Setelah kepergian Kiran, Pria itu kembali disibukkan dengan operasi-operasi besar dan darurat yang harus segera ditangani. Rio termasuk salah satu dokter ahli bedah saraf terbaik di indonesia. Dia tak pernah gagal sekali pun selama berada di meja operasi. Bahkan Rio dijadikan wajah utama dan Brand Ambassador rumah sakitnya sendiri.
Tampan, teliti dan pintar. Tak jarang sosok Rio sering berlalu lalang di majalah-majalah dan berita-berita kesehatan, yang digadang-gadang sebagai Dokter muda dengan segala keterampilan di bidah keahliannya. Tetapi kini, tak ada lagi Rio yang ceria, Rio yang bersahaja, Rio yang penyayang. Yang ada hanya Rio si pria dingin tanpa senyuman, yang tak ingin di dekati wanita mana pun.
Setelah keluar dari ruang operasi, dengan wajah lelah Rio kembali ke ruangannya, diikuti oleh sahabatnya, seorang Fisioterapis muda dan tampan di rumah sakit tersebut.
Pria itu membuka pintu ruangannya, lalu berjalan menuju meja kerjanya. Rio menghela napasnya dengan kesal, saat melihat beberapa hadiah kembali menumpuk di atas mejanya. Pria itu berjalan mengambil sebuah plastik hitam yang sangat besar dari dalam laci nakas, lalu memasukkan satu persatu hadiah-hadiah tersebut ke kantung plastik dalamnya.
“Gue merasa kasihan sama asisten perawat lo, Ri!” celetuk Renaldy.
“Kasihan? Kenapa harus kasihan?” tanya Rio sembari memasukkan satu per satu hadiah di atas mejanya.
“Karena harus ngurusin fans-fans fanatik lo,” sahut Renaldy.
Rio menggelengkan kepala dengan seulas senyum tipis di wajahnya.
"Mau lo apain hadiah banyaknya itu?" tanya Renaldy peasaran.
Rio hanya melirik sesaat lalu menyimpan plastik berisi hadian tersebut ke sudut ruangan. Pria itu pun kembali duduk di atas kursi putar kebesaran miliknya dan kembali terfokus pada layar monitor yang kini sedang menunjukkan hasil CT-Scan milik Kiran.
"Lo bawa aja kalau mau," jawabnya datar.
Renaldy seketika mendengkus sambil menggelengkan kepala.
"Alterio, kenapa lo gak coba nyari pengganti Kiran? Lo bahkan tinggal pilih aja, banyak perempuan yang antri cuma buat jadi kekasih lo," tanya Renaldy penasaran.
Mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut temannya itu membuat Rio seketika terdiam. Matanya masih terus menatap pada layar monitor di hadapannya, dengan jari-jari tangan sebelah kanannya ia mainkan di atas meja hingga terdengar suara ketukan berulang.
Jari-jari tersebut tiba-tiba berhenti, lalu mengatupkan rahangnya dengan sangat erat.
"Karena gue belum bisa mencintai orang lain dengan tulus, seperti gue mencintai Kiran," jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar monitor.
***
Rio, Prima, Renaldy, dan Rega saat ini sedang mengadakan meeting untuk membahas hasil CT-Scan Kiran dalam ruangan meeting yang digelapkan. Keempat dokter ahli tersebut duduk mengitari sebuah meja persegi panjang dan memperhatikan dengan serius gambar pada layar proyeksi di hadapan mereka.
“Saya punya satu pasien, mengalami hematoma epidural dengan hasil CT-Scan sebagai berikut,” ujar Rio memulai meeting tersebut.
Rio yang duduk di kursi utama, mengarahkan sebuah sinar laser berwarna merah dan melingkari gambar pada layar proyeksi.
“Astaga … sudah separah itu, bagaimana dia bisa bertahan?” ujar Rega, memperhatikan gambar di depannya.
Rio menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan matanya sejenak, menahan perasaannya yang semakin tidak menentu, lalu melanjutkan penjelasannya.
“Menurut Dokter Prima, beliau sudah menanganinya selama tiga bulan, dengan memberikan obat pereda sakit dan infus obat manitol untuk mengurangi tekanan darah di otak,” lanjut Rio menjelaskan.
“Kenapa tidak dioperasi sejak awal? Mungkin jika di operasi ketika pertama kali terkena hematoma epidural, keadaannya tak akan separah ini,” tanya Rega.
“Pasien menolak operasi,” sahut Dokter Prima tiba-tiba.
“Tujuan diadakan meeting saat ini, saya berencana untuk menindaklanjuti pasien tersebut dengan mengoperasinya, mengeluarkan darah dari tengkorak kepalanya, dan memperbaiki saraf-saraf yang rusak. Namun, setelah operasi selesai, pasien diwajibkan melakukan fisioterapi total,” terang Rio, lalu menjeda perkataannya. Pria tampan itu menghela napas dalam-dalam, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. “Yang jadi masalahnya … pasien menolak keras untuk operasi. Apa yang harus kita lakukan?” tanya Rio.
Untuk saat semuanya terdiam, memikirkan jalan keluar dalam kasus pasien tersebut dengan tatapan mata yang tak ia lepaskan dari gambar pada layar proyeksi.
“Melalui pendekatan! Kita bisa mencoba hubungi orang-orang terdekat atau yang berada di sekitarnya untuk mencoba membujuk pasien, agar bersedia melakukan operasi dan pengobatan lanjutan,” cetus Rega.
“Dia sebatang kara, bahkan tidak ada satu keluarganya pun di sini,” timpal Prima.
“Tapi mungkin Dokter Rio punya solusinya,” ujar Renaldy sembari menatap penuh arti pada Rio.
Semua ikut beralih menatap pria tampan bersneli itu. Rio yang sadar langsung menghela napas secara perlahan, lalu menunduk pasrah. “Aku akan coba membujuk pasien.”
***
Dari kejauhan, Rio terlihat berjalan dengan tergesa-gesa dan mendatangi bagian resepsionis dan meminta data lengkap Kiran yang tersimpan dalam server pasien rumah sakit. Setelah mendapatkannya, pria itu mencatat dalam secarik kertas dan bergegas pergi menggunakan mobil sport miliknya.
Setelah sekitar empat puluh menit perjalanan untuk mencari alamat yang tertulis dalam kertas tersebut, akhirnya Rio tiba disebuah kost-kosant kecil bertingkat dua, yang memiliki dua belas kamar. Rio memarkirkan kendaraannya tepat di depan bangunan tersebut, lalu keluar dari dalam mobil.
Pria itu menengadahkan kepalanya ke atas, menatap nanar pada kehidupan yang Kiran jalani selama dua tahun terakhir. Rio bahkan tak habis pikir, jika Banyu tega membiarkan kekasihnya tinggal di tempat kumuh dan kecil seperti ini. Rio mulai berjalan menghampiri rumah induk semangnya, yang berada di lantai bawah, ruang paling depan.
“Permisi bu, maaf mau tanya, di sini ada penghuni bernama Kiran?” tanya Rio berhati-hati.
Induk semang bertubuh gempal itu menganggukkan kepala. “Ada, dia tinggal di kamar nomor 07, lantai dua tepat di samping tangga. Anda siapa?”
Rio menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Saya ... kekasihnya,” jawabnya dengan ragu.
“Kekasihnya? Bukannya kekasih wanita sakit-sakitan itu, Banyu?” tanya induk semang kebingungan.
“Banyu?” tanya Rio, meyakinkan pendengarannya.
Wanita paruh baya di hadapannya itu mengangguk dengan yakin.
Terlihat sangat jelas, raut wajah Rio berubah masam ketika ia kembali mendengar nama Banyu. Pria itu bahkan mendengkus sebal dengan mengulas seringai kebencian di wajahnya.
Menyadari perubahan raut wajah pria di hadapannya, induk semang itu menjadi salah tingkah lalu memberi izin pada Rio untuk masuk ke kamar kost Kiran. Dengan rasa kesal yang memuncak, Rio menaiki anak tangga satu per satu, hingga ia tiba di kamar bertulisan 07, lalu mulai mengetuknya beberapa kali. Hanya menunggu beberapa menit, pintu kamar di hadapannya pun terbuka.
Dengan wajah yang pucat dan mata membulat sempurna, Kira berdiri mematung melihat kedatangan Rio. Tangannya tiba-tiba terkepal kuat, kakinya pun tiba-tiba sangat sulit di gerakkan.
Rio yang melihat itu segera mengambil kesempatan dan bergegas masuk ke dalam, sebelum Kiran sadar dari keterkejutannya. Rio sangat yakin, jika Kiran dalam keadaan tersadar, ia tak akan mungkin mengijinkan Rio masuk ke dalam kamar kost-nya.
Kiran yang baru tersadar dari pikirannya seketika memutar tubuhnya dan menatap Rio dengan tajam.
“Mau apa kamu ke sini?” tanya Kiran dengan nada tidak suka.
Rio dengan sengaja tak memperdulikan pertanyaan Kiran dan memilih duduk di atas gelaran karpet bulu berwarna putih.
Dengan berusaha menahan perasaannya, Kiran berjalan mendekat dan duduk di hadapan Rio, dengan tatapan tidak suka.
“Rio!” seru Kiran dengan nada penuh penekanan.
“Aku gak akan banyak basa basi, aku dateng ke sini sebagai Dokter yang menangani kamu. Aku mau membujuk, agar kamu mau melakukan operasi. Semakin dibiarkan, pendarahannya akan semakin parah. Beritahukan juga pada Banyu untuk datang sebagai wali kamu,” ujar Rio dengan perasaan yang masih di selimuti rasa emosi.
“Aku udah bilang gak mau, ya … gak mau! Kamu udah tau jawabannya. Aku gak mau!” jawab Kiran penuh penekanan.
“Tapi Ki, pendarahannya akan semakin parah jika kamu terus membiarkannya seperti ini!”
“Aku gak butuh ceramah dari kamu, Rio. Aku minta, sekarang kamu keluar! Keluar!” teriak Kiran dengan napas memburu.
Melihat Kiran yang seperti itu, membuat Rio seketika membelalak. Kiran yang dulu dia kenal tidak pernah sekali pun berteriak padanya, bahkan untuk berbicara berbicara saja, Kiran selalu berbicara dengan nada rendah. Jiwa pemarah Kiran sudah kembali. Kembali karena keadaan yang memaksa untuk menghadirkannya.
“Aku melakukan semua ini karena kamu pasien aku, dan kamu adalah tanggung jawabku sekarang!” tekan Rio.
Kiran memilih terdiam, lalu memutar tubuh dan membelakangi Rio. Gadis itu berusaha menekah rasa sedihnya, agar ia tidak nampak lemah di depan Rio.
Sedangkan Rio memutuskan untuk mengalah. Dia tahu … jika membuat emosi Kiran semakin naik, bisa menambah tertekannya saraf dan otak secara bersamaan. Rio akhirnya berdiri dan keluar dari kamar Kiran, tanpa mengatakan pamit ataupun kembali berbalik untuk menatap mantan kekasihnya itu.
Setelah Rio benar-benar berada di luar, Kiran dengan cepat berjalan menghampiri pintu kamarnya untuk menutup dan menguncinya.
“Ki … aku seorang dokter ahli bedah terbaik di Indonesia, hanya aku yang akan menyembuhkan kamu,” celetuk Rio berusaha membujuk Kiran sekali lagi.
Tak ada jawaban apapun dari dalam. Rio kembali mengetuk pintu di hadapannya itu berulang kali, tetapi Kiran masih tetap bergeming, tak menghiraukan perkataannya.
Akhirnya Rio menyerah, pria itu menunduk lesu dan mulai melangkahkan kaki, menjauh dari pintu kamar kost mantan kekasihnya itu.
Namun langkahnya tiba-tiba berhenti, ketika tatapannya jatuh pada sosok pria yang paling dibencinya hingga saat ini. Pria itu nampak berjalan menaiki anak tangga satu per satu, membawa sekantung penuh makanan untuk Kiran dengan mata yang terfokus pada lantai setiap anak tangga.
Dan tepat saat pria bertubuh kekar itu mendongak, langkahnya pun berhenti, menatap Rio dengan tatapan terkejut, sedangkan Rio menatap benci pada Banyu saat ia tiba-tiba teringat kembali kejadian dua tahun yang lalu.
Banyu menarik napas dalam-dalam lalu kembali melanjutkan langkahnya, menaiki anak tangga tersebut menuju kamar Kiran, tanpa memperdulikan tatapan tajam yang Rio berikan padanya.
“Whoa ... kalian memang luar biasa,” gerutu pria berkemeja biru itu, saat Banyu berdiri di sampingnya.
Banyu seketika menghentikan langkahnya dan menoleh menatap Rio. “Apa maksud lo?” tanya Banyu.
Bukannya menjawab, Rio hanya berdengkus mencemooh pada Banyu dan kembali melanjutkan langkahnya menuruni tangga, meninggalkan Banyu yang menatapnya dengan rahang mengatup.
Kesabaran Banyu benar-benar sudah tiba pada batasnya. Pria itu berbalik dan berjalan dengan cepat menuruni tangga untuk menghampiri Rio. Banyu menarik pundak Rio lalu mendorong dan menghimpitnya pada dinding.
“Apa-apaan lo?” bentak Rio.
“Kemana aja lo selama ini, hah?” tanya Banyu dengan suara tak kalah tinggi.
“Apa yang mau lo omongin? Gak usah basa-basi!” tantang Rio
“Selama ini Kiran gak pernah merasa bahagia, dia rela nahan rasa sakitnya dan nyembunyiin penyakitnya demi lo, dan lo malah berpikir yang bukan-bukan tentang Kiran,” ujar Banyu yang semakin merasa kasihan pada Kiran.
Rio mengerutkan keningnya mendengar apa yang Banyu katakan. “Apa maksud lo?” tanya Rio.
“Alasan Kiran mutusin lo karena penyakitnya, Rio! Lo harus tahu itu,” tekan Banyu lalu melepaskan himpitan lengannya dan kembali berjalan menaiki tangga.
Sedangkan Rio, masih termangu di tempatnya. Ia berusaha mencerna kata demi kata dan fakta yang baru saja di dengarnya. Rio tau Kiran terkena hematoma sejak dua tahun yang lalu, tetapi pria itu tak tahu jika sebelum hubungan mereka berakhir, ternyata Kiran sudah menyembunyikan rasa sakitnya itu.
Rio menoleh menatap punggung Banyu yang baru saja berbelok menuju kamar Kiran. Ia masih termenung dan bergelut dengan berbagai spekulasi dari dalam pikirannya dan mulai berjalan menuruni tangga dengan langkah gontai.
Hingga tanpa ia sadari, pria itu tiba pelataran parkir, lalu masuk ke dalam mobilnya. Rio duduk berdiam sejenak, seraya memejamkan mata untuk menetralisir perasaannya yang tak karuan.
Pria itu mengambil ponsel yang di taruh di atas dashboard lalu mencoba menghubungi seseorang.
Cukup lama Rio menunggu, hingga akhirnya panggilan tersebut terhubung.
“Om, ini Rio,” sapanya tanpa basa basi.
“Ya, Rio. Ada yang bisa Om bantu?” tanya Prima di seberang telepon.
“Ini soal Kiran ....” Rio menjeda perkataanya sesaat. “… Pernahkah Kiran memberitahu Om, sejak kapan dia mendapatkan hematomanya?” tanya Rio hati-hati.
“Seingat Om, tidak. Kiran hanya memberitahukan, jika hematomanya sudah terjadi sejak dua tahun lalu,” sahut Prima.
Rio menghela napasnya dalam-dalam. “Baiklah, Om. Maaf Rio udah ganggu waktunya.” Pria itu menurunkan ponselnya dan menekan tombol merah untuk memutuskan panggilannya.
Ia pun mencoba menghubungi seseorang lagi, sebelum dirinya benar-benar mendapat jawaban yang pasti dari rasa penasarannya.
“Riky, tolong cari tahu … apa yang terjadi sama Kiran, dua tahun yang lalu!!” titahnya tanpa basa basi lalu menutup teleponnya.
***