Sebelum kejadian pelemparan vas bunga di kamar.
“Aku segera ke sana,” ucap lelaki misterius yang menculik Sheina sebelum menutup telepon. Ia menoleh sejenak ke rumah di tengah hutan itu lalu kembali berjalan menuju mobil hitam di halaman.
Setelah mobil melaju beberapa puluh meter dari rumah bercat putih itu, sang lelaki misterius teringat berkas yang harus ia bawa sebelum menemui seseorang yang baru saja meneleponnya. Ia berdecak kesal akibat keteledorannya meninggalkan benda penting itu, hingga harus memutar kemudi kembali ke rumah.
Sesampainya di depan rumah, ia sedikit heran melihat rumah kosong tanpa dua penjaga yang selalu bertugas di depan.
‘Ke mana mereka?’ batin lelaki itu. Ia pun gegas melangkah ke dalam rumah untuk mengambil berkas yang tertinggal. Namun, belum sampai ke ruangan kerjanya, ia mendengar teriakan Sheina dari dalam kamar.
“Jangan mendekat …!”
Suara ribut dan teriakan dari kamar yang ditempati gadis itu membuatnya semakin penasaran dan segera ke sana. Ia itu bergegas membuka pintu kamar.
Sesaat setelah membuka pintu, sebuah vas bunga menghantam keras keningnya hingga mengeluarkan darah. Ia menoleh pada kedua ajudan yang terpaku melihat kehadirannya yang tiba-tiba itu.
Melihat situasi di depannya, lelaki itu langsung paham apa yang sedang terjadi. Ia tahu apa yang coba dilakukan oleh kedua anak buahnya di kala ia pergi.
Kedua anak buahnya mematung melihat sosok yang masuk tiba-tiba ke kamar yang tidak mereka kunci itu. Siapa sangka bosnya akan kembali secepat ini.
Lelaki misterius itu lalu menatap tajam pada sosok gadis yang tengah ketakutan di sudut kamar.
“Keluar!” Suaranya menggelegar di dalam kamar itu. Kedua lelaki yang berniat melakukan hal buruk pada Sheina bergegas keluar kamar dengan rasa takut akan kemarahan bosnya. Sementara, Sheina yang ketakutan semakin gemetar dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
Lelaki itu menutup pintu dengan keras sebelum mendekati Sheina yang terpojok sembari memohon.
“Ma-maaf. Aku … aku tidak sengaja.” Sheina terus memohon. Ia meremas kedua tangannya, menahan rasa takut yang begitu besar. Wajahnya tampak pucat. Batinnya ingin berteriak minta tolong, tapi ia tahu itu percuma.
Kini, Sheina hanya bisa menangis memikirkan hal buruk yang akan menimpanya.
Lelaki itu semakin mendekat. Air mata Sheina mengalir semakin deras di kedua pipinya. Sheina melangkah mundur perlahan hingga terduduk di tepi ranjang. Lelaki itu pun terus mendekatinya dengan tatapan yang tak pernah lepas dari pandangannya.
Sheina beringsut hingga terpojok di kepala ranjang sembari terus memohon.
“Jangan mendekat … kumohon ….” Sheina terus memohon, tetapi lelaki itu terus mendekatinya hingga berdiri tepat di tepi ranjang. Dengan sigap, tangan kekarnya menarik Sheina hingga tubuh gadis itu menubruk dadanya.
Sheina berusaha melepaskan diri dari dekapan lelaki itu. Namun, lelaki itu justru mendorong tubuhnya hingga terbaring di kasur. Sheina semakin ketakutan melihat tatapan tajam lelaki di hadapannya yang terus mendekat. Darah dari kening lelaki itu menetes di pipi Sheina, bercampur dengan air matanya yang tak berhenti mengalir. Sementara, lelaki itu tak berhenti membuatnya gemetar ketakutan.
Sheina tak bisa lagi berbuat apa-apa. Tak ada lagi perlawanan darinya. Ia pasrah akan nasibnya kini. Wajahnya berpaling dan memejamkan mata. Hanya napas hangat lelaki itu yang kini ia rasakan di wajahnya.
Lelaki itu mematung tepat beberapa mili saja jarak wajahnya dengan wajah Sheina. Ia pandangi wajah pucat yang basah dengan air mata dan noda darah dari keningnya. Ia tertegun melihat ketakutan yang terpancar jelas dari raut wajah wanita yang menjadi tawanannya, juga tubuh yang gemetar ketakutan.
“Kenapa begitu ketakutan? Bukankah kau sudah sering melakukannya di luar sana?” bisik lelaki itu tepat di telinga Sheina. Membuat gadis itu spontan membuka mata dan menatap lelaki yang sedang telungkup di atasnya, dengan kedua lengan menopang tubuh lelaki itu layaknya sedang sit up. Wajah mereka begitu dekat hingga Sheina merasa begitu sesak.
Tatapan tajam keduanya beradu seolah sama-sama ingin menerkam mangsanya. Sheina tak terima dengan apa yang dikatakan lelaki itu padanya. Sorot ketakutan dari kedua mata indahnya berubah menjadi kemarahan.
Dalam hening beberapa saat, Sheina mendorong tubuh lelaki itu dan segera bangkit dari tempat tidur. Ia pun berlari menuju pintu. Namun, mendadak ia berhenti dan memekik kesakitan sambil memegangi kakinya yang mulai mengeluarkan darah. Ia menginjak pecahan kaca dari vas bunga yang ia lemparkan tadi.
Sheina merintih dan berusaha mencabut kaca yang masih tertusuk di telapak kakinya. Belum sempat ia mencabut kaca itu, seseorang mengangkat tubuhnya, dengan satu tangan di bawah lutut dan tangan lainnya di pundak Sheina.
Lelaki misterius itu! Ya, ia menggendong Sheina tanpa sepatah kata. Tatapannya yang tajam tak lagi diarahkan ke gadis itu. Ia berjalan menuju pintu dan membawa Sheina ke ruang tengah rumah tersebut.
Sheina hanya diam menatap wajah lelaki yang terus memandang lurus ke depan. Gadis itu sama sekali tak memberontak atau berusaha minta diturunkan. Ia takut lelaki itu akan melemparnya.
Ia pun didudukkan di sofa besar yang empuk.
Masih tanpa kata, lelaki itu berjalan menuju lemari kaca dan mengambil kotak P3K. Sedangkan Sheina masih terpaku memandang wajah dingin lelaki misterius itu.
Sheina lalu mengambil tisu di meja yang tak jauh darinya. Ia usap sisa-sisa air mata yang menempel di pipi, juga tetesan darah yang masih basah.
Lelaki itu kembali mendekati Sheina dengan kotak P3K di tangannya. Ia lalu berjongkok di hadapan Sheina dan memegang kaki gadis itu yang terinjak pecahan kaca.
Sheina meringis kesakitan saat kaca yang menancap di kakinya dicabut.
“Apa kau bisa pelan sedikit?” protesnya. Tetapi lelaki itu sama sekali tak menghiraukan.
Namun, kali ini lelaki itu membersihkan luka Sheina dengan lembut.
“Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau menculikku?” tanya Sheina. Lelaki itu hanya menatapnya sesaat, lalu kembali membersihkan lukanya hingga selesai mengobati dan membalut kaki Sheina.
Lelaki itu tak menjawab. Ia hendak berdiri, tetapi Sheina menahan pundaknya.
“Sebentar,” pinta Sheina. Ia lantas mengambil kapas untuk membersihkan darah di kening lelaki itu, yang mengalir sampai pelipisnya. Sheina melakukan hal yang sama seperti yang lelaki itu lakukan terhadap luka di kakinya.
Sesekali pandangan mereka bertemu, membuat Sheina canggung dan berusaha untuk tidak menunduk.
Lelaki misterius itu hanya diam memandang wajah Sheina, saat jari-jemari lentik gadis itu menempelkan perban pada lukanya. Masih ada sisa noda darah di pipi gadis itu.
Sheina terkejut saat merasakan dingin di pipinya. Ternyata lelaki itu mengusapkan kapas yang telah dibasahi untuk membersihkan sisa darah yang menempel.
“Sudah selesai,” ucap Sheina canggung.
Lelaki itu berdiri dan meminta Sheina mengikutinya.
Sheina pun berdiri dengan sedikit menaikkan satu kakinya yang terluka.
Lelaki misterius yang irit bicara itu menggeleng, lalu dalam sekejap kembali mengangkat Sheina seperti sebelumnya.
“Hei, turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri,” pinta Sheina.
“Diamlah! Aku sedang terburu-buru,” ucap lelaki itu.
Sheina pun terdiam. Namun, dalam hati ia menggerutu. Apa pedulinya lelaki itu terburu-buru atau tidak? Apa urusannya denganku, pikir Sheina.
Ia dibawa ke ruang kerja yang cukup luas dan terasa nyaman. Sheina diturunkan di samping meja besar, dan memperhatikan lelaki itu mengambil sebuah map dari dalam laci meja yang terkunci.
Setelah mengambil apa yang tertinggal, lelaki itu kembali mengangkat Sheina dan berjalan menuju mobilnya. Ia menurunkan Sheina di samping mobil dan menyuruh gadis itu masuk.
Sheina menurut demi keselamatannya sendiri. Lelaki itu sudah duduk di sampingnya, di balik kemudi.
“Pasang sabuk pengaman dan duduk diam di situ!” perintah lelaki itu.
Tanpa kata Sheina melakukan apa yang diperintahkan.
Mobil pun mulai melaju menyusuri kawasan hutan. Sheina memperhatikan pohon-pohon di sekitarnya. Ia mendadak ngeri membayangkan binatang-binatang buas keluar dari balik pepohonan dan menyerang.
Kini mereka sudah keluar dari kawasan hutan dan memasuki jalan raya. Sheina tidak tahu ke mana pria misterius itu akan membawanya. Ingin bertanya tetapi ia merasa takut. Gadis itu pun hanya diam memperhatikan jalan yang mereka lewati, sambil memikirkan kesempatan untuk melarikan diri.
Mobil memasuki kawasan yang cukup asing bagi Sheina. Kemudian masuk ke sebuah rumah besar yang tidak ditutup pagarnya. Mobil pun berhenti di depan rumah itu.
Tiba-tiba, lelaki misterius itu menarik tangan kiri Sheina dan menguncinya dengan borgol. Satu lubang borgol lagi dikaitkan ke pegangan pintu mobil.
“Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!” protes Sheina sambil menarik tangannya.
“Tunggu dan diam di sini kalau tidak ingin tanganmu sakit,” ucap lelaki itu.
Sheina mencebik kesal dan bersandar di jok.
Lelaki itu pun keluar dari mobil dan memasuki rumah dengan cat berwarna putih di setiap dindingnya.
Di dalam rumah, lelaki itu langsung disambut ramah oleh seorang pria paruh baya, juga seorang wanita, yang tak lain adalah ibu dan pamannya.
“Darius, apa yang terjadi? Kenapa keningmu terluka begini?” tanya Tamara panik melihat perban di dahi anaknya.
“Tidak apa-apa, Ma. Hanya kecelakaan kecil,” jawab lelaki misterius bernama Darius itu.
“Jangan berbohong. Apa orang-orang Siga yang melakukannya?”
Darius menggeleng.
“Jangan sampai Siga tahu kau menculik anaknya, sampai kita menjatuhkan perusahaannya,” ucap Himawan.
“Iya, Om.”
“Oh, ya, apa kau sudah menculik gadis itu?” tanya ibu dari lelaki bertubuh tinggi dengan otot-otot kekar di tubuhnya.
“Sudah, Ma. Dan ini dokumen yang Om butuhkan.” Ia menyerahkan map yang dibawa kepada Himawan, kakak dari sang ibu.
“Bagus. Siga akan merasakan kehancurannya mulai sekarang,” ucap Himawan dengan seringai liciknya.
“Di mana gadis itu sekarang, Darius?” tanya Tamara.
“Di mobil.”
“Kenapa tidak kau tinggalkan saja dia di rumah hutan? Bagaimana kalau dia kabur?” sahut Himawan.
“Dia tidak akan bisa kabur.”
“Mama ingin melihatnya,” ucap Tamara.
“Tidak usah, Ma. Darius tidak ingin Mama sakit hati lagi saat melihatnya.”
“Tidak. Mama hanya ingin tahu wajahnya. Mama janji tidak akan menangis mengingat papamu.”
Darius mengalah. Ia selalu melakukan apa pun keinginan sang ibu. Darius menculik Sheina demi membalaskan dendam kepada Siga—ayah Sheina. Ibu dan pamannya menanamkan di kepala Darius sejak kecil, bahwa ayahnya dibunuh oleh Siga karena urusan bisnis, dengan memanipulasi kecelakaan yang dialami oleh ayah Darius.
Kini, Darius ingin membuat Siga merasakan arti kehilangan dengan menculik anak lelaki itu. Bersama pamannya, Darius juga akan menghancurkan bisnis Siga.
Tamara membuka pintu mobil, tempat Sheina duduk. Kedua wanita itu saling pandang dengan pandangan yang berbeda. Sheina menatap Tamara penuh tanya, sedangkan Tamara menatapnya dengan kemarahan.
Darius dan Himawan memandang mereka dari teras rumah.
“Si-a-pa Anda?” tanya Sheina takut-takut, melihat sorot mata Tamara yang menghunjam matanya.
Tamara tersenyum tipis. “Persis seperti mamanya,” ucap Tamara pelan, tetapi Sheina masih dapat mendengar.
“Apa? Mama? Anda mengenal mamaku?” tanya Sheina.
“Tentu saja. w************n yang terus merayu suami orang!” jawab Tamara sini.
“Apa katamu? Jangan bicara sembarangan tentang mamaku!” teriak Sheina, hingga terdengar oleh Darius dan pamannya.
Mata Sheina memerah menahan tangis. Hatinya terlampau sakit mendengar sang ibu direndahkan seperti itu. Terlebih lagi, ibunya meninggal saat melahirkannya.
Tamara tak peduli dengan gadis itu. Ia langsung melenggang meninggalkan Sheina yang diborgol di dalam mobil, dengan air mata yang sudah mengaliri pipi mulusnya.
“Ada apa, Ma? Kenapa dia berteriak seperti itu?” tanya Darius penasaran.
“Tidak ada. Hanya memujinya, kalau dia cantik seperti mamanya.”
Darius tampak tak percaya dengan jawaban sang ibu. Namun, ia tak ingin bertanya lebih lanjut.
“Sudah, jangan kau pikirkan urusan wanita,” ucap Himawan. “Tetaplah bermain rapi sampai dendam mamamu terbalas.”
Darius mengangguk, lalu berpamitan. Ia terkejut saat membuka pintu mobil, melihat Sheina yang menunduk dengan terisak-isak.
‘Apa yang dikatakan Mama padanya hingga dia seperti ini?’ tanya Darius dalam hati.
Darius penasaran, tapi ia berusaha menyembunyikan rasa penasarannya itu.
Sheina terus menangis di perjalanan. Darius yang merasa terganggu pun akhirnya bersuara.
“Sampai kapan kau mau menangis?” sindir Darius.
Sheina segera mengusap air matanya dan memandang keluar kaca jendela mobil.
“Apa wanita tadi mamamu?” tanya Sheina tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.
“Memangnya kenapa?” jawab Darius dengan pertanyaan juga.
“Kenapa dia harus menghina sesama wanita yang sudah lama meninggal, yang bahkan belum pernah melihat putrinya sejak lahir,” lirih Sheina.
Mendadak seperti ada palu yang memukul d**a Darius. Hinaan seperti apa yang telah diucapkan oleh mamanya? Dan dari informasi yang selama ini Darius dapatkan, ibunya Sheina masih hidup sampai saat ini.
Apakah Siga menyembunyikan kematian istrinya? Atau Sheina bukan anak kandung Siga?
Ada rahasia apa antara sang ibu dengan ibunya Sheina? Selama ini, ia hanya tahu dari ibu dan pamannya, kalau sang ayah meninggal dengan kecelakaan yang disengaja oleh Siga, karena Siga ingin merebut posisi ayahnya di perusahaan.
Pikiran Darius dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Suatu hari ia akan menanyakan semua itu pada sang ibu.
Setelah tak mendapatkan respons dari lelaki di sampingnya, Sheina memilih diam memandangi pemandangan kota yang mereka lewati. Sepanjang perjalanan, gadis itu terus membisu sampai mereka tiba kembali di rumah tengah hutan, yang sengaja Darius bangun untuk menyembunyikan Sheina.
Mobil hitam metalic itu berhenti di depan rumah. Tampak dua penjaga yang tadi hampir menyakiti Sheina, berdiri di sana.
Darius segera turun dan membuka pintu samping. Ia melepaskan borgol yang ia pasang di pegangan pintu mobil, lalu mengunci di tangannya sendiri. Hal ia lakukan agar Sheina tidak bisa kabur. Ia lalu membantu gadis itu turun dari mobil.
Tanpa kata, apalagi memberontak seperti saat pertama kali Darius membawanya, kali ini Sheina menurut begitu saja. Darius menuntun Sheina—yang berjalan pincang karena kakinya terluka—ke dalam rumah. Saat melewati dua penjaga, Sheina merasa takut dan tanpa sadar memegang lengan Darius.
Dari melirik ke tangan Sheina yang menggenggam erat lengannya, lalu menatap tajam dua penjaganya bergantian, hingga kedua lelaki itu tertunduk takut terhadap bosnya.
Darius membawa Sheina ke kamar, tempat ia mengurung gadis itu sebelumnya. Kamar itu kini tampak bersih dan rapi seperti semula. Dia penjaga itu yang membersihkannya selama Darius pergi.
Darius membuka borgol di tangan mereka masing-masing.
“Aku tidak akan mengunci kamar ini. Tapi jangan coba-coba melarikan diri, kalau tidak ingin dua penjaga itu menelanmu hidup-hidup,” ancam Darius, membuat Sheina menelan ludah. Ngeri membayangkan apa yang akan menimpanya jika ia melanggar larangan lelaki di hadapannya itu.
Darius berbalik dan hendak meninggalkan Sheina sendirian di kamar itu, tetapi ucapan Sheina menghentikan langkahnya.
“Apa kamu anak dari pemilik Joy Group?”
Lelaki misterius itu seketika menoleh. Mengapa Sheina bisa menebak hal itu?
Joy Group adalah perusahaan produsen emas milik kakek Darius, yang diteruskan oleh ayahnya. Namun, sejak sang ayah meninggal ketika ia berusia lima tahun, perusahaan itu diambil alih oleh Himawan—pamannya.
Selama ini, Darius hidup dari pembagian saham sang ayah. Ia dan ibunya juga tidak pernah muncul di perusahaan dan hanya diwakili oleh sang paman.
Darius mendekati Sheina, tetapi gadis itu sama sekali tidak terlihat takut padanya, seperti pagi tadi.
“Apa lagi yang kau ketahui tentang Joy Group?” selidik Darius.
“Tidak ada. Aku hanya menebak. Karena hanya Joy Group yang selalu menjadi batu sandungan PT. Dahlia Jewelry,” jawab Sheina jujur.
PT. Dahlia Jewelry adalah perusahaan manufaktur perhiasan yang dirintis dari bawah oleh Siga—ayah Sheina, hingga menjadi salah satu perusahaan manufaktur perhiasan besar di Indonesia.
Gadis itu ternyata pintar juga, pikir Darius. Ia mengetahui isu tentang perusahaan yang dikelola ayahnya, yang bersaing dengan Joy Group. Padahal selama ini ia kuliah di Amerika dan tampak seperti anak manja yang hanya tahu bersenang-senang.
Darius mendekati Sheina dan memegang dagu gadis cantik itu.
“Ternyata kamu lebih menarik dari yang kuduga, Sheina Arsha.”