bc

Selir Sang Pangeran

book_age16+
245
IKUTI
1.0K
BACA
HE
forced
arranged marriage
arrogant
prince
princess
blue collar
bxg
lighthearted
campus
like
intro-logo
Uraian

Kisah seorang gadis yang menjadi selir dari seorang pangeran muda, Raden Wijaya. "Maaf, Raden. Tapi aku tidak bisa menerimanya. Aku mencintai laki-lain lain." Sekar "Kita memang bersahabat sejak kecil. Tapi statusmu sekarang adalah selirku. Jadi aku bebas melakukan apa saja, termasuk ... menidurimu." Raden Wijaya "Sekar, aku mencintaimu sampai mati." Kamandanu

chap-preview
Pratinjau gratis
Awal Bermula
Tanah Jawa pada masa itu. "Jangan lari atau aku akan menangkapmu!" Terdengar suara seorang anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun sedang berteriak kepada anak perempuan yang berusia dua tahun lebih muda. "Kalau begitu Raden jangan menggelitikku," jawab anak perempuan itu dengan bibir ditekuk. "Kita sedang bermain dan kau kalah. Sudah menjadi kesepakatan, siapa yang menang boleh melakukan apa saja kepada yang kalah," ucap anak laki-laki itu. Tadi mereka bermain adu jari dan si anak perempuan yang kalah. Sebagai hukuman, anak laki-laki yang dipanggil raden itu memilih untuk menggelitiknya. "Apa tidak ada hukuman lain?" "Apa kau mau aku memukulmu atau membalutkan pupur?" pancingnya. Bibir itu menyeringai licik, sementara matanya mengerling nakal. Anak perempuan itu menggeleng. Tentu saja dia tidak mau. Jika kepalanya dipukul pasti rasanya sakit. Jika dibalurkan pupur, tentu saja dia akan menjadi bahan ejekan anak yang lain. "Kalau begitu diamlah. Biarkan aku melanjutkan hukumanmu!" titahnya. Anak perempuan itu terdiam dan menunduk. Dia tidak boleh membantah perintah raden. Sekalipun mereka setiap hari bermain bersama, tetap saja status mereka berbeda. Raden adalah anak raja, pemimpin di wilayah ini. Anak perempuan itu beruntung bisa berada di lingkungan keraton, karena ayahnya seorang kusir kereta. Sehingga mereka diizinkan tinggal di sini. Sementara itu, ibunya bekerja sebagai juru masak di dapur. Anak perempuan tidak disekolahkan karena kastanya rendah. Jadi, setiap hari dia hanya bermain dengan teman-teman sebaya, termasuk salah satu pewaris dari keraton ini. Kanjeng ratu tidak pernah marah jika putranya bermain dengan siapa saja, asalkan tidak berbahaya atau keluar dari lingkungan keraton. "Tapi ndak boleh lama. Aku ndak tahan. Nanti bisa mengompol di celana," katanya dengan wajah polos. Anak laki-laki itu terbahak-bahak mendengarnya. Lalu, dengan perlahan dia berjalan mendekat. "Pejamkan matamu!" Dengan sedikit rasa takut, anak perempuan itu menutup kedua kelopak mata, pasrah jika memang sang raden akan melakukannya. Lalu, dia tertawa geli karena sang raden mulai beraksi. Mereka bercanda dan saling mengejar, bermain selayaknya anak-anak hingga senja menjelang. Saat mereka masih asyik berlarian, tiba-tiba saja seorang pelayan datang menghampiri. "Raden, hari sudah mau gelap. Apa sebaiknya kita pulang?" "Tapi aku masih ingin bermain." "Nanti Raden dicari Kanjeng Ratu," bujuk si pelayan. Anak lelaki itu tersenyum masam karena kecewa. Tentu saja dia tidak ingin ditegur oleh ibunya. Bisa bermain bersama Sekar saja dia sudah merasa senang. Jangan sampai dilarang karena pulang terlalu malam. "Aku mau pulang sekarang. Nanti Kanjeng Ratu mencariku." Sekar tersenyum dan berkata, "Kalau begitu, besok kita berjumpa lagi." Merekapun akhirnya berpisah. Sekar kembali ke pondok, tempat di mana dia tinggal bersama orang tuanya. Sementara anak laki-laki itu kembali ke keraton dengan dikawal oleh para pengawal dan pelayannya. *** Sekar remaja membuang pandangan, ketika sosok Wijaya datang menghampirinya. Lelaki itu mengatakan sesuatu yang membuat hatinya perih. Namun, dia harus menerima kenyataan bahwa itu akan terjadi. Berita di keraton sedang ramai. Banyak yang mengatakan bahwa Wijaya akan pergi. Entah ke mana belum ada yang tahu hingga ada pengumuman resmi. Sekar masih menunggu sahabatnya datang untuk memberitahu apakah berita itu memang benar atau hanya bualan. Benar saja, tak lama sang raden mengajaknya bertemu. "Raden mau pergi?" tanya gadis itu sesegukan. Sejak tadi matanya berkaca-kaca karena rasa sedih yang menyelimuti hati. "Aku akan pergi merantau untuk belajar. Kanjeng Gusti pernah berkata bahwa kelak aku yang akan mewarisi tahta." "Tapi kita akan berpisah," isaknya. Air mata Sekar tak dapat dibendung lagi dan mulai menetes dari kedua sudut matanya. "Hanya sebentar, Kar. Tiga tahun. Setelah itu aku akan kembali menemuimu." Wijaya