Bab 15. Maaf, Pak

1016 Kata
Alana tetap bekerja seperti biasa di ruang kerjanya bersama Difa, meskipun perasaannya masih jengkel dengan kejadian yang dia alami kemarin. Dia jatuh pingsan di depan pemilik perusahaan, tapi pria itu tidak bergeming sama sekali, dan malah memanggil orang lain menyentuh tubuhnya. Bahkan, saat dirinya memanggil Papa, orang itu tidak mengacuhkannya. Alana menyadari usahanya memang tidak berhasil, tapi dia masih memiliki harapan, dia akan bertemu Damian suatu saat, dan menjelaskan siapa dirinya yang sebenarnya. Satu hal yang tidak Alana sadari sejak memasuki kantor di awal pagi, ada banyak pasang mata yang memperhatikan dirinya lalu berbisik-bisik membicarakan tentang dirinya. “Mana dokumen yang saya suruh cetak?” Putri datang ke kantor Alana, langsung menagih tugas Alana. Alana lalu menyerahkan lembaran-lembaran dokumen yang diinginkan Putri. “Terima kasih,” ucap Putri, lalu pergi ke luar ruangan. Alana menghela napas panjang, lalu berdecak kecil, menyadari bahwa Damian yang mungkin terganggu akibat kejadian kemarin, sehingga dia tidak diperkenankan masuk ke dalam kantor Damian untuk mengantar dokumen yang dia kerjakan hari ini. Muncul perasaan khawatir dari dalam dirinya, bahwa pihak perusahaan yang mungkin saja akan mengeluarkannya dari kegiatan magang. Tapi, cepat-cepat Alana menepis pikiran buruk itu. Difa tampak memperhatikan gelagat Alana, “Orang-orang membicarakanmu,” ujarnya. “Ha?” delik Alana. “Iya. Tentang kamu yang kemarin pingsan dan pulang lebih cepat. Aku dengar mereka bilang kamu memanggil Pak Damian papa.” Alana menghela napas lagi, kali ini raut wajahnya berubah murung. Dia lalu duduk di kursi tepat di samping meja kerja Difa. “Dia memang papaku.” Difa terkejut mendengar pengakuan Alana. Cepat-cepat dia menyimpan data yang sedang dia kerjakan di layar komputer, lalu beralih ke Alana. “Aku lahir dan tumbuh tanpa kasih sayang seorang papa. Mamaku selalu bilang bahwa aku nggak perlu bertanya soal itu karena tidak penting. Tapi seiring waktu, aku merasa itu sangat penting aku ketahui, apalagi seandainya ada yang akan berniat menikahiku, lalu dia tidak tahu papaku siapa?” Melihat kemurungan Alana, membuat Difa iba. Dia mendekati Alana, dan mengusap-usap bahunya. “Akhirnya setelah aku desak, mamaku mengakui juga, dan bilang bahwa Damian Rubiantara adalah papa kandungku. Itulah mengapa aku memilih magang di sini, aku ingin bertemu dengan papaku, Difa.” Entah kenapa Difa sulit mempercayai ini, tapi dia tidak menampakkannya di depan Alana. Dia pikir pengakuan Alana mengada-ada. Tapi setelah dia melihat wajah Alana dari dekat, dia merasa ada persamaan Alana dengan Damian, mereka sama-sama berdarah campuran. Namun, tetap saja kemudian Difa berpikir sistematis, pengakuan Alana tidak bisa diterima begitu saja, harus ada bukti-bukti. Difa lalu kembali ke dugaan awal, Alana belum tentu darah daging Damian. “Aku mengerti, Alana. Tapi tindakan kemarin itu bagiku terlalu cepat kamu mengatakannya. Kalo aku jadi kamu, aku akan mencari waktu tepat untuk membicarakannya, agar tidak menjadi isu yang mungkin saja menjadi bumerang—“ “Aku sudah mencari waktu dan tidak ada kesempatan buatku.” Alana berubah sewot. “Alana, aku hanya berandai saja, tapi pada kenyataannya ini sudah terjadi dan kamu harus tanggung risikonya.” Alana melirik sinis Difa. Orang ini sok pintar, batinnya. “Risiko apa? Kamu nggak percaya?” “Ya, harus dibuktikan dulu, Alana. Pak Damian bukan orang sembarangan.” Alana masih sinis dengan Difa. “Kamu iri, ‘kan? Bilang saja iri. Aku nggak suka liat wajahmu ketika menceritakan tentang kedekatanmu dengan keluarga Rubiantara. Sok merasa dekat dan menjadi bagian keluarga itu!” Difa adalah gadis yang tenang dan memiliki logika tinggi. Dia sama sekali tidak bergeming ketika mendengar tuduhan Alana yang tidak beralasan. Dia menjauhkan dirinya dari Alana, lalu lanjut mengerjakan tugasnya. “Lihat saja nanti. Kalo aku benar-benar anak Damian, kamu adalah orang yang pertama kali aku singkirkan dari perusahaan ini, lalu aku bisa membuat karirmu hancur di masa depan, kamu tidak diterima di perusahaan manapun di dunia ini,” ancam Alana kesal. Difa menertawakan kata-kata Alana. “Belum jadi anak Damian saja kamu sudah berkata begitu. Biasanya, kalo kita mengharapkan sesuatu dan yakin sekali mendapatkannya, harapan itu tidak akan terwujud,” balasnya. “Awas kamu.” “Aku tidak takut, toh kamu masih manusia biasa. Kamu ancam aku mati sekalipun, aku juga tidak takut. Orang seperti kamu tidak akan masuk ke dalam bagian keluarga Rubiantara. Mereka orang-orang sempurna dengan segala kebaikan. Sekalipun kamu memang darah dagingnya!” Kata-kata Difa membuat Alana jengkel, ada rasa ingin menjambak kerudung gadis itu dan menyeretnya ke luar dari kantor ini. Alana mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat sambil menatap Difa dengan amarah yang memuncak. Hampir saja dia hendak melakukan sesuatu, pintu kantor dibuka, ternyata Putri yang membuka pintu. “Ada apa, Bu?” tanya Alana, dia refleks mengubah ekspresi wajahnya. “Alana. Kamu dipanggil Pak Damian ke ruang kerjanya sekarang.” Alana mendadak sumringah, dia beralih ke Difa yang kembali sibuk dengan pekerjaannya. “Aku nggak sungguh-sungguh tadi,” ujar Alana dengan sikap manisnya. *** Alana terkejut saat membuka pintu kantor Damian dan melihat bagian dalamnya. Ternyata hanya Damian seorang diri, sedang duduk dengan tatapan serius ke layar komputer besarnya. Alana dengan cepat menduga, bahwa Damian pasti akan menyinggung kejadian kemarin. Ini di luar dugaannya, ternyata usahanya tidak sia-sia. Tanpa menunggu lama, Damian sendiri yang memanggilnya. “Masuk.” Suara Damian terdengar berat dan rendah, membuat Alana sedikit gentar. Tapi melihat penampakan gagah Damian, semangat Alana muncul kembali. Entah kenapa pikirannya berubah lagi, berharap pria ini adalah benar papanya, sehingga dia bisa setiap hari berdekatan, bisa memeluk dan menciumnya, sampai dia bisa menuntaskan hasrat birahinya. Alana duduk dengan sopan di depan Damian, dan mulai menunjukkan wajah sendunya, sehingga terlihat sisi cantiknya. “Alana Tunggadewi.” Suara Damian yang menyebut nama lengkap Alana menggetarkan hati Alana. “Iya, Pak.” “Apa yang menyebabkan kamu panggil saya papa kemarin.” Pria yang di depan Alana sungguh sempurna bagi seorang Alana. Dia tidak saja gagah dan rupawan, tapi juga romantis, terdengar dari suara bassnya yang rendah. Alana sekilas mengingat wajah istri orang ini lewat foto yang tersebar di internet. Ada perasaan cemburu yang muncul dari dalam dirinya, bahwa wanita yang bernama Nirmala Ciptasari adalah wanita yang paling beruntung di dunia ini. Alana dengan cepat mengubah ekspresi di wajahnya, dengan menunjukkan perasaan bersalahnya. “Maaf, Pak…” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN