Rio menaruh jas yang kenakannya lalu menyambar sneli yang menggantung di sudut ruangannya. Dengan wajah yang lelah, pria itu kembali memakai sneli bernametag miliknya. Pria itu menatap pemandangan malam kota Bandung dari dinding kaca di ruangannya dengan segelas moccacino hangat di tangannya. Pikirannya melayang pada perkataan Banyu tadi sore dan terus terngiang di telinganya.
Rio menghela napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan, mencari sebuah ketenangan untuk batinnya yang saat ini terasa tak menentu. Tiba-tiba, suara ketukan pintu di ruangannya terdengar sangat nyaring, hingga membuat Rio seketika menoleh ke belakang.
“Masuk!”
Setelah Rio mempersilahkan masuk, seorang pria muda dengan tubuh tinggi, tegap, dan berotot, masuk ke dalam dengan membawa sebuah amplop coklat di tangannya.
Rio berbalik dan berjalan menghampiri pria tersebut lalu mempersilahkannya duduk di sofa.
“Bagaimana?” tanya Rio.
Pria yang bernama Riky itu membungkuk lalu duduk tepat di hadapan Rio. “Ini seluruh data yang anda minta, Tuan.” Riky menaruh amplop tersebut di atas meja.
Diiringi satu helaan napas yang cukup panjang, Rio mengambil aplop tersebut lalu membukanya dengan perasaan yang sulit di artikan. Rio menarik beberapa lembar berkas dan beberapa foto dari dalam amplop tersebut lalu membacanya dengan saksama. Rio mengerutkan dahinya saat melihat sesuatu yang tertera dalam berkas tersebut, hingga matanya membulat dengan sempurna seraya menatap Riky.
Sebuah hasil diagnosa Kiran berhasil Riky dapatkan dari rumah sakit. tempat di mana pertama kalinya Kiran dinyatakan terkena hematoma oleh dokternya saat itu. Dan di sana tertulis dengan rinci hasil konsultasi wanita itu bersama Taufik. Semua yang Rio pikirkan ternyata salah. Selama ini yang Rio lakukan hanya membenci Kiran dan Banyu dengan alasan dan kecurigaan yang ia buat sendiri hingga terdistract dalam hati dan akhirnya ia percayai. Tetapi, semua yang ia pikirkan ternyata tidak benar.
Rio meremas kertas di genggamannya. Rasa bersalah kini menggelayuti dirinya, Rio merasa menyesal atas segala hal yang dipikirkannya tentang Kiran. Dan bodohnya lagi, Rio mempercayai alasan yang Kiran berikan padanya saat itu.
‘Ki ... maafin aku, Ki. Maaf ...’ lirihnya membatin.
Rio mengambil ponsel dalam saku snelinya, lalu mencoba menghubungi nomor yang tertera dalam berkas pada genggamannya, tak begitu lama panggilan pun terhubung. Rio bisa mendengar suara serak dan berat dari seberang telepon, menerima panggilannya.
"Halo," sapa suara dari seberang telepon.
Rio menghela napasnya lalu berdeham. "Ini gue, Rio."
Pria itu melirik sesaat pada Riky yang kini berdiri dari posisinya dan membungkukkan tubuhnya untuk berpamitan. Setelah pintu kembali tertutup, Rio kembali fokus pada suara dari seberang telepon, dan menunggu jawaban.
Untuk sesaat … yang terdengar hanya suara hembusan napas panjang. Rio berusaha menenangkan dirinya terlebih dahulu, agar perasaan gugupnya tidak merubah nada bicaranya.
"Ada perlu apa?" tanyanya.
"Lo ada waktu malam ini? Ada sesuatu yang harus gue tanyakan sama lo,” jawab Rio.
"Jam sembilan, di Fellow café," jawab sang pemilik suara berat itu lalu menutup teleponnya.
Rio segera menurunkan ponsel dari telinganya dan melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. Pria itu berdiri dan meraih jasnya, bersiap untuk berangkat menemui pria yang dihubungi lalu pergi meninggalkan ruangannya.
***
Rio duduk di meja paling pojok dekat jendela café, dengan secangkir espresso di tangannya. Hujan yang semakin deras membuat cafe agak sedikit lengang malam itu. Rio menatap air hujan yang mengalir tanpa jeda. Tiba-tiba satu kenangan menyakitkan itu kembali hadir diingatannya, saat Kiran begitu saja memutuskan hubungan mereka, dua tahun yang lalu di tengah cuaca seperti sekarang, tanpa menoleh ke belakang. Kiran dengan teganya pergi meninggalkan Rio yang masih tercenung di tempatnya dengan sejuta pertanyaan tanpa jawaban dalam benaknya.
Tring...
Terdengar suara lonceng di pintu masuk cafe berbunyi, menandakan ada seseorang yang baru saja masuk. Rio mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan melihat sosok Banyu sedang berjalan ke arahnya.
Ya ....
Pria yang tadi Rio hubungi adalah Banyu, yang dijadikan wali oleh Kiran sejak dua tahun lalu. Pria itu menarik kursi di hadapan Rio lalu memanggil seorang waiter untuk memesan.
"Satu hot cappucino," pesan Banyu. Waiter pun mencatat pesanannya dan berlalu pergi meninggalkan meja.
"Ada perlu apa?" tanya Banyu tanpa basa-basi.
Rio tak langsung menjawab. Pria itu terdiam cukup lama, dengan tangan yang terus memainkan gelas di genggamannya. Hingga seorang waiter datang menghampiri, membawa sebuah nampan di tangannya lalu menaruh pesanan Banyu di atas meja. Pria berseragam café itu membungkukkan tubuh seraya kembali ke tempatnya.
"Gue mau tanya soal Kiran," ujar Rio sambil menunduk.
Banyu menyesap hot cappucinonya lalu menaruhnya kembali di atas meja. "Kiran?"
Rio mengangguk. "Sejak kapan lo tau soal penyakit Kiran?" tanya Rio yang kini mulai memberanikan diri menatap Banyu.
Banyu menghela napas secara perlahan, lalu melipat kedua lengannya di atas meja.
"Sejak lo mukul gue di resto tempat Kiran kerja. Setelah lo beradu argument dengan Kiran dan lo pergi ninggalin resto, Kiran jatuh pingsan dan di bawa ke rumah sakit terdekat. Dan dari sanalah, gue tau penyakit Kiran," jelas Banyu.
Napas Rio seketika tercekat, matanya membelalak mengingat kembali kejadian saat itu. Rio selalu mempercayai apa yang ada di pikirannya tanpa tahu kebenaran yang sesungguhnya.
"Kiran kena benturan hebat saat berusaha menolong Bella dari kekasihnya, itu yang diceritakan Bella sama gue," lanjut Banyu.
“Bella? Apa jangan-jangan ….”
“Ya! Ketika lo jemput Kiran saat itu,” potong Banyu.
"Kenapa Kiran gak bilang sama gue?" tanya Rio dengan suara rendah.
"Karena dia gak mau harus menambah beban lo, dia gak mau nyusahin lo lagi. Udah cukup besar bantuan financial yang lo kasih sejak masa SMA buat Kiran. Dia gak mau buat lo khawatir. Karena dia tahu apa yang bakal lo lakuin, jika sampai lo tau apa yang Kiran alami."
Rio mengusap wajahnya kasar mendengar serentetan alasan yang Kiran ceritakan pada Banyu. Jika saja dulu Kiran bicara pada Rio, pria itu bisa menjamin kesembuhan Kiran dan menjebloskan orang yang melakukan itu pada Kiran ke penjara.
Cara Kiran yang malah menyakiti hati Rio lah yang sulit Rio terima. Menyakiti kekasihnya sendiri demi menyelamatkan orang lain dari jeratan hukum. Pria itu menghela napas panjang, berusaha menata kembali perasaannya yang hancur.
Tiba-tiba Banyu bangkit dari kursinya dan melangkah mendekat pada Rio. Satu tangannya menepuk pundak Rio dengan hangat untuk memberinya semangat.
"Tugas gue jaga Kiran selama dua tahun ini udah selesai. Sekarang udah saatnya lo yang kembali jaga Kiran. Jangan bersikap terlalu keras, dia punya alasan tersendiri untuk menunda operasinya," ujar Banyu kemudian pergi meninggalkan Rio yang masih termenung di tempatnya, dengan berbagai pikiran dan rasa sesal yang semakin besar.
‘Ki … kenapa pikiran kamu sedangkal itu? Aku bahkan ikhlas membantu kamu, demi kebahagiaan orang yang aku cintai dan aku sayangi selama ini.’ Monolognya dalam hati.
***