Bab 16. Pengakuan Alana

1083 Kata
“Maaf, Pak Damian. Maaf….” Alana pura-pura gugup, padahal dalam hatinya dia bersorak gembira. Akhirnya dia berkesempatan menjelaskan siapa dia sebenarnya, dan bisa sedekat ini dengan pria yang disukainya. Tidak masalah pada akhirnya dia bukan anak Damian, setidaknya dia bisa membuat pria ini kelimpungan dan memiliki kesempatan besar menggodanya. “Saya dilahirkan tanpa papa, dan kasih sayang papa.” Alana pura-pura ketakutan. Damian menghela napas panjang, dia berdiri dari duduknya, mendekati Alana dan mengusap-usap bahunya, berkata dengan sikap ramahnya, “Tenangkan dirimu. Saya akan mendengarkan,” ujarnya lembut. Sikap Damian membuat Alana mabuk kepayang, tapi dia tetap berusaha untuk tetap bersikap normal. Alana terlihat menelan ludahnya, seolah mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan kisah hidupnya. “Saya melihat akta lahir saya tanpa nama seorang papa, hanya nama mama dan nama saya yang tertera di sana. Saya sedih … orang-orang menyebut saya anak haram, anak luar nikah, saya malu sekali. Sampai sekarang, saya nggak tahu harus berbuat apa. Saya merasa tidak ada laki-laki yang mau menikah dengan saya karena papa saya yang tidak jelas.” Alana menundukkan kepalanya, senang sekali dia bisa berdekatan dengan Damian. Aroma parfum mahal Damian dia hirup kuat-kuat di tengah dirinya yang menarik napas, berpura-pura mengumpulkan kembali keberanian di tengah perasaan sedihnya. Damian tentu iba mendengar cerita Alana, dia jadi mengingat kembali peristiwa beberapa tahun lalu ketika dia mengetahui bahwa Nevan adalah anak kandungnya, sempat melihat akta lahir Nevan tanpa nama seorang ayah. Seandainya Nevan setua Alana dan tidak mengetahui papanya, tentu dia akan bersikap seperti Alana. Menyedihkan, pasti dilanda kebingungan seumur hidup. Entah kenapa, Damian berubah melankolis sekarang, melihat seorang gadis yang runtuh di depannya. “Yang saya sesalkan, entah berapa kali saya bertanya kepada mama saya siapa papa kandung saya yang sebenarnya, mama saya selalu menyembunyikannya dari saya, dan marah-marah. Tapi pada akhirnya dia mengatakannya juga … dia bilang … dia bilang—“ “Bilang apa, Alana?” Sikap Alana membuat rasa penasaran Damian mencuat. Dia merangkul bahu Alana, ingin Alana mengungkapkannya. “Dia bilang … Bapak adalah papa kandung saya.” Alana memelankan suaranya. Jantung Damian berdetak kencang satu kali, lalu dadanya terasa sangat sesak. Dia menatap tajam wajah Alana. “Apa katamu?” tanyanya, tapi tetap berusaha tenang. “I … iya, Bapak adalah papa kandung saya. Mama saya bilang begitu,” ujar Alana. Kali ini dia benar-benar ketakutan, namun rasa kagum tidak bisa dia usir ketika melihat wajah Damian yang berubah garang. Damian terhenyak, selama puluhan tahun tidak ada yang berani mengaku anaknya, tidak ada juga wanita-wanita yang pernah dia gauli mendatanginya lalu mengaku dihamilinya. Bahkan Nirmala yang kini menjadi istrinya, justru sempat menolak. Damian menarik-narik dasinya, seketika dia merasa hangat di sekujur tubuhnya. Pikirannya mendadak ricuh, menduga ada yang bermain di belakangnya, melalui gadis ini. Apalagi sekarang perusahaannya sedang naik daun dan mengalami profit tinggi, dia menduga ada yang ingin menjatuhkannya. “Berapa usia kamu sekarang?” tanya Damian sambil menatap sekujur tubuh Alana, membuat Alana bergidik takut bercampur bahagia. Tidak masalah aku mati di tangan pria gagah ini, aku bisa mati bahagia, batinnya. “Dua puluh satu.” Melihat Alana ketakutan, entah pura-pura atau tidak, Damian berusaha menenangkan emosinya, agar gadis ini tidak takut mengungkapkan informasi. “Dua puluh satu.” Damian mengikuti kata-kata Alana, lalu melanjutkan interogasinya, “Apa nama mamamu?” “Tsa … Tsamara, Pak Damian.” Alana akhirnya pasrah, seandainya Damian tidak menerima dirinya, atau mengusirnya. Paling tidak, satu keinginannya terpenuhi, dia bisa bertemu Damian dan berbicara empat mata, lalu mengungkapkan jati dirinya. “Tsamara….” Damian bergumam, merasa tidak asing dengan nama itu. Damian lalu menjauhi Alana, duduk di atas sofa, menenangkan diri. “Maaf, Pak.” “Apa yang dia ceritakan kepadamu?” “Tidak ada. Hanya bilang begitu … karena saya memang telah memaksanya untuk menjawab pertanyaan itu.” “Apa pekerjaannya sekarang?” “Dia pengusaha mebel, Papa. Eh, maksud saya, Pak Damian.” Damian mengernyit dahinya, menguras memorinya mengenai nama tersebut, tapi dia tetap tidak berhasil mengingatnya. Apalagi pekerjaannya sangat tidak sesuai dengan apa yang dia pikirkan. Sekiranya mama Alana adalah seorang bankir atau memiliki usaha seputar batu bara atau properti, sama seperti yang dia geluti, Damian bisa menduga bahwa mama Alana telah bermain-main dengannya. Ini di luar dugaannya. “Kamu sebaiknya ke luar dari kantor saya sekarang,” ujar Damian. Alana terkejut, walaupun dia telah menduga bahwa dirinya akan diberhentikan karena keadaan ini, tapi tetap saja perasaan terkejut tidak bisa dia bendung. “Pak. Jangan berhentikan saya, Pak.” Alana memburu Damian dan bersimpuh di depannya. Damian mendengus tersenyum. “Bukan itu, Alana. Saya maksud kamu ke luar dari ruangan saya sekarang. Kamu masih boleh magang di kantor saya.” Alana tersenyum lega. “Baik, Pak.” Dia pun berdiri dari simpuhnya. Lalu berbalik menuju pintu kantor. Tapi tiba-tiba langkahnya tertahan, dia berbalik arah, menghadap Damian, dan berkata penuh harap, “Pak. Jangan libatkan mama saya soal ini. Saya mohon, Pak. Ini murni keinginan saya dan mama saya tidak terlibat apapun. Dia tidak menyuruh saya.” Damian tersentuh melihat wajah sedih Alana, apalagi mengingat peristiwa kemarin, Alana yang jatuh pingsan di dekatnya. “Ya. Jangan khawatirkan soal itu.” “Terima kasih, Pak.” Hampir saja Alana ke luar dari ruangan, Damian memanggilnya. “Alana. Satu hal lagi. Jika ada yang menanyaimu, jangan dijawab.” “Baik, Pak Damian. Saya minta maaf.” Alana pun ke luar dari ruang kantor Damian. Damian berdecak kecil. Dia merasa telah berkhianat kepada dirinya sendiri. Pantang bagi seorang Rubiantara menelantarkan benih di manapun. Mereka tidak main-main dengan benih yang tumbuh dari rahim seorang wanita, yang memiliki hubungan dengan keluarga besar Rubiantara. Damian berusaha mengingat wanita-wanita yang pernah dia gauli setelah galau dari kematian istrinya. Tiba-tiba dia mendadak tidak bisa mengingatnya, karena terlalu banyak, sampai dia hanya bisa mengingat Nirmala. Kerinduan tiba-tiba muncul terhadap istri, Damian malah menghubungi istrinya. “Halo, Sayang.” “Demi! Oh, hai. Maafkan aku nggak menghubungimu.” Damian mendadak bergelora mendengar suara renyah Nirmala. “Nggak apa-apa. Aku tahu kesibukanmu.” “Haha, kamu becanda ah. Sibuk kamu lebih-lebih dari sibukku.” “Tapi memperhatikan orang tua lebih sibuk dan melelahkan, aku saja nggak siap menjaga atau merawat papaku.” “Demi, jangan bicara seperti itu. Aku tahu kamu nggak dekat dengan papa Hanz. Oiya, ada kabar dari Nevan, dia mungkin dua hari lagi akan pulang.” “Ah, bahkan Nevan enggan menghubungiku.” “Dia tahu papanya super sibuk. Oiya, kenapa kamu menghubungiku di jam sibuk? Ada hal penting?” “Aku merindukanmu.” “Ah, Demiii. Demi apa?” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN