Maxime sangat berharap agar mendapatkan bantuan dari jam tangan itu lagi. Seperti mendapatkan bantuan di awal game. Mata sudah berbinar-binar antusias menunggu jawaban Any—sang sistem.
“Maaf, kali ini tidak bisa host,” jawab Any dengan nada berat hati dapat terdengar.
Menundukkan kepala dengan sedikit kecewa, Maxime tengah berpikir cara memotong pohon di depannya. Tidak ada senjata dapat digunakan. Hanya sepasang tangan kosong. Game macam apa ini? Di mana kiranya mereka bisa menemukan toko guna membeli peralatan memotong pohon? Tampaknya Maxime lupa kalau game tersebut sudah diambil alih oleh bug menyebalkan. Entah dari mana datangnya.
Kembali dengan kepala tertunduk, Maxime kira hanya dirinya seorang yang tidak mendapatkan apa pun. Semua orang membawa tangan kosong setelah kembali. Menghembuskan napas lega, ia tidak menjadi cemooh lagi.
“Kalian tidak mendapatkan apa pun? Aku juga.”
Dengan penuh antisipasi di matanya, Maxime menunggu jawaban dari para Gamer yang berada pada tingkat di atasnya.
Kelima orang itu tampak menggelengkan kepala; lemah. Sama halnya dengan Maxime tidak mendapatkan senjata.
Wajah Mahavir terangkat, melihat para Gamer di sana. “Kita tidak boleh menyerah. Setiap game pasti dapat dipecahkan. Hanya saja bug ini tidak menyediakan tool untuk game.”
“Kau benar. Pasti ada cara,” sahut Allura. “Kita Gamer pro, tapi tampak seperti amatir hanya karena sebuah bug? Izinkan mengalahkan kita? Aku tidak akan membiarkannya.” Suaranya begitu bersemangat, sehingga menyihir para Gamer lain mengangkat kepala mereka tinggi-tinggi.
Bisa dikatakan bahwa saat ini merupakan awal dari permainan. Tidak ada kata menyerah dalam kamus Gamer Pro seperti mereka.
Tanah bergetar tatkala mereka tengah menimbun semangat. Badan semua orang dapat merasakan getaran tersebut dari arah selatan. Bukan gempa bumi, melainkan makhluk hijau gemuk yang datang dari arah tersebut. Saliva diteguk bersamaan tanpa mereka ketahui. Mengerjapkan mata ketika makhluk hijau yang disebut Ogre mendekati mereka dengan tongkat kayu pendek.
“Ogre?” gumam Maxime. Melihat keterkejutan juga ada pada wajah Gamer lain, Maxime tidak takut menutupi rasa terkejutnya. Kaki mereka melangkah mundur bersamaan dengan langkah Ogre mendekati mereka.
“Ini hanya permainan! Mengapa kita mundur hanya karena bug sialan itu mengambil alih sistem. Asalkan salah satu dari kita selamat dan mengalahkan sang Ratu, maka kita semua akan selamat.” Berapi-api Arzan meyakinkan orang-orang agar mereka tidak mundur. Mundur adalah cara bunuh diri bagi seorang Gamer Pro.
“Haruskah kita menyerang mereka bersama-sama?” senyum miring tampak jelas pada wajah tampan Gabino.
“Dengan tangan kosong?” tanya Nori. Ragu-ragu dengan keputusan Arzan dan Gabino.
Mahavir mengambil langkah maju lalu teriakannya bergema, “Tidak ada waktu untuk berpikir. Mereka sudah maju.”
Sebuah tongkat kayu melesat ke arah mereka—lebih tepatnya mengarah ke depan Allura. Kecepatan Maxime tidak dapat diterka oleh mata lain. Bagaikan kilat sudah memindahkan dirinya dan Allura ke tempat lain.
Ogre yang melempar tongkat terlihat cukup marah, lantaran tidak mengenai sasaran. Dua Ogre di belakangnya juga cukup kesal akan hal itu. Kaki gemuk mereka berlari cepat akan menyerang rombong Mahavir ini.
Berpencar, mereka dapat menghindari kemarahan Ogre. Arzan menyadari kalau kecepatan Maxime dalam menyelamatkan Allura tadi tidak cukup tak masuk akal. Mengingat mereka tidak memiliki alat untuk membantu di gerbang kedua ini. Namun, ditambah dengan kali ini, Maxime sudah berkali-kali menghindari serangan Ogre dengan sempurna, menambah keyakinan Arzan kalau mereka punya keistimewaan dalam diri mereka. Bukan alat, melainkan kemampuan.
Lantas apa kemampuan Arzan? Berlari cepat? Tidak dia sudah mencoba, tapi malah tersengal-sengal dan hampir mendapatkan pukulan dari Ogre. Kalau mereka tetap menghindari maka sudah dipastikan tenaga akan habis dan mereka mati dalam game.
Memberanikan diri, Arzan meninju Ogre dengan ukuran tiga kali lipat lebih besar dari badannya. Ketidakpercayaan dicampur syukur tampak sangat jelas.
“Apa ini?!” teriak Gabino melangkah menghampiri Arzan.
Dengan senyum, dan kobaran kepercayaan diri pada matanya, Arzan menjawab, “Kita tidak punya tool, tapi punya kemampuan. Teoriku benar.”
“Ayo cepat katakan apa itu!” Nori cukup tidak sabar.
“Kita memiliki kemampuan masing-masing. Maxime dengan kecepatannya, sedangkan tanganku sangat kuat. Aku yakin itu.”
“Jadi maksudmu, kita semua punya keistimewaan sendiri?”
Sebuah anggukan penuh semangat menjadi jawaban untuk pertanyaan Mahavir.
“Awas!” Arzan menghalau serangan Ogre lain. Membuat Ogre itu terpental, tetapi tidak cukup jauh.
“Aku tahu!” seru Maxime di saat seperti ini matanya malah mengeluarkan sinar kepintaran.
“Apa?”
“Buat para Ogre itu menabrak pohon guna menumbangkan pohon. Jadi kita bisa pakai melewati sungai.”
Mulailah mereka menyadari kemampuan masing-masing. Mungkin bug kecil itu sengaja memberikan sedikit teka-teki pada Gamer menggemaskan seperti mereka.
Arzan dengan tinjunya berkali-kali mendaratkan pada perut Ogre. Butuh waktu cukup lama agar Ogre menjadi lemah sampai terpental dan menumbangkan satu pohon. Bagusnya lagi pohon itu menimpa sang Ogre.
Kini, tinggal dua Ogre yang harus dibasmi. Gabino, Maxime dan Mahavir bersatu. Dengan kecepatannya membawa Mahavir berkali-kali menendang sang Ogre, sedangkan Gabino tidak cukup cepat, tapi kuku-kuku tajam yang tumbuh itu bisa melukai tubuh sang Ogre.
Ogre nyaris membuat Gabino menabrak pohon, jika kecepatan Maxime kendor. Beruntung lelaki itu dapat menangkap Gabino.
“Terima kasih,” Gabino tertegun sampai kata itu terucap dari bibirnya. Padahal ia sangat meremehkan Maxime di awal. Siapa sangka pria itu yang menyelamatkannya.
“Sama-sama,” balas Maxime bernada datar.
“Sudah berakhir,” ujar Mahavir.
“Secepat itu?” Maxime dan Gabino bertanya bersamaan.
Mahavir memberikan anggukan pada mereka. Menoleh pada Ogre yang sudah menumbangkan pohon untuk mereka.
Masih ada satu Ogre yang dihadapi oleh kedua perempuan cantik dalam grup itu. Allura dan Nori bekerja sama bertarung dengan Ogre yang badannya toh akali lipat lebih besar.
“Perlu bantuan kami?”
Nori dengan nada angkuh menjawab, “Tidak perlu. Jangan remehkan kami para gadis.”
Beberapa kali tendangan dan pukulan mendarat pada Ogre. Kedua gadis itu tanpa lelah bergantian memukul.
“Aku sering melakukan ini dalam game. Tinju adalah keahlianku,” kata Nori mengakhiri pertarungan dengan Ogre.
Allura mengangkat badan Ogre yang sudah tersungkur. Melemparnya ke sebuah pohon. Namun, tidak tumbang. Sekali lagi dengan bantuan tendangan dari Mahavir barulah pohon itu tumbang.
Semua orang terduduk. Tampaknya baru berani memperlihatkan kalau mereka lelah.
“Hah! Akhirnya berhasil.” Maxime melihat langit; sudah mulai gelap. Secepatnya mereka harus melewati sungai racun. “Ayo, buat perahu,” ajaknya.
“Entah kuku ini bisa memotong batang pohon itu atau tidak. Tapi apa rasanya akan sakit, ya?” Gabino menoleh pada semua orang. Matanya meminta pendapat dari mereka.
“Kau memiliki kuku panjang yang bagus dan tajam seperti gergaji,” kekeh Maxime yang membuatnya mendapatkan delikan tajam dari Gabino.