7. The Third Gates

1012 Kata
Dalam beberapa detik, kelima orang yang tersisa mendapati diri mereka di tanah gersang. Nuansa kecokelatan kembali menyapa mata. Aroma tanah menusuk rongga hidung. Kali ini, mereka mendarat dengan selamat. Begitu pun dengan Maxime yang tak terjatuh lagi seperti sebelumnya. Di depannya Maxime dapat melihat tanah gersang. Namun di kejauhan sana ia dapat melihat tanah lembab dan lubang-lubang besar. Entah, ia tak mengetahui isi lubang tersebut. Apakah hanya lubang biasa? Atau monster akan keluar dari sana? “Sekali lagi selamat telah membuka gerbang ketiga. Game ini sangat mudah, bukan? Bahkan lebih mudah daripada game yang sering kalian mainkan.” Sang sistem kembali menyapa. Kali ini sistem bahkan tergelak lebih keras dari sebelah. Mendengar ocehan sistem yang tak berguna, membuat emosi Maxime bergejolak dalam diri. Sanubarinya ingin menghancurkan sistem menjadi abu. “Bagaimana keadaan Gabino?” tanya Maxime tanpa basa-basi ketika sistem ingin melanjutkan pidatonya. Semua orang mengarahkan pandangan pada Maxime ketika mereka masih dalam guncangan setelah memasuki gerbang ke-tiga. Khawatir membuat mereka menajamkan indera pendengaran. Menunggu sang sistem menjawab pertanyaan Maxime. “Kau mau menyusulnya?” Vena hijau di tangan Maxime mulai tampak ketika kepalan tangannya dieratkan. Pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan. Maxime merasa emosi dan ingin meninju sang sistem. Sayang sekali tinjunya tidak akan mempan karena sistem tidak memiliki badan kasar. Sang sistem kembali tergelak melihat pemandangan di depannya. Melihat ekspresi berbahaya di wajah Maxime. Kemudian, lewat layar besar ditunjukkannya seorang pria tengah duduk menghadap layar. Matanya terpejam tak ada gerakan sama sekali. Seperti tengah tertidur lelap. “Gabino,” sebut semua orang setelah melihat Gabino pada layar itu. Mereka bisa melihat kalau Gabino tak sadarkan diri. Apakah dia sudah mati otak? Jika mereka gugur nanti, apakah mereka juga akan sama seperti Gabino saat ini? “Apa yang terjadi padanya?! Jawab aku!” bentak Maxime. Pria itu melirik pada jam besar yang menghitung waktu game. Waktu berhenti ketika sistem menyapa mereka. Ya, waktu berhenti karena Game belum dimulai. Maxime mencoba manfaatkan waktu sebelum sistem memulai permainannya. Jika sudah dimulai maka waktu akan kembali terhitung. “Seperti yang bisa kalian lihat. Pria itu tidak sadarkan diri. Jika kalian kalah dalam setiap level, maka kalian akan mengalami masih seperti rekan kalian. Itulah hukum dalam game ini.” “Hukum macam apa yang kau bicarakan? Tidak ada hukum yang membuat orang mati otak dalam sebuah game,” tandas Maxime. Allura yang sejak tadi menyimak, tak kuasa mengeluarkan suaranya, “Maxime benar. Apa kau hanya ingin menakuti kami? Aku sudah memainkan banyak game. Dan tidak pernah mendengar aturan berbahaya seperti ini. Tidak ada dalam sejarah, game bisa membuat orang kehilangan nyawa karena kalah dalam game itu, kecuali ... kecuali mereka stres dan ingin mati.” Sang sistem kembali tergelak. “Kalian hanya pemula. Tak tahu bagaimana dunia ini bekerja. Game ini dibuat olehnya, tetapi seseorang mengakui hasil kerja kerasnya.” Meskipun Maxime tak mengerti dengan apa yang sistem bicarakan, ia tetap menyimak dengan baik. Ketegangan kembali menguasai ketika ia melirik jam besar. Setelah mengulur waktu beberapa menit. Ia berharap bisa mengulur waktu lagi dan mendapatkan informasi dari sistem. “Apa maksudmu?” “Bug yang masuk ke dalam sistem game, bukanlah karena kerusakan sistem, melainkan seseorang sengaja