolak undangan untuk merayakan pesta ulang tahun keponakannya di Wellington, demi menjaga jarak dan melindungi dirinya dari kenangan yang menyakitkan itu. "Hey!" seru seorang pria di ambang pintu yang terbuka. Marina terlonjak kaget sambil menatap ke arah pintu, "Astaga, Rio, kamu membuat orang kaget saja!" kesal Marina dengan suara ketus pada kakak pertamanya, Mario. Pria itu tertawa pelan sambil memasuki ruang kerja sang adik, "Habisnya kamu asyik melamun sejak tadi. Aku ketuk pintu tapi tidak direspon," ujar Mario sambil duduk di kursi depan meja kerja Marina. Wanita itu diam sambil memperhatikan kakaknya. "Melamuni apa?" tanya Mario seraya menatap serius pada sang adik. Marina menggeleng pelan, "Tidak ada," jawabnya dengan nada yang agak ragu. Mario terdiam, mengamati wajah cantik adiknya dengan tatapan lekat. Kemudian dia bertanya, "Ada masalah kerjaan?" Marina kembali menggeleng pelan, "Masalah dengan Luke?" tanya Mario lagi. "Tidak ada masalah apa-apa, Rio. Aku dan Luke baik-baik saja," jelas Marina. "Mana mungkin ada orang asik melamun jika tidak ada masalah," ujar Mario sambil tersenyum. Marina diam sambil menatap kakaknya. "Kalian bertengkar?" tanya Mario. Marina mendesah kasar, "Sudah kukatakan aku dan Luke baik-baik saja. Mengapa kamu sulit sekali percaya?" Ia terlihat frustrasi. Mario mengulum senyum, "Tadi aku melihat Axel keluar dengan wajah masam dari ruang kerjamu. Ada apa dengannya?" tanya Mario. Marina mengedikkan bahu acuh, "Mungkin dia dimarahi oleh Cla. Dia kan takut sama istrinya, sama seperti kamu takut pada Grace." "Jangan sembarangan bicara. Kami tidak takut pada istri, hanya menghargai saja, makanya kami selalu mengalah," jelaskan Mario. Sungguh, dia tidak rela jika ada orang yang menganggap dia takut pada istrinya. Meskipun sebenarnya dugaan orang-orang itu tidak sepenuhnya salah. Dia dan Axel memang merasa takut jika istri mereka marah. Marina mendengus sambil memutar mata dengan malas. Mario terkekeh pelan melihat ekspresi sang adik, "Ayo kita pulang," ajaknya kemudian. "Aku bawa mobil," beritahu Marina. "Nanti mobilnya diantar oleh sopir saja. Kita pulang bersama. Aku kesepian kalau sendirian," ujar Mario. Marina menghela napas lalu mengangguk pasrah. Setelah itu, ia segera bersiap-siap membereskan meja kerja dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Kemudian, dia dan sang kakak keluar dari ruang kerja dan turun bersama menuju lantai dasar untuk pulang. *** Beberapa hari kemudian... Hari ini, Mansion sangat sepi, hanya ada Marina dan para pelayan. Orang tua Marina, kakak, dan kakak iparnya sudah berangkat ke Wellington kemarin karena dalam tiga hari akan merayakan ulang tahun Nicolas dan Nicola di sana. Sementara Marina tetap pada keputusannya untuk tidak ikut, meskipun sudah dibujuk berulang kali oleh Ibunya, Ayahnya, kakaknya, dan kakak iparnya. Pagi ini, Marina menikmati sarapan pagi sendirian di meja makan panjang yang biasanya selalu ramai oleh keponakan-keponakannya. "Permisi, Nona," seorang pelayan menghampiri dan menyapa dengan sopan, "potongan buah segar Anda sudah siap. Saya minta maaf karena lupa menyiapkan sejak awal," tambah sang pelayan. Marina melirik pada mangkuk potongan buah segar yang disodorkan oleh pelayan. Kemudian, ia beralih pada pelayan tersebut sambil mengulas senyum, "Tidak apa-apa. Terima kasih. Maaf sedikit merepotkanmu." Marina memang seperti Ibunya, Janeeta, sangat baik dan selalu bersikap lembut pada siapa saja, terutama pada para karyawan di kediamannya ini. Sang pelayan membalas dengan sungkan sebelum segera meninggalkan meja makan, dan Marina pun melanjutkan sarapan paginya. Ia hanya mengkonsumsi potongan buah segar dan segelas air putih seperti biasanya, karena Marina tidak terbiasa sarapan dengan menu yang berat. Setelah selesai sarapan, Marina segera bersiap pergi ke kantor dengan menggunakan jasa sopir. Entah kenapa, hari ini dia malas menyetir, padahal biasanya selalu melakukan hal itu. Tak begitu lama setelah perjalanan, Marina tiba di kantor. Ia langsung naik menuju lantai tempat di mana ruang kerjanya berada. Setelah Marina memulai aktivitasnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Ternyata, yang menelepon adalah Luke, sang tunangan. Marina mengobrol sebentar dengan lelaki itu, sekadar berbasa-basi di pagi hari. Setelah Marina memergoki keberadaan Luke dan Vamela di restoran waktu lalu, hubungan mereka tetap baik-baik saja, karena Marina tidak pernah lagi bertanya kepada Luke mengenai kebersamaan lelaki itu dengan Vamela. Setelah menghabiskan kurang lebih 10 menit mengobrol dengan tunangannya, Marina akhirnya menyudahi percakapan. Dia memberi alasan kepada Luke bahwa ada beberapa pekerjaan yang harus segera dia tangani karena sebentar lagi dia akan melakukan pertemuan dengan beberapa petinggi perusahaan. Tentu saja, alasan yang dia sampaikan tersebut hanyalah untuk cepat-cepat menyudahi obrolannya dengan Luke. Marina tidak begitu bersemangat berbicara dengan Luke. Entah apa alasannya, karena hal ini bukan hanya terjadi sekarang, tetapi sudah sejak dulu. Itulah mengapa hubungannya dengan Luke bisa dikatakan sangat dingin. Ddrrttt... Di tengah fokusnya menatap layar laptop yang menyala di depan wajahnya, tiba-tiba ponselnya berdering, membuatnya terlonjak kaget. Marina mengalihkan pandangannya dari layar komputer ke arah ponsel yang tergeletak di atas meja. Marina mengerutkan kening saat melihat nama kontak yang tertera pada layar perangkat canggih tersebut, sambil dengan cepat meraihnya dan membawanya ke depan wajah. "Nicolas is calling…" Ternyata yang menghubunginya adalah Nicolas, sang keponakan. Marina mendesah pelan. Dia dapat menebak apa tujuan anak laki-laki itu menghubunginya. Dengan gerakan yang kurang bersemangat, Marina menjawab panggilan dari sang keponakan. "Ya halo, Nico..." sambut Marina sambil mengulas senyum di bibir. "Aunty sangat tega kepadaku dan Nicola. Sudah tiga kali aku merayakan pesta ulang tahun, tetapi Aunty tidak pernah mau hadir. Apakah Aunty benci padaku? Atau mungkin aku pernah membuat kesalahan yang membuat Aunty sangat marah padaku?" keluh anak laki-laki itu. Deg! Marina tertegun mendengar ungkapan beruntun dari sang keponakan. Ia menelan ludah dengan kasar, sambil memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Nicolas. "Sayang, kamu jangan salah paham. Aunty tidak marah sama sekali dan kamu tidak pernah melakukan kesalahan apapun yang membuat Aunty marah padamu," ucap Marina dengan lembut. “Lantas mengapa Aunty tidak mau ikut merayakan pesta ulang tahunku? Setidaknya Aunty bisa melihat aku dan Nicola tersenyum di hari lahir kami. Kalau Aunty tidak bisa menginap, tidak mengapa. Setelah aku selesai tiup lilin, tidak apa-apa jika Aunty langsung pergi, asalkan Aunty hadir dan melihat aku dengan Nicola meniup lilin.” Dada Marina tiba-tiba sesak mendengar ungkapan sang keponakan, membuat kedua matanya sontak berkaca-kaca. Marina membuka bibir hendak mengatakan sesuatu, namun urung karena dia kembali mendengar suara Nicolas. “Aku dan Nicola tidak membutuhkan hadiah mahal dari Aunty. Kami hanya membutuhkan kehadiranmu di sini. Datanglah, Aunty. Aku mohon.” Marina kemudian menelan ludah, berupaya mengusir rasa sesak yang semakin menghimpit dadanya. “Iya… iya, nanti Aunty datang,” suaranya terdengar tercekat di tenggorokannya, sangat sakit seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. “Jangan ingkari janji, Aunty. Aku dan Nicola menunggu kedatanganmu. Kalau kamu tidak datang, maka aku dan Nicola sangat kecewa padamu. Aku akan menganggap ketidakhadiranmu adalah tanda bahwa kamu benci kepada kami,” ujar Nicolas, terdengar serius di ujung telepon. “Ya Tuhan…” desah Marina dalam hati. Marina tidak berprasangka buruk pada keponakannya. Dia percaya bahwa semua ucapan yang dilontarkan oleh Nicolas barusan adalah isi hati anak itu yang sebenarnya. “Hari ini Aunty akan terbang menuju Wellington. Tunggu Aunty di sana dan doakan Aunty semoga selamat sampai tujuan,” janji Marina, yang pada akhirnya dia pun mengalah dan menyampingkan egonya demi kebahagiaan sang keponakan. “Amen! Aku selalu mendoakanmu, Aunty. Sampai jumpa besok. Love you, I miss you.” “I love you more, boys,” balas Marina sebelum menurunkan ponsel dari telinga dan panggilan dengan sang keponakan pun berakhir. Ia menyimpan ponsel ke atas meja. Air mata mengalir di pipi, Marina mengusapnya dengan lembut. ‘Aku sadari bahwa kapanpun waktunya, aku pasti kembali bertemu dengannya.’ Bisiknya dalam hati. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN