Ratih membantu putrinya membawa barang-barang, setelah mereka berdua menghadap ratu. Akhirnya Sekar mengalah, menerima tugas itu karena ibunya berulang kali membujuk.
Hanya pakaian yang Sekar bawa, beserta surat cinta dan hadiah dari Kamandanu. Dia diberi kamar sendiri, itu berarti semua barang-barang sudah tersedia dengan lengkap.
"Silakan masuk," ucap seorang pelayan saat membuka pintu.
Sekar dan Ratih memasuki ruangan itu dengan takjub. Ini bahkan lebih bagus daripada pondok mereka.
"Rasanya Mbok juga mau tinggal di sini," goda Ratih kepada anaknya.
"Kalau begitu Si Mbok saja yang menjadi selir Wijaya," balas Sekar.
Ratih tergelak. Setelah berbulan-bulan murung, akhirnya Sekar bisa kembali bercanda.
"Wijaya ndak tertarik melihat Mbok karena sudah tua. Dia lebih menyukai kamu," ucap Ratih sembari mencolek pipi putrinya.
Sekar menekuk bibir. Hal itu membuat Ratih semakin tergelak. Mereka mulai mengatur letak barang sembari berbincang. Ratih memindahkan beberapa benda yang menurut putrinya tak pantas diletakkan di tempat semula.
Ada beberapa barang yang menurut Sekar terlalu berlebihan jika diberikan untuk seorang pelayan. Misalnya kain-kain mahal di dalam lemari. Juga peralatan makan yang sama persis digunakan oleh petinggi keraton.
"Aku pasti kesepian, Mbok."
"Kamu akan dapat teman yang banyak disini. Lagipula kita masih akan bertemu. Kamu yang akan menyiapkan makanan Ndoro Ayu."
Sekar menatap wajah ibunya lekat, kemudian memeluk wanita itu dengan erat. Rasa sayangnya tak terhingga untuk kedua orang tua. Mungkin dengan menjalani tugas ini, bisa membuat mereka menjadi bangga dan bahagia.
"Sudah ndak usah sedih lagi. Kadang-kadang apa yang kita mau memang ndak semua akan dikabulkan. Tapi percayalah, ada rahasia dibalik itu semua."
Ratih kembali menasihati putrinya, mengatakan bahwa mereka begitu beruntung. Ada banyak wanita yang hidupnya penuh dengan kesulitan di luar sana. Sekalipun dia hanya istri seorang kusir, Daksa selalu baik memperlakukannya.
Ratih banyak melihat istri yang diduakan cinta bahkan disiksa. Ada juga yang harus mati-matian mencari rezeki karena tak suaminya sudah tiada. Mendengar itu, hati Sekar menjadi sedikit terhibur.
"Mbok yakin kamu akan bahagia. Asalkan ikhlas menerima."
"Nggih."
"Mbok pulang dulu. Ndak boleh lama-lama disini. Mulai besok kamu kerja yang benar. Hasilnya simpan untuk kamu sendiri. Jangan pikirkan kami."
Sekar melepas kepergian Ratih dengan berat hati. Lalu dia mulai menyusun pakaian ke dalam lemari. Setelah semuanya selesai, gadis itu berbaring di ranjang. Rasanya begitu empuk dan lebih nyaman dibanding kamarnya dulu. Namun, kini tinggalah dia sendiri dalam kesunyian.
***
Sekar mengetuk pintu kamar Prameswari dengan sopan. Ini hari pertamanya bekerja. Saat langit masih gelap, dia bangun dan pergi ke dapur untuk mengambil sarapan.
Ibunya sudah siap dengan berbagai macam masakan dan mengambilkan apa saja kesukaan Prameswari.
"Ini semua, Mbok?" tanya Sekar tak percaya melihat ada banyak makanan yang disiapkan.
"Biasanya para Putri akan makan sedikit-sedikit, tetapi mencicipi semua jenis," jelas Ratih.
Dalam hati Sekar bergumam, betap beruntungnya jika terlahir dalam keluarga berdarah biru. Apa saja yang diinginkan pasti tersedia. Mungkin dia akan diperlakukan sepertu itu jika kelak menjadi selir Wijaya.
Sekar langsung menepis apa yang ada di pikiran. Dia berharap Wijaya tak berniat seperti itu. Jika kelak memang ada jodoh untuknya, gadis itu memilih menjadi istri rakyat biasa. Daripada menjadi selir tetapi harus bersaing dengan wanita lain di keraton.
"Jangan bengong. Sana antar!"
Di tangan Sekar kini ada sebuah nampan besar dengan berbagai macam makanan. Biasanya keluarga keraton akan sarapan pagi bersama. Namun, hari ini Prameswari meminta diantarkan ke kamarnya.
Nampan itu terasa berat sehingga Sekar harus berjalan pelan-pelan agar tidak terjatuh. Harusnya ada dua pelayan yang membawa makanan sebanyak ini, tetapi dia tidak berani meminta tolong. Gadis itu hanya melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
"Masuk!"
Sekar membuka pintu dengan pelan dan terkejut saat mendapati ada Wijaya di dalam sana. Lelaki itu sedang bertelanjang d**a dengan posisi memangku istrinya.
Setahunya, para pengeran atau raja punya kamar sendiri sehingga bebas melakukan apa pun. Mereka hanya akan datang ke kamar istrinya jika diperlukan. Jika ada Wijaya disini, itu berarti dia bermalam di kamar Prameswari.
Sekar meletakkan nampan di meja dengan gemetaran. Apalagi sejak tadi Wijaya menatapnya dengan tajam. Perut wanita itu langsung merasa mual membayangkan apa yang mereka lakukan.
Bukan, Sekar tidak cemburu sama sekali sekalipun dia pernah dekat dengan sang raden. Hanya saja, sebagai seorang pangeran dan putri, dua insan itu baiknya tak menampakkan kemesraan mereka di depan orang lain. Baginya itu tidak pantas.
"Silakan dinikmati, Ndoro Ayu," ucap Sekar sopan. Dia hendak keluar saat Prameswari menahannya.
"Tunggu sampai kami selesai makan, setelah itu kamu boleh keluar."
Prameswari turun dari pangkuan suaminya sembari membetulkan letak kemban. Sedangkan Wijaya tampak sedang mengencangkan tali celana. Sepertinya mereka baru selesai bermesraan.
"Nggih."
Sekar menunduk dan tak berani membantah. Pemandangan di hadapannya ini sungguh memalukan. Apalagi Wijaya sama sekali tak berniat memakai baju dan malah bergabung di meja, ikut makan bersama istrinya.
"Kangmas sini. Aku suapkan makan."
Prameswari mengucapkan itu dengan manja. Sepertinya wanita itu sengaja ingin membuat Sekar cemburu.
Wijaya tersenyum senang, lalu membuka mulut dan menerima suapan istrinya. Lalu, mereka makan dengan mesra.
Sekar semakin malas melihatnya. Kemesraan dua orang itu membuatnya risih. Apalagi saat Wijaya sengaja menyentuh istrinya. Tampaknya mereka kurang pandai memposisikan diri dan menyembunyikan hal-hal yang bersifat pribadi.
Apalagi Wijaya juga kerap menggodanya. Rasanya gadis itu ingin membongkar kelakuan busuk sang raden di depan istrinya.
"Kangmas jangan begitu. Geli." Suara tawa Prameswari membuat perut Sekar kembali mual.
"Habis ini kita lanjut yang tadi, ya."
Wijaya berbisik mesra kepada Prameswari. Matanya mengerling Sekar, mencoba memancing reaksi gadis itu.
Wijaya merasa kecewa karena Sekar sama sekali tak merespons. Gadis itu masih duduk di lantai sambil terdiam dan menunduk.
"Apa yang tadi masih kurang?" tanya Prameswari dengan mesra.
"Tenru saja," balas Wijaya.
Sekar terbatuk mendengarnya. Rasanya dia sudah ingin berpamitan secepat mungkin.
Melihat itu Prameswari semakin menjadi-jadi. Dia merasa rencananya untuk membuat Sekar cemburu telah berhasil. Wanita itu tak tahu bahwa sikap romantis Wijaya kali ini disengaja karena ada gadis itu.
"Kangmas ini."
"Katanya mau ngasih panembahan cucu. Masa ndak mau," bisik Wijaya lagi.
"Ya nanti saja. Aku masih capek," tolak Prameswari genit. Wanita itu sengaja menolak dan bersikap malu-malu padahal mau.
"Jangan begitu, Kangmas. Aku malu dilihat Sekar."
"Kamu cantik sekali, Diajeng," balas Wijaya gombal.
Dan pembicaraan seperti itu harus Sekar dengar hingga satu jam kemudian.
"Sudah, Kar. Kamu boleh bawa semua," titah Prameswari dengan lembut.
"Baik, Ndoro Ayu. Ada lagi yang bisa saya kerjakan?" tanya Sekar. Di saat berbicara seperti itu, mau tak mau dia harus menatap wajah mereka berdua.
"Sepertinya cukup."
"Permisi," ucapnya saat hendak berpamitan setelah selesai membersihkan sisa makanan.
"Kamu dibebas tugaskan hari ini karena aku dan Kangmas akan seharian berada di kamar. Tutup saja pintunya dengan rapat," titah Prameswari.
Sekar mengangguk lalu keluar. Setelah itu dia bergegas menuju dapur untuk membawa piring kotor. Perutnya sendiri sudah kelaparan karena belum diisi sejak pagi.
"Sini Kakang bantu, Nduk."
Sekar menoleh dan mendapati Arya, si panglima baru menyapanya.
"Ndak usah. Aku bisa bawa sendiri," tolaknya halus.
"Jangan menolak bantuan, Kar."
"Tapi aku bisa membawanya sendiri. Ndak perlu dibantu," tolaknya lagi.
Arya tertegun sesaat. Lelaki itu sudah berulang kali mencoba mendekati Sekar. Namun, reaksi gadis itu tetap sama, dingin dan abai. Padahal dia lebih tampan daripada Kamandanu. Sayangnya, sedikitpun Sekar tak mau menoleh.
Arya berpikir sejenak dan mencari cara bagaimana mereka bisa berduaan lebih lama. Padahal dia hanya ingin berbincang dan mengenal Sekar lebih dekat.
"Kalau begitu Kakang antar sampai dapur," tawarnya lagi.
Sekar menatap Arya dengan raut wajah tak suka. Ada banyak lelaki yang mendekatinya sejak Kamandanu menghilang. Namun, dia sudah menolak secara halus. Hanya dua orang yang masih bertahan sekalipun dia sudah menolak, yaitu Arya dan Wijaya.
Rasa cintanya kepada Kamandanu tak semudah itu menghilang. Entah butuh waktu berapa lama untuk melupakan, Sekar sendiri juga tak tahu. Hanya saja dia tak ingin dipaksa. Siapa nanti lelaki yang akan membuatnya jatuh cinta lagi, biarlah waktu yang menjawab.
"Jangan galak-galak, Kar. Kakang jadi makin sayang," kata Arya menggoda.
Mendengar itu, Sekar tiba-tiba saja mendapatkan ide untuk mengerjai lelaki itu. Dia meletakkan nampan di tangan Arya, kemudian berkata, "Kalau begitu, Kakang saja yang mengantar ini ke dapur. Aku mau kembali ke kamar."
"Tapi, Kar--"
"Katanya mau membantu. Jadi begitu saja."
Sekar segera berlalu dan meninggalkan Arya sendirian. Lelaki itu menjadi geram dan berguman dalam hati.
"Tunggu saja. Cepat atau lambat kamu akan jadi milikku, Kar. Jika saat itu tiba maka kau tak akan kulepaskan lagi."
Arya berjalan menuju dapur dan membalas sapaan orang orang yang keheranan dengan anggukan kepala. Seumur hidup, baru kali ini dia dipermalukan.