Flashback sebelum Kiran jatuh pingsan.
"Sudah berapa lama kamu mengkonsumsi obat ini?" tanya Prima dengan serius. Pria paruh baya bersneli itu menunjuk obat yang berada di atas mejanya, yang baru ia temukan tanpa sengaja saat tas yang di bawa Kiran terjatuh.
Kiran menundukkan kepala dan memilih diam. Wanita itu hanya bisa menghela napas secara perlahan, dan mau tidak mau harus mengatakan yang sebenarnya pada dokter yang kini sedang menatapnya.
"Kamu berobat dengan saya sudah tiga bulan dan saya tidak pernah memberikan resep obat ini," lanjut Prima.
Kiran yang semakin merasa bersalah seketika memejamkan matanya sesaat lalu mulai memberanikan diri mengatakan yang sebenarnya.
"Sejak dua tahun yang lalu dok," lirihnya.
Dan saat mendengar jawaban Kiran, Prima menghela napasnya kasar. "Dan kamu baru mengatakannya sekarang?"
Kiran kembali terdiam.
"Kiran! Sudah dua tahun kamu mengkonsumsi obat ini, lambat laun tubuhmu akan kebal dan obat pereda sakit ini tidak bisa menahan sakit di kepalamu lagi," Ujar Prima.
"Aku tau dok," jawab Kiran lirih.
"Kamu tahu, tapi kamu masih meminumnya? Apa alasan kamu menolak untuk operasi? Ini gak bisa dibiarkan. Hematoma kamu termasuk golongan yang tidak bisa pulih dengan sendirinya. Kamu hanya beruntung, masih diberi kesempatan hidup hingga detik ini dengan penyakit yang kamu derita," tekan Prima.
Tanpa terasa, beberapa tetes air mata terjatuh di atas tangannya yang saling bertaut, perkataan Prima memang benar. Kiran hanya salah satu orang beruntung yang bisa bertahan selama ini hanya dengan bantuan obat penahan sakit yang dikonsumsinya.
Kiran menatap Prima dengan sendu. "Aku hanya belum siap, dok."
“Dan kamu akan tetap memilih untuk bertahan dengan rasa sakit itu?” tanya Prima lagi.
Wanita itu menghapus air mata di atas wajahnya lalu menganggukkan kepalanya. “Ya. Aku akan bertahan, dok.”
Akhirnya, Prima pun menyerah dan kembali meresepkan obat yang sama pada Kiran dengan dosis yang lebih tinggi, ia pun meminta pada Kiran untuk berhenti mengkonsumsi obat pereda rasa sakit yang sangat keras itu. Kiran menyetujuinya lalu berpamitan dan bergegas keluar dari ruang konsultasi di rumah sakit Emerald tersebut.
***
Sepulangnya dari rumah sakit, Kiran bergegas ke restaurant tempatnya bekerja. Hari ini, restoran cukup sepi, tak terlalu banyak pengunjung yang datang, hal tersebut membuat seulas senyum di wajah wanita itu terlihat. Kiran menaruh tas dan obat-obatannya ke dalam loker, lalu mengganti pakaiannya dengan seragam khusus berwarna navy dan sebuah apron yang ia lingkarkan pada pinggangnya.
Tiba-tiba rasa sakit itu kembali hadir. Dan benar saja apa yang dikatakan dokter Prima, rasa sakit di kepalanya semakin lama semakin tak tertahankan. Bulir keringat dingin mulai keluar dari setiap pori-porinya hingga menetes di sisi wajahnya. Kiran mempererat pegangannya pada meja kasir dengan mata terpejam sangat rapat, berusaha menahan rasa yang sangat menusuk di kepalanya, tetapi perlahan kesadaran wanita itu mulai turun, hingga akhirnya jatuh pingsan.
Delon, Bena, dan para pegawai yang ada di sana berlarian menghampiri Kiran. Salah seorang pengunjung yang sedang makan pun mencoba membantu menghubungi nomer darurat dan meminta ambulan untuk segera dikirimkan ke alamat restaurant yang sudah disebutkan.
"Kiran! Sadar Ki! Kiran!" ujar Delon panik.
