Satu jam setelah bel sekolah berbunyi.
Hari ini Axel memutuskan untuk menjemput Vianka, bahkan dia sudah menunggu Vianka setengah jam sebelum bel pulang sekolah berbunyi. Entah mengapa setelah melihat kemarahan Satria membuat Axel merasa khawatir kepada Vianka. Axel rasa kini Vianka tengah dalam bahaya, Satria mulai bergerak mengkerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari keberadaan Vianka.
“Udah satu jam bel bunyi, kenapa gue belum liat Vianka ya?” Tanya Axel pada dirinya sendiri seraya keluar dari mobil lalu mendudukkan bokongnya pada kap mobil.
Sekolah yang Vianka tempati perlahan kosong, sedari tadi Axel mencoba fokus mencari keberadaan Vianka yang siapa tahu ada di salah satu kerumunan beberapa siswa yang bergegas pulang.
“Gue juga gak liat Zacky.” Gumam Axel.
Axel melihat segerombolan siswi yang sedang berjalan ke arahnya, “O M G ada Axell!” seru seorang siswi.
Merasa ada yang mengenalnya, Axel beranjak dari duduknya lalu menghampiri mereka.
“Hi Axel!” Sapa seorang bernama Fiona saat Axel melihat name tag nya.
“Hi!” Sahut Axel seraya tersenyum, “kalian lihat Vianka gak?” Lanjut Axel membuat Fiona dan teman yang lainnya mendadak kesal.
“Ck, maksud lo si Babu hm? Kayaknya semua cowok nyari dia deh, tadi anak sekolah tetangga. Rame rame lagi.” Tanya Fiona dengan jengkel.
“Tadi juga gue liat dia ke belakang sekolah, kayaknya dia mau ke kantin belakang deh. Ish genit banget yah dia, itu kan tempat khusus buat kakak kelas sekolah sebrang yang bandel semua.” Sahut salah satu teman Fiona.
“Ga tau, pokoknya gue nyari Vianka. Yang nyari banyak? Cowok semua?” Tanya Axel dengan kesal, karena ada yang berani memotong pembicaraannya.
“Ck, Babu kayak dia banyak yang nyari guys. Setau gue, mereka anak motor gitu, tampangnya juga sangar semua. Kayaknya dia beneran punya bakat jadi babu deh, soalnya dicari sana sini.” Ujar Fiona dengan nada yang seperti tengah mengejek Vianka.
“Cih. Bahkan Babu lo gak ada pun, masih tetep lo gosipin. Berarti emang Babu lo itu istimewa.” Sahut Axel sembari tersenyum sinis.
Fiona terdiam karena merasa kalah dari Axel, “Ish.” Umpatnya seraya menghentakkan kakinya dan berlalu meninggalkan Axel, “Kristal lo jangan ngomong sama dia. Ayo!” Lanjut Fiona.
Axel menahan salah satu tangan teman Fiona dengan kencang, “lo temen kelasnya kan?” Tanya Axel tajam. Axel pernah mendengar nama Kristal keluar dari mulut Vianka, katanya Kristal itu teman Vianka namun ada satu kejadian yang membuat Kristal menghianatinya dan memilih bergabung dengan Fiona.
“Jawab Kristal!” Desis Axel.
“Auhh, iya gue temen kelasnya. Setahu gue dia gak ke kantin pas istirahat, terus dia juga gak masuk pelajaran setelah istirahat.” Jelas Kristal.
“Kenapa dia gak ke kantin?”
“Ya gue gak tau lah, lepasin dulu cekalannya Xel. Sakit. ” Pinta Kristal.
“Vianka bilang, lo sama dia dulu sahabatan.” Ucap Axel.
“Ck, Vianka cerita apa aja ke lo. Dia gak ke kantin gara - gara Zacky gak ada, si Zacky bolos dari pelajaran pertama. Biasanya Vianka suka pergi sama Zacky ke kantin, tapi kayaknya dia pergi ke Rooftop sekolah deh.”
“Lewat mana?” Tanya Axel.
“Gak tau, soalnya Cuma Vianka sama Zacky yang tahu tempatnya. Mendingan lo tanya sama Zacky aja deh, Rooftop sekolah sama Rooftop yang suka di pake Vianka beda tempat.”
“Ya udah sono, thanks ya. Nanti gue atur jadwal buat lo ketemu sama si Zacky deh.” Balas Axel yang langsung membuat Kristal menoleh.
“Lo tau Zacky?”
“Yap, dia sepupu gue. Nanti gue kabarin waktunya lewat Vianka aja, sekarang gue mau nyari dia dulu.” Pamit Axel.
“Aaaaa makasih Axel, ya udah sana. Sekalian bawain dia makan sama tas nya di kantin, dia suka nitipin ke gue buat naro tas nya di kantin. Gue cabut duluan.”
Skip
Axel sudah sampai di kantin, matanya mencari keberadaan tas milik Vianka. Sebelum itu dia memesan makanan terlebih dahulu, “Bu, masih ada Bakso nya? Saya mau pesan satu mangkok.”
“Masih ada dek, adek bukan anak sekolah sini ya?” Tanya Mbak kantin.
“Bukan bu, saya mau jemput pacar saya di sini. Oh iya, apa ada yang menitipkan tas di sini?”
“Ada dek, biasanya yang suka nitip itu Vianka. Tapi sudah satu jam dia tidak mengambil tas nya.”
“Kalo boleh saya tau, jalan ke atap sekolah ada berapa ya bu?”
“Setahu ibu, ada dua pintu. Yang pertama suka di pake buat nyimpen barang, dan satu lagi udah di gembok jadi gak bisa di pakai lagi.” Jelas Ibu kantin.
“Tempatnya dimana aja bu?”
“Yang suka dipake ada di lantai tiga tepatnya ujung lorong paling kanan, satu lagi di belakang sekolah paling ujung dekat kantin belakang.”
“Oh iya bu, makasih ya. Ini uangnya bu, sekalian saya pinjem mangkuk dulu, nanti saya kembaliin ke sini.” Pamit Axel seraya memberikan satu lembar seratus ribu. “Kembaliannya buat ibu, jangan di masukin ke uangan penjualan. Itu uang saku buat ibu.” Lanjut Axel.
Ibu kantin kaget, “Loh dek, ini kelebihan banyak. Bakso nya juga Cuma sepuluh ribu.”
“Ga papa bu!” Teriak Axel saat sudah mencapai pintu kantin.
Kini Axel tengah berdiri di antara tangga untuk naik ke atas, dan gerbang menuju belakang sekolah. “Katanya rooftop yang sering dipake sekolah beda sama rooftop yang dipake Zacky, terus tadi ada yang bilang Vianka pergi ke kantin belakang sekolah. Berarti.......” Ada jeda sedikit dalam ucapan Axel, “Belakang sekolah.” Ucap Axel sembari sedikit berlari hampir saja dia tersengkur jika tak ada seorang cowok menahannya, kejadian itu membuat nampan yang dia pegang goyang sehingga kuah bakso yang berada dalam mangkuk tumpah membasahi nampan.
“Ck. Jangan ngebut Bro! Lo gak lagi lomba lari kan?” Sinis seseorang di hadapannya.
Axel menghiraukan ucapan pemuda itu, matanya teralihkan pada kuah yang berpindah tempat.
“Anjir kuah baksonya.” Umpat Axel.
“Ck, lo ngapain di sini Xel?”
“Terserah gue lah.” Sahut Axel.
“Ciih, cepet beresin urusan lo. Keburu si Zodit dateng.”
“Hmm, nih pegang. “ Ucap Axel seraya menyerahkan nampan yang berisi mangkok itu dan pergi menuju tangga dekat kantin belakang sekolah.
Sesampainya di atap, Axel hendak meraih gagang pintu dan bertepatan dengan itu pintunya terbuka. Menampilkan sosok yang sudah dua jam ini dia cari, Vianka.
Axel menatap Vianka prihatin, penampilannya berantakan, matanya sembab, dan pipi nya merah.
“Vianka!” Panggil Axel saat Vianka menubruk tubuhnya, kini Vianka tengah menangis di pelukan Axel.
“Hiks, gue takut Xel.” Tangis Vianka.
Axel berusaha menenangkan Vianka, di usapnya punggung kecil gadisnya. “Ssssst. Sssst. Axel disini Vianka, ada Axel kamu gak usah takut. Ini Cuma salah paham doang.”
“Axel jangan pergi, Axel udah janji sama mama buat gak ninggalin Vianka, Axel juga ngejanjiin bang Sam buat gak ninggalin aku.” Lirih Vianka.
“Iya Axel inget, udah ah jangan nangis. Sini liat Axel.” Titah Axel seraya sedikit melonggarkan pelukannya dan mengangkat kepala Vianka agar bisa bertatapan dengannya.
‘Cup’
‘Cup’
“Percaya sama aku, semuanya bakal baik – baik aja.
Axel mengecup kedua mata Vianka bergantian, lalu turun untuk menyejajarkan hidungnya dengan milik Vianka. Dia menggesekkan hidungnya, yang membuat Vianka kegelian.
“Axel ish, geli.” Ucap Vianka sambil menjauhkan wajahnya.
“Haha, eh kamu kenapa kok merah mukanya? Hahaha” Tawa Axel pecah saat melihat wajah Vianka yang sudah seperti kepiting rebus.
“Apaan, enggak merah kok.” Sanggah Vianka seraya mengusap wajahnya beberapa kali.
“Haha, itu telinganya ikutan merah.” Kekeh Axel.
“Bodo ah, awas gue mau pulang.” Kesal Vianka seraya mendorong bahu Axel yang menghalangi jalannya.
“Ck, marah nih.” Ledek Axel seraya menyusul Vianka.
Di dalam mobil.
Keadaan hening, Vianka masih enggan mengajak Axel berbicara. Begitu pun dengan Axel, pikirannya terbagi dua, dia harus fokus menyetir dan memikirkan bagaimana caranya supaya Vianka tidak marah lagi.
“Vi.” Axel memanggil Vianka sangat pelan.
“Vianka!” Panggil Axel kembali karena merasa diabaikan.
“Vii ih, Axel nangis loh nih.” Ancam Axel yang membuat Vianka menoleh.
“Cowok kok cengeng.” Sarkas Vianka seraya mengibaskan rambutnya.
Seketika Axel memberhentikan mobilnya, dia menatap lurus jalanan di depannya.
Selang sepuluh menit, akhirnya Vianka memberanikan diri bertanya.
“Kok berhenti sih Xel?” Tanya Vianka tanpa menoleh.
“Xel!”
“AXEL!” Kesal Vianka seraya menoleh menatap Axel.
“Lo? Astaga!”