ingin menghancurkan Windtech,” jawab Mahavir. Setelah menyimak semua percakapan, tampaknya ia mengerti dengan ucapan sistem. “Gerbang ke-tiga akan segera dimulai. Nikmati perjalanan kalian. Dan aku harap tidak ada yang kalah kali ini.” Sang sistem telah menghilang. Sementara, hitungan mundur kembali berjalan. Delapan menit telah mereka habiskan pada gerbang dua. Tersisa kurang dari lima puluh dua menit. Mereka benar-benar harus mengatur waktu dengan baik pada setiap gerbang. Itu pun jika mereka selamat. Saliva ditelan dalam-dalam. Terjerumus dalam lubang kebinasaan ini membuat Maxime sedikit tertekan. Game sudah berjalan, tetapi ada satu orang yang tak melangkahkan kaki ke depan. Nori Merekon terlihat ketakutan. Ia yang paling percaya diri dari semua orang, paling pintar ketika mengejek Maxime. Kini, badannya penuh getaran akan ketakutan. Takut jika ia akan menyusul Gabino yang tak sadarkan diri di sana. “Nori?” panggil Arzan. “Ada apa denganmu? Jangan buang waktu di sini. Kita harus bergegas.” “Bergegas? Aku tak yakin kalau kita semua bisa melewati setiap gerbang dengan selamat. Dari namanya saja sudah aneh. Enam Gerbang Kematian.” Nori Merekon menggeleng intens. “Kita semua akan terjebak—” “Kau tak punya kepercayaan diri?” potong Maxime dengan pertanyaan sarkasme. Semua orang menatap ke arahnya. Dia—Maxime yang tadinya diejek dapat mengeluarkan nada sarkasme yang hampir membuat mereka enggan untuk menghembuskan napas. Mata Nori terbelalak merasa terhina karena ucapan sarkasme Maxime. Ia maju beberapa langkah seolah-olah siap menerkam Maxime saat itu juga. “Kau ... kau ... kau berada pada Rank terendah. Bagaimana bisa kau berkata seperti itu padaku?!” Tersenyum miring. Maxime meladeni kemarahan Nori, meski ia tahu mereka hanya buang-buang waktu berdebat. “Lalu kenapa kau ketakutan barusan? Keberanian dan ketakutan tidak ada hubungannya dengan Rank. Apa kau tahu itu? Dan aku bukanlah pengecut yang hanya besar omongan saja.” Maxime membalikkan badan dan melihat ke arah depan. “Sudahlah. Tidak ada gunanya berdebat dengan seorang gadis. Sebaiknya kita bergegas. Kalau dia tidak mau melewati gerbang ini. Itu akan menjadi urusannya.” Maxime berbicara penuh kepercayaan diri. Seolah-olah ia merupakan pimpinan dari tim tersebut. Semua orang ikut merasakan kepercayaan diri Maxime, sehingga mereka berdiri penuh keyakinan menghadapi gerbang ketiga ini. Waktu mereka tidak banyak untuk mendengar ocehan tidak penting. Aksi menyelamatkan diri dan lolos dari halangan yang tak mereka ketahui dari gerbang yang tenang inilah yang terpenting. Nori Merekon berdiri sejajar dengan empat orang lainnya setelah merasa terhina. Ia tak menatap siapa pun dan fokus ke depan. Mulai melangkahkan kaki mereka secara bersamaan. Melewati tanah gersang sampai pada tanah lembab yang dekat dengan lubang besar. “Hati-hati. Kita tidak tahu ancaman apa yang ada dalam lubang itu,” ujar Mahavir. Semua orang menganggukkan kepala. Sementara itu, Maxime memanggil Any—sistem yang membantunya. “Any, bisa keluarkan sesuatu untukku?” “Kau butuh alat, host?” “Ya. Aku butuh sesuatu untuk kulemparkan ke lubang itu. Tapi di sini tidak ada batu atau kayu.” “Baiklah host, aku mengerti.” Sebuah batu sudah berada di tangan Maxime. Ia siap melemparkan batu ke dalam salah satu lubang. Menunggu beberapa detik setelah batu masuk ke dalam lubang. Tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, setelah Arzan melangkah maju, sebuah lava keluar dari lubang besar, menyembur ke udara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN