Agung tidak langsung tidur saat berada di dalam kamarnya. Dia duduk-duduk di balkon luar kamar, sambil menghisap rokok murahnya. Memandang taman kecil di hadapannya yang diterangi lampu temaram, mengingat peristiwa dua tahun lalu.
Agung masih bisa bernapas lega karena mertuanya masih memberikan kepercayaan untuknya mengurus perusahaan makanan, meskipun sebelumnya sempat berselisih hebat, hingga berujung tuntutan penjara terhadap Agung. Akan tetapi, posisi Agung tidak lagi sebagai direktur utama perusahaan, tapi sebagai manajer saja. Mau tidak mau dia harus bekerja lebih keras untuk kemajuan perusahaan. Sedangkan Andita, tentu memiliki kedudukan tinggi di perusahaan, dan dia jauh lebih sibuk.
Agung dan Andita tidak memiliki anak dari pernikahan mereka. Andita memiliki kelainan pada rahimnya, sehingga sulit baginya untuk memiliki anak. Agung sendiri juga sudah menyerah dan tidak memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki anak lagi, walaupun Andita masih saja menangisi nasibnya dan terus saja berharap. Akan tetapi, Agung malah berniat kembali merebut hak asuh Jeanny dan Wenny. Menurutnya dengan memiliki hak asuh keduanya, dia akan berkesempatan untuk kembali merebut harta-harta Poernama. Lagi pula, keadaan sekarang menguntungkannya, karena Jeanny dan Wenny selama ini tinggal di rumah kakek dan nenek mereka, dan bukan di rumah kedua orangtuanya, sehingga dia bisa mempermasalahkan keadaan ini di pengadilan.
Kira-kira dua tahun lalu, Andita dan Agung mendatangi perusahaan mebel di kawasan Jakarta Selatan, dalam rangka ingin merenovasi kantor baru perusahaan milik papa Andita. Mereka sangat beruntung karena mendapatkan harga miring dari perusahaan mebel tersebut, dengan kualitas kayu yang baik dan tahan lama. Mereka pun sangat berterima kasih kepada pemilik perusahaan mebel yang tidak lain adalah Tsamara Iyyah.
“Saya asal Pekalongan, Bu Tsamara,” ujar Agung saat memperkenalkan dirinya.
“Oh ya?”
“Iya, Bu. Ibu sendiri?”
“Saya asal Yogya, tapi besar di Jakarta.”
Andita dan Agung manggut-manggut mendengar pengakuan Tsamara mengenai asal usulnya.
“Oh iya, boleh saya tahu Pak Agung dan Bu Andita bertemu di mana?” tanya Tsamara yang tergerak ingin tahu sejarah asmara klien mereka.
“Kami bertemu di Montreal, kami kuliah di kampus yang sama,” jawab Andita dengan senyum hangatnya, juga matanya yang berbinar-binar. Sepertinya dia masih mengingat awal hubungan asmaranya dengan suaminya.
“Wah, indah sekali,” puji Tsamara terkagum-kagum. “Pasti Bapak dan Ibu sangat pintar.”
“Ya, tapi jalan cinta kami kurang mulus, Bu Tsamara, karena suami saya sudah dijodohkan dan bahkan menikah.”
Agung tentu merasa Andita agak keterlaluan membicarakan dirinya.
“Oh, lalu?” Tentu saja ucapan Andita mengundang rasa penasaran Tsamara, dan Agung memilih pasrah saja.
“Ya, saya dengan setia menunggu, dan ternyata dia kembali ke pangkuan saya.” Andita melirik suaminya yang hanya tersenyum tipis.
“Oh, indahnya. Tetap saja Bu Andita sangat beruntung memiliki suami yang sangat mencintai Bu Andita, meskipun sempat menikah dengan pilihan keluarga.”
“Iya, Bu Tsamara. Tapi sepertinya Bu Tsamara lebih beruntung lagi, telah memiliki putri yang sangat cantik dan berprestasi,” balas Andita yang melirik ke sebuah pigura kecil, tampak Tsamara sedang berdiri bersama seorang gadis cantik yang Andita yakini adalah putri Tsamara.
“Ah, Ibu.” Tsamara sudah mengetahui bahwa Andita dan Agung tidak memiliki seorang anak pun setelah bertahun-tahun menikah. “Tapi kehidupan asmara saya tidak seberuntung Ibu.”
Lagi-lagi, pernyataan Tsamara mengundang tanya Agung dan Andita.
“Ini adalah anak saya satu-satunya, namanya Alana Tunggadewi. Saya berhubungan dengan seseorang yang sangat kaya raya dan terkenal. Hm … mungkin Ibu dan Bapak juga mengenalnya. Damian Rubiantara.”
Andita dan Agung saling pandang, dan dengan cepat Agung menahan Andita untuk tidak terlalu banyak tanya. “Jadi Alana ini….”
“Iya, Pak Agung. Dia anak Damian dan saya. Anda pasti mengenalinya.”
“Ya, tentu saja.” Agung masih menahan Andita untuk tidak bicara.
“Saya sengaja merahasiakan ini bertahun-tahun karena saya takut sekali berurusan dengan keluarga besar Rubiantara. Mereka bisa saja bertindak kejam kepada orang yang berseberangan dengan mereka, apalagi saya.” Tsamara menghela napas panjang sejenak, lalu lanjut bercerita, “Dia dulu frustrasi karena kehilangan istrinya, Kathleen James. Lalu bertemu saja di klub malam, dan terjadilah—“
“Lalu Ibu hamil,” ujar Andita dengan Anda hati-hati.
Tsamara mengangguk. “Bahkan anak saya tidak tahu papanya. Saya pikir lebih baik dia tidak mengenalnya, daripada mendapatkan masalah di kemudian hari. Rubiantara terlalu kuat bagi saya dan saya tidak sanggup melawan.”
“Saya sangat mengenal Damian, dia itu dulu satu kuliah dengan saya—“
“Ah, iya. Saya baru ingat, dia pernah kuliah di Canada. Jadi Bapak Agung mengenalnya?”
“Ya.”
“Dekat?” delik Tsamara hati-hati.
“Tidak begitu.” Agung kembali menahan tangan Andita memberi kode agar istrinya itu tidak terlalu jauh menjelaskan hubungan dirinya dengan Damian, yang kini justru menikah dengan mantan istrinya.
“Oh ya.” Tsamara tiba-tiba menyadari akan sesuatu hal. “Saya sangat berharap Bapak dan Ibu tidak menyebarkan status anak saya, dan ini akan menjadi rahasia saya. Maaf….”
Mungkin karena terlalu larut dalam perbincangan, Tsamara tanpa sadar mengungkap jati diri anak semata wayangnya.
Sambil menekan tangan Andita, Agung membalas, “Jangan khawatir, Bu Tsamara. Ini akan tetap menjadi rahasia.”
Agung dan Andita pulang dari kantor Tsamara dengan wajah agak tegang. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa ternyata Damian sebenarnya sudah memiliki anak yang usianya sedikit lebih tua dari Wenny.
“Jangan dulu kamu sebarkan, Andita. Ini adalah rahasia penting … kamu ingin aku merebut Jeanny dan Wenny, bukan? Ini adalah senjata terakhirku.”
Andita tampaknya juga menyimpan dendam, “Ya, aku akan mendukungmu.”
Setelahnya, Agung dengan sabar dan tenang mencari uang dan menabung untuk bisa merebut kembali hak asuh terhadap Jeanny dan Wenny.
Kini, dia sudah berhasil memiliki banyak uang, dan kembali ke kota kelahirannya. Dia akan mendekati kedua anaknya, membujuk mereka, lalu menjebak untuk kembali ke pangkuannya.
***
Alana tetap menjalani kesehariannya seperti biasanya. Pagi-pagi dia sudah bangun dan langsung bersiap-siap kembali. Pagi ini dia dilayani Mbak Upi, yang sudah lama bekerja di rumahnya.
“Ibu menelepon saya semalam, Neng. Tanya kenapa Neng Alana nggak angkat telepon,” ujar Upi setelah mengambil piring kotor dari hadapan Alana.
“Terus mama bilang apa?”
“Nggak ada, cuma tanya kenapa Neng nggak angkat telepon, saya jawab saja Neng sudah tidur. Soalnya Bu Tsamara hubungi saya jam sebelas malam.”
“Oh, artinya nggak apa-apa dan nggak begitu penting. Mbak Upi jangan khawatir, nanti aku akan hubungi mama dan bilang semua baik-baik saja di rumah.”
“Baik, Neng.”
Bersambung