Di sebuah rumah mewah, seorang pria paruh baya tengah marah besar di ruang kerjanya. Dua lelaki yang tadi membawa papan nama Sheina di bandara tampak tertunduk di hadapannya.
“Maafkan kami, Pak. Kami tidak tahu ke mana Nona Sheina. Kami sudah mencari ke seluruh area bandara, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Nona Sheina,” terang salah satu lelaki yang berdiri itu dengan tetap menunduk.
“Kenapa kalian bisa seceroboh itu?!” Pria yang duduk di kursi itu melempar ballpoint ke arah kedua lelaki di hadapannya. “Bagaimana mungkin kalian tidak menemukan putriku?” Kekhawatiran melandanya. Putri satu-satunya yang ia tunggu-tunggu kepulangannya setiap tahun, kali ini menghilang tanpa kabar.
Siga, lelaki yang tampak sangat panik atas keselamatan putrinya itu segera mengambil ponsel dan menghubungi nomor telepon Sheina. Ia takut akan terjadi sesuatu yang buruk pada putrinya.
Cukup sudah ia merasakan kehilangan orang yang dicintai, saat sang istri mengembuskan nafas terakhir sesaat setelah melahirkan buah cinta mereka. Ia tak ingin lagi merasakan kehilangan orang terkasih dalam hidupnya.
Ia berharap telepon tersambung ke nomor putrinya. Namun, yang terdengar justru suara operator yang menginformasikan bahwa nomor tersebut tidak dapat dihubungi.
Lelaki itu melemparkan ponselnya ke sudut ruangan. “Temukan Sheina bagaimana pun caranya!” teriaknya frustrasi.
Kedua lelaki yang sedari tadi hanya mematung di hadapannya, segera mengangguk dan keluar dari ruangan tersebut.
“Sheina …,” rintih lelaki itu sambil menatap foto ia dengan Sheina yang terpajang di pigura kecil di atas mejanya. “Aku bersumpah! Siapa saja yang mencoba menyakiti putriku, ia dan keluarganya tidak akan selamat!” ucapnya pelan tetapi penuh penekanan dan kemarahan.
***
Mobil hitam yang membawa Sheina memasuki sebuah kawasan yang tampak seperti hutan. Tidak ada satu rumah pun yang berdiri di sekitarnya. Kanan kiri jalan dipenuhi dengan pohon-pohon besar yang rimbun. Mobil belok kiri, mengikuti jalanan yang tidak diaspal. Menyusuri hutan hingga tiba di sebuah rumah bercat putih.
Setelah menepikan mobil di pelataran yang cukup luas, lelaki misterius itu melihat Sheina dari spion. ‘Belum sadar juga,’ batinnya.
Ia segera keluar dari mobil dan membawa Sheina ke dalam rumah. Dua orang lelaki bertubuh besar berdiri di depan rumah menyambut lelaki itu.
“Bos!” sapa keduanya saat lelaki yang menggendong Sheina di pundaknya sudah berada di depan mereka.
Tanpa menunggu perintah, dua pria itu segera membuka pintu rumah dan mengikuti lelaki yang disebut ‘Bos’ itu menuju sebuah kamar. Salah satu dari mereka memutar kunci dan membuka pintu.
Setelah membaringkan Sheina di ranjang, lelaki itu mengarahkan dagunya ke pintu agar kedua anak buahnya keluar dari kamar. Setelah pintu tertutup, lelaki itu menuangkan segelas air yang telah tersedia di nakas samping tempat tidur. Ia mencelupkan tangannya ke dalam gelas, lalu mencipratkannya berkali-kali ke wajah Sheina.
Tak lama, gadis itu mulai membuka mata, perlahan. Ia berusaha memulihkan kesadarannya dan mulai memperhatikan langit-langit. Kemudian menoleh dan terkejut mendapati lelaki asing yang membawanya berdiri di samping ranjang.
Menyadari hal itu, Sheina segera bangkit. Ia menarik diri hingga tersudut di sandaran ranjang.
“Kau!” Sheina mengacungkan telunjuk ke hadapan lelaki itu.
“Tolooong …!” Belum sempat lelaki misterius bersuara, Sheina langsung berteriak dan segera turun dari ranjang untuk berlari meninggalkan kamar. Sayangnya, lelaki itu lebih sigap menarik lengannya hingga ia kembali tersungkur di kasur.
“Berteriaklah sesukamu. Tak akan ada yang mendengar, kecuali binatang-binatang buas,” ucap lelaki itu dengan tetap tenang. Ia memberi isyarat agar Sheina melihat keluar dengan mengarahkan dagunya ke jendela kamar yang cukup besar.
Sheina pun berlari menuju jendela dan melihat sekeliling. Ia menoleh kanan kiri dan hanya melihat pepohonan hingga ujung pandangannya. Kini, wajahnya terlihat sangat panik. Ia berdiri menghadap lelaki yang kini tengah duduk santai di bibir ranjang.
“Bagaimana, Nona?” tanya lelaki itu dengan lembut. Namun, di balik intonasi yang lembut itu justru menimbulkan rasa takut yang besar dalam diri Sheina.
“Apa yang kau inginkan dariku? Kau mau uang? Berapa? Katakan saja. Papaku pasti akan mengirimkannya untukmu.” Sheina mencoba bernegosiasi. Ia duduk di sebelah lelaki itu dan tanpa sadar kedua tangannya memegang lengan lelaki itu. Sheina menunjukkan raut wajah dengan senyum yang dipaksakan dan menyiratkan sebuah harapan.
“Aku tak butuh uang orang tuamu,” ucap lelaki itu dengan tenang, tanpa mengubah posisinya.
“La-lalu, apa yang kau inginkan?”
Dengan tetap tenang, pria misterius itu menoleh, menatap lekat kedua manik hitam Sheina. Senyum tipis yang ia tunjukkan semakin membuat Sheina ketakutan. Pria itu tiba-tiba menggenggam tangan Sheina yang masih memegang lengannya. Melihat perubahan ekspresi di wajah lelaki misterius itu, ‘alarm peringatan’ dalam diri Sheina menyala.
Wajah cantik yang memancarkan rasa takut yang besar membuat Sheina tampak sangat menarik untuk dipermainkan.
Pria itu pun berkata, “Sesuatu yang paling berharga.”
Senyumnya semakin mengembang melihat kedua mata bulat Sheina yang semakin terbuka lebar setelah mendengar ucapannya.
Gadis itu menarik tangannya dari genggaman lelaki yang hingga saat ini belum ia ketahui siapa dan apa motif menculiknya. Genggaman lelaki itu semakin kuat di pergelangan tangannya.
“Lepaskan aku!” Sheina terus berusaha melepaskan diri dari lelaki itu, tetapi usahanya sia-sia. Dalam satu kali tarikan, tubuh gadis itu terlempar dan terbaring di kasur. Dengan cepat sang pria mengunci tubuh Sheina dengan kedua lengan kokoh di sisinya.
Perlahan, lelaki itu menurunkan kepalanya hingga wajahnya dengan wajah Sheina nyaris bersentuhan. Sheina yang tak mampu berbuat apa-apa dan takut akan keselamatannya, hanya diam dengan wajah yang tampak begitu tegang.
Saat bibirnya nyaris menyentuh bibir merah Sheina, lelaki itu mendekatkan wajahnya ke telinga Sheina dan berbisik, “Jangan mencoba melakukan apa pun jika ingin selamat.”
Setelah mengatakan kalimat ancaman tersebut, sang lelaki segera bangkit dan meninggalkan Sheina yang masih terpaku dengan keterkejutan yang teramat sangat. Suara pintu yang terkunci menyadarkannya. Sheina bangkit dan berlari ke pintu.
“Buka pintunya! Keluarkan aku!” teriak Sheina sambil memukul-mukul pintu.
Sementara, lelaki misterius itu hanya tersenyum mendengar keributan yang diciptakan Sheina dari dalam kamar. Ia berjalan keluar rumah dan melempar kunci pada salah satu anak buahnya.
“Awasi dia!” perintahnya. Kedua lelaki itu mengangguk, sementara lelaki misterius itu memasuki mobilnya dan meninggalkan rumah.
Dua orang lelaki yang berjaga di depan rumah itu pun saling pandang dan tersenyum tipis.
“Aman,” ucap salah seorang pada temannya, setelah memastikan mobil bos mereka tidak terlihat lagi dari pandangan.
Keduanya pun masuk ke rumah menuju kamar tempat Sheina dikurung.
“Hei! Buka pintunya! Toloong!” Teriakan Sheina terus terdengar tanpa henti.
Pria berkulit lebih gelap mengangguk pada temannya dan membuka pintu secara perlahan. Teriakan Sheina dan suara pukulan ke pintu yang membuat gaduh itu pun mendadak hilang. Suasana kamar itu menjadi hening.
Gadis itu memandang takut pada kedua lelaki bertubuh besar, yang menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. Tatapan mereka lebih menakutkan dibandingkan tatapan lelaki misterius yang membawanya ke tempat itu. Tubuh Sheina gemetar, tetapi ia tetap berusaha melihat seluruh ruangan untuk mencari celah melarikan diri.
Kedua lelaki itu berjalan perlahan mendekatinya dengan senyum yang menyiratkan kengerian.
“Mau apa kalian?” Sheina semakin tersudut dengan langkah mundur yang nyaris membuatnya terjatuh.
“Jangan takut, Nona Manis. Kami tidak akan kasar,” ucap salah satunya.
“Jangan mendekat!” Semakin tidak ada celah untuk Sheina melarikan diri. Ia terpojok di sudut kamar. Sementara, seringai kedua lelaki itu membuatnya semakin gemetaran.
“Kemari, Nona. Kita bersenang-senang.” Salah seorang pria menarik Sheina dan melempar tubuh mungil itu ke kasur.
“Tidak! Lepaskan!”
Pria dengan tato di tangan kanan menindih tubuh Sheina dan berusaha mencium gadis itu. Namun, Sheina berhasil melindungi wajahnya setelah kakinya berhasil menendang bagian vital pria tersebut.
“Aak! Sial!” pekik lelaki itu sambil memegang bagian kelelakiannya. Temannya yang berkulit gelap pun kini mengejar Sheina yang berlari ke sudut lain di kamar itu.
“Jangan mendekat!” ancam Sheina sambil mengangkat vas bunga yang terletak di meja dekat kasur.
“Tenanglah, Manis. Kami jamin tidak akan menyakitimu,” bujuk lelaki itu sambil terus melangkah maju dengan sangat hati-hati. Ia khawatir Sheina akan melemparkan vas bunga dari kaca berukuran lengan orang dewasa ke arahnya.
“Jangan mendekat …!” teriak Sheina sambil melemparkan vas bunga sekuat tenaga.
Vas terlempar mengenai kepala seorang pria yang baru saja membuka pintu kamar, hingga benda itu pecah di lantai. Darah mengalir dari kening lelaki itu. Sheina terpaku. Ia ketakutan melihat tatapan tajam penuh kemarahan, yang menancap dalam ke sorot matanya.
‘Oh, God. Matilah aku!’ pekik Sheina dalam hati.