Pemandangan yang bisa mereka lihat dalam film atau video Games, kini kembali menyapa mata mereka. Apa yang akan terjadi jika mereka terkena lava? Akankah mereka langsung terhempas dari game dan mati otak?
Dengan gesit semua orang mundur dan mencari tempat aman dari semburan lava. Dalam game terdahulu yang mereka mainkan, tentu sudah pernah menghadapi tantangan seperti ini. Namun, sayang kali ini, mereka tidak menggunakan tangan untuk mengatur permainan, melainkan jiwa mereka seperti berada dalam game. Lebih tepatnya mereka memainkan game dengan otak mereka.
Itulah yang berbeda dengan game ini. Game yang sudah dikendalikan oleh bug. Penyusup dalam game.
***
Sementara itu, di luar game, para programmer masih mencoba melakukan yang terbaik. Mereka tak henti-henti memainkan jari di atas papan ketik. Mencoba memperbaiki programmer yang sedang berjalan. Sebenarnya sangat berbahaya karena game sedang berlangsung. Akan tetapi, mereka harus mengambil risiko. Setelah mengambil tindakan pun, mereka tetap tak bisa masuk ke dalam sistem.
“Bagaimana hasilnya?” kepala pengembangan tak henti-hentinya bertanya. Apalagi sudah memasuki gerbang ketiga. Mereka tidak merancang lava yang keluar dari lubang sama sekali. Namun masih tetap bisa bersyukur karena lima orang selamat.
“Belum ada hasil apa pun. Sistem dalam game sudah diretas—”
“Aku tahu itu! Dan bukan itu jawaban yang aku inginkan!” bentak kepala pengembangan memotong ucapan sang programmer.
Programmer tersebut berdiri lalu memberikan penjelasan singkat. “Kami belum bisa meretas sistem itu.”
“Maksudmu kita harus menunggu sampai salah satu dari mereka berhasil keluar dari game? Kau tahu apa yang akan terjadi jika mereka semua tak bisa keluar?”
“Saya sangat tahu,” jawabnya seraya melirik Gabino yang masih terduduk tanpa ada pergerakan di kursinya. Mereka tak berani memindahkan pria itu dari kursi. Dokter belum tiba. Oleh karena itu mereka tak berani gegabah.
“Kalau sudah tahu, cepat lakukan yang terbaik.”
***
Bukan hanya lava yang keluar dari lubang, tetapi air juga lumpur tersembur ke atas. Lantas meluncur ke bawah dan menghancurkan tanah lembab.
Tak satu pun dari mereka dapat melihat adanya gerbang di depan sana. Tanah lembab membentang sejauh mata memandang.
“Berapa kilometer yang harus kita lewati?” Arzan menggelengkan kepala.
Maxime pun ikut menggelengkan kepala. Hanya tanah lembab penuh dengan lubang yang bisa ia lihat. Bahkan cara untuk melewati lubang dengan semburan tiba macam benda itu belum ia pikirkan.
“Sudah menemukan cara agar kita bisa lewat?” giliran Maxime bertanya dengan sedikit tergesa-gesa. Setiap kali melihat jam besar, ia menjadi sedikit frustasi. Namun, jika ia biarkan kecemasan menguasai dirinya, maka ia akan termakan oleh rasa frustasinya.
“Kita bisa meminta bantuan sistem. Kali ini mereka bisa membantu, kan?”
Mahavir mengeluarkan sistemnya bernama Ana. Sistem tersebut menunjukkan sebuah peta yang bisa mereka lalui, tetapi cukup berbahaya.
“Kalian bisa mengikuti rute yang sudah aku tunjukkan. Lubang-lubang yang akan kalian lewati mengeluarkan air. Akan tetapi, hati-hati dengan pergantian semburan.”
“Apa maksudmu dengan pergantian semburan?” Maxime bertanya penasaran.
“Lubang yang mengeluarkan air bisa saja mengeluarkan lava. Badan kalian bisa hancur seketika. Lubang yang mengeluarkan lava menyembur setiap lima detik. Dalam lima detik, kalian harus bisa lewat. Per hemat waktu karena waktu adalah hidup kalian.”
“Kalau begitu, bisakah kami menggunakan alat?”
“Alat? Tentu saja bisa.”
Semua orang tersenyum ketika Ana memberikan mereka harapan.
“Tapi alat rahasia bisa kalian pakai setelah bisa melewati setidaknya sepuluh lubang.”
Ekspresi mereka kembali seperti awal. Seolah-olah tak memiliki harapan mencari jalan keluar dari labirin. Melewati jalan penuh lubang memang seperti melewati labirin.
“Jadi kau ingin kami berjalan melewati lava itu?” Nori mengeluarkan amarahnya.
“Sistem kalian sudah menyiapkan peta. Kau gadis yang hanya tahu marah-marah saja. Host lebih baik kita cepat berjalan agar lebih cepat keluar dari sini.”
Mahavir mengangguk mengambil langkah pertama. Mereka tidak bisa bergerak bersamaan karena akan mempersulit pergerakan nantinya. Maxime dapat melihat bagaimana lincahnya Mahavir sudah berhasil melewati dua lubang dan setelah itu, lava keluar dari lubang yang baru saja dilewati.
“Aku berangkat lebih dulu,” pamit Allura pada yang lain.
Setelah itu Arzan adalah orang ketiga yang meluncur. Maxime melirik Nori karena hanya ia dan gadis itu yang masih tersisa. Tak meminta persetujuan Nori, Maxime bersama Any berangkat lebih dulu menyusul ketiga orang itu.
Sementara, Nori Merekon sangat kesal. Ia mengikuti Maxime dari belakang. Sudah hilang semua ketakutannya berkat kemarahan menguasai. Ia tak takut dengan semburan lumpur di sebelahnya. Belum lagi air di sebelah kiri. Kakinya bergerak dengan lincah, sehingga sudah berada di belakang Maxime.
Maxime berhenti karena lava akan menyembur, sehingga Nori Merekon juga ikut berhenti. Yang tidak mereka ketahui, air di belakang mereka tersembur membuat mereka basah, dan membuat nyala lava sedikit melemah.
Maxime menyadari sesuatu. Jika ia ingin selamat, maka ia harus berada di tengah-tengah antara lubang air dan lubang lava. Tidak boleh berdiri dekat dengan lubang lumpur karena perpaduannya tidak akan bagus. Lumpur yang bertemu dengan air akan membahayakan. Bisa saja mereka tertelan lumpur. Sementara lumpur yang bertemu dengan lava juga sangat berbahaya, meski lava padam, tetapi lumpur menimpa mereka.
“Mengapa berhenti? Kau mau menghabiskan waktu?”
“Aku hanya sedang berpikir.”
“Cepat bergerak! Dua detik lagi lava akan menyembur.”
Pergerakan kaki Maxime tak kalah lincah. Jalan sempit yang diapit lubang ia lewati tanpa hambatan. Setelahnya lava dan air menyembur ke atas. Nori Merekon masih tertinggal di tempat karena tak mengikuti Maxime.
Kembali ia tersiram air.
Maxime tertawa kecil melihat Nori Merekon tersiksa seperti itu. Ia bukanlah orang baik dan lugu yang akan iba pada seorang antagonis seperti Nori.
Nori Merekon berlari dan dapat mengejar Maxime mereka baru saja melewati dua lubang. Perjalanan mereka masih sangat jauh. Jika dalam lima detik hanya mampu melewati satu lubang, maka hanya akan membuang-buang waktu.
“Cepatlah!” seru Maxime yang menuntun Nori melewati dua lubang sekaligus dalam waktu empat detik. Ya, mereka menghemat satu detik. Maxime semakin mempercepat lari, dengan melewati enam lubang lagi, maka mereka bisa mengeluarkan alat seperti yang lainnya. Namun, sayang meski mengeluarkan alat, mereka belum juga bisa keluar.
Dua lubang lagi dilewati dalam tiga detik. Maxime semakin dapat menghemat waktu. Nori Merekon senantiasa mengikuti Maxime di belakang. Pria itu tak tahu selama dalam perjalanan apa yang Nori pikirkan. Mata Nori mirip seperti elang yang mengawasi mangsa. Semakin cepat, hingga sembilan lubang telah mereka lewat. Satu hambatan lagi, maka produk rahasia bisa membantu mereka.
Langkah kaki terhenti ketika lava menyembur. Hampir saja mereka dibakar oleh lava itu. Setelah menunggu selama tiga detik, lava mereda. Namun sebuah tangan mendorong Maxime, hingga hilang keseimbangan.