Pemotongan beserta pembuatan perahu batang pohon sudah jadi. Kekuatan mereka berenam sudah bisa mendorong kumpulan batang pohon yang terikat satu sama lain itu ke dalam sungai racun. Bagus sekali karena tidak terjadi apa pun pada batang pohon tersebut. Tandanya mereka bisa naik ke atasnya.
Agaknya mereka masih ragu-ragu melangkahkan kaki ke atas batang pohon itu. Melirik satu sama lain, Maxime yang pertama kali mengungkapkan pertanyaan. “Bisakah batang pohon ini menahan berat kita berenam?”
Semua orang tampak memiliki pemikiran yang sama tanpa jawaban dapat mereka temukan.
“Kau pikir hanya kau yang bingung?” mengandung nada sarkasme saat bertanya balik pada Maxime. Nori Merekon meletakkan ibu jarinya di bibir sambil menggigit kukunya.
Maxime menggeleng lemah. Terlalu malas untuk berdebat dengan gadis itu. Memutar bola mata ketika memalingkan muka. Hanya karena rank di bawah mereka bukan berarti Maxime tidak punya kemampuan.
“Jangan berpikir terlalu lama. Lihat waktu kita tidak banyak. Berpikir cepat dan mengambil risiko yang bisa kita lakukan sekarang.” Mahavir menelan saliva ketika hitungan mundur mempersedikit waktu mereka. Sekarang masih berada di gerbang kedua, sedangkan masih ada empat gerbang yang harus dilalui. Bisakah mereka benar-benar melewati semua gerbang dan mengalahkan ratu bersama-sama? Mahavir tidak berpikir begitu. Setidaknya salah satu dari mereka harus berhasil demi kelangsungan hidup di dunia nyata. Memutar kepalanya ke arah Nori Merekon. Matanya dipenuhi tatapan peringatan. “Dan kau, Nori Merekon. Jangan menjadi villain di sini. Kau tahu apa arti kerja sama? Itulah yang harus kita lakukan sekarang.”
Waktu berkurang detik demi detik. Tidak ada waktu untuk omong kosong. Risiko diambil dengan semua orang naik ke atas potongan-potongan batang pohon tadi. Dayung di kedua sisi siap mendobrak Dania racun. Tidak dapat diduga pandangan mereka semakin buram akibat kabut. Beruntung hanya kabut biasa. Jika kabur racun, maka semua orang akan mati pada saat itu juga dan tubuh mereka lenyap ditelan sang sungai racun. Beruntung! Sekali lagi beruntung.
“Cepatlah!” desak Arzan yang dapat melihat waktu sudah berkurang lima menit sejak mereka mengarungi sungai racun.
Kabut perlahan menyisihkan diri guna membiarkan pandangan melihat jelas. Di ujung sana sudah terlihat sebuah gerbang. Yang tidak lain adalah gerbang ke tiga. Menarik napas lega lantaran sebentar lagi mereka akan sampai di tepi. Gegas para pasang tangan itu menggerakkan dayung, tetapi setiap detik dirasa berat melawan sungai racun.
“Batang pohon ini akan tenggelam sebelum kita sampai di tepi,” ujar Allura sudah dapat merasakan batang pohon itu semakin ke bawah. Air sungai racun berwarna hijau kuda mulai naik ke permukaan batang kayu. Berdesakan agar tidak mengenai air racun; mereka berada di tengah-tengah perahu yang sebentar lagi mungkin akan ditenggelamkan oleh sungai racun.
“Rupanya batang pohon ini tidak kuat menopang berat badan kita.” Maxime khawatir kalau mereka akan tenggelam sebelum sampai. Mengerahkan seluruh tenaga demi mendayung, melawan sungai racun. “Cepat dayung. Jangan terlalu banyak berpikir. Usahakan mengurangi berat badan kalian kalau bisa.”
Nori Merekon mengerti dengan keadaan ini. Melihat tepian tidak jauh lagi, hanya butuh beberapa menit jika ingin sampai. Sayang sekali mereka terlalu berat. Dengan pemikiran liciknya agar dapat menyelamatkan nyawa; tangannya bergerak guna mendorong Arzan. Aksinya tak sampai melukai pria yang sudah berkontribusi untuk mereka karena Maxime mencengkeram tangan Nori Merekon. Sorot mata menghunus mendarat pada wajah cantik sang gadis pemikir licik.
Keadaan di luar kendali lantaran air racun hijau muda itu menyentuh kaki mereka. Keseimbangan batang pohon mulai terganggu, sehingga mereka harus berpegang satu sama lain. Dayung di tangan Maxime tenggelam tanpa bisa ia tolong.
“Tidak bisa! Kita tidak bisa terus begini.”
“Tenang! Anggap bermain game biasa. Kita akan baik-baik saja setelah keluar dari game.” Mahavir berlagak setenang mungkin. Dayung di tangan Allura ia raih; berharap dengan begitu memperbaiki keadaan. Namun, mendayung dari satu sisi membuat batang pohon berbalik arah. Bukan hanya itu saja, tetapi batang tersebut menjadi miring.
Tidak dapat terelakkan kaki Gabino tak dapat menopang badan, yang akhirnya membuatnya jatuh. Keseimbangan pada batang kayu kembali normal. Berat kelima orang dapat ditopang. Akan tetapi, jiwa mereka melayang melihat Gabino tenggelam mengenaskan dengan badan membusuk sebab racun hijau muda. Pria itu sudah kalah.
***
Sementara itu di dunia nyata; para programmer melihat sendiri bagaimana mengenakannya Gabino. Tidak seperti itu. Mereka tidak membuat kematian seorang gamer menjadi mengenaskan.
“Bug sialan. Jika wartawan mengetahui ini, maka hancurlah Windtech. Dan lagi mereka seperti Gamer ingusan yang baru mengetahui apa itu game,” amuk salah satu programmer.
Bagaimana tidak? Di satu sisi menyalahkan bug yang tiba-tiba menyerang tanpa mereka inginkan. Di sisi lain jiwa para Gamer Pro terguncang akibat sebuah game yang bisa melenyapkan nyawa mereka.
Sudah terbukti karena Gabino tidak sadarkan diri setelah game over pada karakternya.
“Direktur?”
Sang direktur tidak menghentikan pergerakan kakinya; gelisah sejak tadi. “Panggil dokter. Tapi ... jangan biarkan ada yang tahu.”
“Baik, Direktur.”
***
Di dunia game, para Gamer sudah mendaratkan kaki di tepian. Meskipun begitu, jiwa mereka belum kembali sepenuhnya. Memikirkan bagaimana keadaan Gabino setelah karakternya mengalami game over.
Maxime dapat melihat ketakutan muncul pada Nori Merekon. Sudut bibirnya masih sempat miring. Baru sekarang tahu rasanya menjadi takut? Takut kalau kau akan mati otak?
Berdiri menatap tim yang semula berwajah angkuh, kini menjadi murung tanpa daya. “Kembalikan semangat kalian! Saat ini kita tidak tahu keadaan Gabino di dunia nyata. Bukan berarti kita harus menyesali kegagalan teman kita. Mau menyelamatkan dia dan diri kita?” pertanyaan Maxime mengandung ejekan. Menatap lurus pada hitungan mundur di depan. Peduli s*tan dengan waktu yang terus berkurang. “Bangun! Kita harus masuk ke gerbang ketiga jika ingin selamat.”
Mahavir—rank nomor satu dari grup itu, merasa agak malu karena kehilangan keprofesionalan sebentar tadi. Ia bangkit lalu mengangguk pelan pada Maxime. Yang lain, masih mencoba menyadarkan diri dari kehilangan tadi. Nori Merekon tidak merasa kehilangan, melainkan takut membakar jiwanya.
Berdiri di depan pintu gerbang. Menatap dengan penuh perhatian dan dugaan-dugaan bermunculan dari benak. Akankah sistem baru memudahkan mereka pada gerbang ketiga ini? Tersisa Maxime, Mahavir, Arzan, Allura dan Nori di sana. Mempertahankan hidup dan menyelamatkan kawan lain. Pertarungan melawan sistem jahat mempertaruhkan nyawa baru pertama kali untuk mereka. Jadi ketakutan kental memengaruhi sistem berpikir.
“Selamat atas pencapaian kalian telah berhasil melewati gerbang dua. Kini saatnya membawa kalian ke gerbang tiga. Selamat menikmati keseruan di gerbang tiga.”