Hanya berselang beberapa menit dari panggilan darurat dimatikan, sebuah ambulan yang dikirim dari rumah sakit terdekat sudah tiba disana. Dua orang petugas segera keluar dari bagian pintu belakang dan berlari masuk dengan membawa sebuah brankar. Dibantu Delon dan Bena, tubuh Kiran diangkat dan ditidurkan di atasnya. Petugas penyelamatan pun segera mendorong brankar tersebut dan memasukkannya ke dalam ambulan.
Ambulan pun mulai melaju dan meninggalkan pelataran parkir restaurant tersebut, membawanya ke rumah sakit terdekat. Salah seorang petugas yang menjaga pasien mulai memasangkan masker oksigen pada Kiran dan mengecek beberapa tanda vital yang nampaknya mulai menurun.
Hanya butuh waktu sepuluh menit saja hingga akhirnya mereka tiba di rumah sakit tujuan. Seorang petugas membukakan pintu belakang ambulan untuk membantu petugas lainnya untuk menurunkan brankar tersebut.
Beberapa perawat terlihat sudah menunggu di depan pintu IGD, disusul satu dokter jaga dan satu dokter spesialis dibelakangnya.
"Bagaimana tanda vitalnya?" tanya Rio yang baru saja keluar dari dalam gedung tersebut.
Namun tiba-tiba langkahnya berhenti ketika tatapannya terjatuh pada sosok wanita yang kini sedang terbaring tak sadarkan diri di atas brankar, matanya membulat sempurna dengan mulut yang terasa kaku dan sulit untuk berbicara.
"Kiran ...." Lirih Rio tak mempercayai apa yang saat ini sedang dilihatnya.
***
Mata Rio masih terpaku pada brankar Kiran yang sedang didorong masuk ke ruang tindakan oleh para petugas.
Rama yang menyadari Rio masih terpaku di tempatnya seketika menoleh pada pria itu. "Dok! Dokter Rio!" panggil Rama.
Setelah Rio tersadar dari lamunannya, dengan tatapan yang nampak kosong, pria bersneli itu menatap punggung Rama dan segera berlari masuk ke dalam IGD menyusul dokter jaga dan petugas yang lainnya.
Rio menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Ia berusaha mengatur perasaannya terlebih dahulu dan mulai memeriksa kondisi Kiran.
Terbesit kembali rasa sakit dan kecewa, saat ia melihat wajah wanita yang selama ini tak pernah ia lupakan dan selalu dirindukannya. Tetapi, bagaimana pun, Rio harus mengesampingkan egonya dan bersikap layaknya seorang dokter pada pasiennya.
"Apa sudah melakukan CT-Scan?" Tanya Rio.
"Belum, Dok. Kami baru saja mendapatkan hasil diagnosa dari Dokter Prima di rumah sakit Emerald," jawab Rama.
"Dokter Prima?" tanya Rio meyakinkan pendengarannya.
Rama mengangguk. "Ya, beliau saat ini sedang dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Kalandra," sahutnya.
"Pasangkan infus terlebih dahulu, sambil menunggu Dokter Prima tiba di sini, lalu lakukan CT-Scan," titah Rio lalu pergi menuju ruangannya.
Setibanya Rio di ruang kerja, pria itu mendudukan tubuhnya di atas kursi putar kebesaran miliknya, lalu mengusap wajah dengan kasar. Rio berusaha setenang mungkin, menetralisir perasaan kesal, kecewa, sedih, sakit hati yang saat ini sedang bergelut dalam batinnya ketika ia harus kembali dipertemukan dengan wanita yang sangat ia cintai.
Suara ketukan pintu tiba-tiba membuyarkan pikiran Rio.
"Masuk!" ujar Rio.
Tepat saat pintu terbuka, Rio melihat Prima dan salah satu perawat yang mengantar kini berjalan masuk ke dalam ruangannya.
"Om ... gimana kabarnya?" tanya Rio seraya bangkit dari posisinya dan berjalan menghampiri Prima.
Pria paruh baya itu tersenyum menyambut sapaan dari keponakannya itu. Ya … Prima adalah adik dari Ayahnya Rio, yang menjadi seorang Dokter ahli bedah saraf di rumah sakit Emerald. Prima menyambut uluran tangan Rio lalu menepuk pundak pria tersebut.
"Baik. Bagaimana kabarmu, Rio?" tanya Prima.
"Kabar Rio baik, Om. Silahkan duduk!"
Setelah keduanya duduk di atas sofa, Rio menekan tombol merah di samping meja kecil, hingga tak begitu lama seorang sekretaris masuk ke dalam ruangan tersebut.
"Buatkan teh hangat!" Titah Rio.
Sekretaris itu pun mengangguk dan kembali keluar dari ruangan Rio.
Setelah yakin hanya tinggal mereka berdua saja, tiba-tiba Prima menyodorkan sebuah amplop coklat dan menaruhnya di atas meja. Rio pun menoleh pada Prima, mengambil amplop tersebut lalu mulai membukanya.
"Apa ini?" tanya Rio.
"Hasil CT-Scan pasienmu yang baru saja masuk hari ini," jawab Prima.
Rio menarik secarik kertas dari dalam amplop tersebut, lalu mengeluarkannya. Seketika dahi pria itu berkerut diiringi helaan napas yang sangat berat saat melihat hasil dari CT-Scan di tangannya. Rio memejamkan matanya sesaat, lalu menguatkan diri mendengar diagnosa yang akan dijelaskan oleh pamannya.
"Sudah dua tahun, Kiran menderita Hematoma Epidural, dan kini sudah semakin parah. Om sudah menyarankannya operasi sejak pertama kali dia datang ke rumah sakit tiga bulan yang lalu. Tetapi Kiran selalu menolak sampai sekarang. Ia bahkan tidak memberi tahu alasannya apa? Yang Om tahu, dia sudah menyerah untuk hidup. Gejalanya sudah sampai tahap serius, Kiran mulai sering kehilangan kesadarannya, gerak refleksnya pun perlahan sudah berkurang. Ini gambar hasil CT-Scan terakhir," lanjut Prima sembari menunjuk pada hasil CT-Scan.
Rio mulai mengamati foto CT-Scan yang sedang dipegangnya lalu menelaah setiap celah dan kerusakan yang terjadi pada kepala Kiran.
Bip.
Suara notifikasi dari komputer Rio tiba-tiba terdengar. Rio melirik pada Prima sesaat lalu bangkit dari atas sofa dan berjalan menuju meja kerjanya, untuk membuka sebuah pesan yang baru saja masuk.
Prima yang menyadari perubahan raut wajah Rio saat membaca sesuatu pada layar komputernya segera menghampiri meja Rio.
“Apa hasil CT-Scan terbaru sudah keluar?” tanya Prima.
Rio perlahan duduk di atas kursi putarnya dan menatap serius pada hasil yang saat ini sedang terpampang pada layar komputernya.
Prima pun berdiri di samping Rio, dan ikut melihat hasil tersebut.
"Bagaimana bisa dia bertahan dengan hematoma separah ini?" gumam Prima.
Rio kembali mengusap wajahnya kasar, menarik napas dalam-dalam lalu menatap pamannya tersebut.
"Kiran harus segera menjalankan Kraniotomi dan mengeluarkan darah di antara tengkorak kepala dan lapisan selaput pelindung otak. Jika tidak, darah akan terus menekan otak," ujar Rio.
Kraniotomi adalah tindakan operasi pembedahan, di mana flap tulang diangkat sementara dari tengkorak untuk mengakses otak. Kraniotomi sering kali menjadi operasi penting dan dilakukan pada beberapa pasien yang menderita lesi otak atau cedera otak traumatis.
"Tapi sebelum melakukan itu, sebaiknya kita lakukan sebuah pemeriksaan menyeluruh, dimulai dari pemeriksaan neurologis (saraf), CT scan atau MRI untuk meninjau tengkorak kepala dan jaringan-jaringan halus yang ada di kepala Kiran, serta Electroencephalogram (EEG) untuk mengukur aktivitas listrik yang dilakukan otak." Saran Prima. Pria paruh baya itu tiba-tiba terdiam lalu menghela napas dalam-dalam. "Tapi yang jadi masalahnya, Kiran tidak mau melakukan serangkaian test tersebut. Dia menolak segala bentuk pengobatan," lanjut Prima.
"Biar Rio yang bicara sama Kiran. Rio yang akan bertanggung jawab," ujar Rio dengan yakin.
Prima menoleh pada Rio, dan memperhatikan raut wajah keponakannya tersebut. "Sepertinya … kamu sangat mengenal pasienmu ini, Rio," ujar Prima menyelidik.
Rio melirik sesaat lalu mendengkus seraya melipat kedua tangannya di atas d**a. "Dia mantan kekasih Rio, Om."
"Apa wanita ini yang selalu diceritakan ibumu?" tanya Prima terkejut.
Rio mengangguk. "Dan dia yang udah menghancurkan hidup Rio," jawabnya.
***
Pelahan-lahan mata Kiran mulai terbuka. Wanita itu berusaha memfokuskan pandangannya yang sedikit kabur lalu menarik napasnya lagi saat ia mencium bau etanol yang menyengat. Kiran menaruh salah satu lengannya di atas dahi untuk menutup setengah matanya.
Kiran tak bisa memungkiri jika dirinya sangat merasa lelah dengan apa yang selalu di alaminya akhir-akhir ini. Semakin lama, dirinya semakin sering kehilangan kesadaran dan saat terbangun ia sudah berada di rumah sakit.
Kiran tak menyadari, jika Rio kini berjalan mendekat dan duduk di atas kursi yang tersedia di samping brankar. Rio menurunkan tangan Kiran yang menutupi setengah wajahnya, lalu menatapnya.
Iris mata mereka saling bertemu kembali, setelah sekian lama mereka berpisah, menatap dengan tatapan teduh yang saling mereka rindukan satu sama lain. Tanpa terasa, air mata begitu saja menetes dari kedua sudut matanya Kiran, dan didetik berikutnya Kiran memalingkan wajahnya ke sisi lain.
Perasaan yang sudah sejak lama Kiran kubur, tiba-tiba kembali menyeruak ketika ia harus kembali dipertemukan dengan pria yang paling dicintainya.
"Ki!" panggil Rio.
Kiran masih tetap pada pendiriannya dan memilih untuk tidak menatap Rio.
"Ki, jelasin semuanya sama aku!" Pinta Rio dengan tegas.
Kiran yang berusaha tak peduli segera bangun dari tidurnya, lalu melepas infusannya yang terpasang pada intravenanya dengan sekuat tenaga, lalu turun dari atas brankar.
Wanita itu mengambil jaket yang tersampir di sandaran kursi, lalu memakai sepatunya dan segera pergi dari rumah sakit, tempat di mana Rio berada.
Melihat sikap Kiran membuat Rio kembali menundukkan kepala. Ia membuang napasnya dengan kasar lalu beranjak dari kursinya untuk mengejar Kiran yang nampak berjalan sempoyongan. Diraihnya tangan wanita itu dengan kasar, hingga Kiran menghentikan langkahnya lalu memutar tubuhnya.
"Aku mau pulang! Jangan pernah ganggu aku Rio, aku mohon," pinta Kiran melirih.
"Kamu belum aku izinkan untuk pulang, Kiran! Aku di sini sebagai Dokter kamu, bukan mantan kekasihmu!" tekan Rio, berusaha menutupi perasaan yang sebenarnya.
Kiran seketika menyeringai lalu memberanikan diri mendongakkan kepalanya untuk memandang pria bersneli itu.
"Aku baik-baik aja, Rio! Aku bisa jaga diri." Jawab Kiran dengan penuh penekanan.
Melihat tatapan sendu wanita itu membuat Rio tidak tahan dan akhirnya menyerah. Ia lepas genggamannya dan membiarkan Kiran untuk pergi. Pria itu hanya bisa menatap punggung Kiran yang semakin lama semakin menjauh.
“Kamu bukan Kiran yang aku kenal,” gumamnya melirih.
***
Saat tiba di kamar sewaannya, Kiran segera menutup pintu dan duduk bersandar di bawahnya. Ia tekuk kedua kaki untuk dipeluknya, lalu membenamkan wajah di atas lututnya. Hingga tak begitu lama, perasaan yang sejak tadi ia tahan akhirnya lepas, tangisnya pun tak dapat dibendung lagi. Pria yang sangat dia rindukan kini kembali menyapa kehidupan Kiran. Seiring berjalannya waktu, mereka kembali dipertemukan dan hal itu membuat Kiran semakin sulit untuk menerima semuanya. Tetapi, ia tak bisa menolak, karena ini ternyata sudah menjadi jalan takdir yang harus mereka hadapi.
Kiran mulai menyadari, jika apa yang ia inginkan tak bisa berjalan sesuai rencananya. Bagaimana pun dia mengubah keadaan, takdir kembali membawa perasaan itu pada tempat semestinya. Sejauh apapun Kiran pergi untuk bersembunyi, jika tulisan takdir sudah ditentukan semuanya akan kembali pada tempatnya.
***