ingin merengkuh Sekar tetapi gadis itu menolak. Mereka sudah akil baliq sehingga tak boleh bersentuhan dengan lawan jenis. Hal itu secara terang-terangan dilarang. Bisa bertemu hari ini saja mereka sudah senang karena harus mencuri-curi kesempatan. Sekar meminta izin untuk mencuci baju di kali sebelum matahari tenggelam. Sementara Wijaya mengatakan ingin memancing ikan sebelum keberangkatannya. "Raden ndak akan lupa kepadaku, kan?" tanya Sekar. "Ya ndak, lah. Kamu itu sahabatku sejak kecil. Mana mungkin aku lupa," bujuk Wijaya. "Mengapa Raden harus merantau. Apa ndak bisa sekolah di sini saja?" tanya Sekar dengan wajah polos. Dia bahkan tak bisa membaca. "Pendidikan di tempat lain lebih baik daripada di sini. Kanjeng Ratu ingin aku mengenal berbagai macam budaya," jelas Wijaya sabar. "Tapi pangeran dan dan putri lain bersekolah di sini," rajuk Sekar. Wijaya tergelak. Kakak lelaki dan perempuannya memang menempuh pendidikan di dalam kota. Hanya dia yang akan dikirim ke luar karena ratu telah merencanakan sesuatu. "Tapi, hanya aku satu-satunya anak sah dari Kanjeng Gusti." Sekar terdiam lalu mencebik. Gadis itu ingin memukul Wijaya karena kesal. Perbuatannya itu mengakibatkan sang raden menjadi gemas dan mencekal lengannya. "Lepas, Raden. Nanti ada yang melihat," tolak Sekar halus. Wijaya mengulum senyum. Sejak dia mendapatkan mimpi dewasa untuk pertama kali, wajah Sekar selalu terbayang-bayang di benaknya. Rasa cinta mulai muncul sekalipun gadis itu hanya anak seorang kusir. Sayangnya, ratu mengetahui hal itu melarang keras dengan alasan tanggung jawab kepada keraton. Lagi pula mereka hanya boleh menikah dengan golongan yang sederajat. Hanya putri yang boleh menjadi istri sah dari para pangeran. Orang tua Sekar hanyalah pelayan yang diwariskan secara turun temurun. Sehingga Wijaya hanya boleh mengambilnya sebagai selir. Itupun tak akan mengubah status sosial orang tua mereka jika mereka menikah. Bagi seorang abdi, seumur hidupnya akan mengabdi kepada keraton dengan posisi yang sama. "Aku sudah meminta kepada Kanjeng Ratu agar kamu bekerja di keraton sembari menungguku pulang," ucap Wijaya tenang. Namun, tangannya masih menggenggam jemari Sekar dengan erat. Mata Sekar berbinar. Gadis itu menutup mulut karena tak percaya. Ternyata Wijaya sudah merencanakan sesuatu, agar kelak mereka bisa tetap bisa terhubung walaupun berpisah jauh. "Aku akan rutin mengirim surat kepada Kanjeng Ratu. Sehingga kau masih bisa mendengar beritaku dari seberang." Sekar mengangguk senang. Wajahnya yang sejak tadi suram kini berubah menjadi bahagia. Senyum manis melengkung di bibir mungilnya. Bibir yang ingin Wijaya kecup sejak dulu. "Bekerjalah yang rajin, Kar. Suatu saat akan ada imbalan yang manis untukmu," janji Wijaya. "Kalau begitu ... pergilah," lirih Sekar. Wijaya melepaskan cekalannya dan berjalan menjauh. Tak ada satupun ikan yang dia bawa pulang karena itu hanya memang alasan. SEmentara itu Sekar masih terdiam sembari menatap sosok sahabatnya yang menghilang dari kejauhan. Air matanya kembali luruh. Gadis cepat-cepat menghapusnya dan kembali mencuci. Dia tidak mau dimarahi karena telah berbohong. *** Waktu berlalu dengan cepat. Sejak kepergian Wijaya, hidup Sekar menjadi sepi. Meskipun ketika mulai remaja mereka diharuskan menjaga jarak, tetapi sesekali masih bisa bertemu. Setiap hari Sekar menyimpan rindu kepada Wijaya dalam diam. Lalu dengan sabar menunggu kabar dari lelaki itu. Setiap ada surat yang diantarkan, dia akan berpura-pura membawa makanan ke kediaman ratu hanya untuk menguping. Satu bulan berlalu. Hampir setiap minggu surat dari Wijaya datang. Para dayang akan membagi cerita kepadanya setelah mendapatkan izin dari ratu. Hal itu berlangsung terus menerus hingga memasuki bulan kelima. Hingga pada bulan keenam, tak ada berita apa pun dari Wijaya. Ratu berkata bahwa putranya akan mengikuti ujian. Jadi pikirannya tak boleh terbagi. Utusan yang menjenguknya juga berkata hal yang sama. Sekar merasa kecewa, tetapi berusaha menerima. Dia memang tak pantas mengharapkan Wijaya walaupun hanya untuk berteman. Kanjeng Ratu sangat menyukai Sekar, tetapi tidak rela jika jika gadis itu menjadi menantunya kelak. Ada beberapa putri yang sudah dia persiapkan untuk menjadi pendamping hidup Wijaya jika pulang nanti. Lambat laun, Sekar menjadi terbiasa dengan tidak adanya Wijaya yang mengisi hari-harinya. Secara perlahan, dia mulai membunuh rasa rindu itu agar tak menyakiti hati. Gadis itu mulai terbuka dan mencari teman baru untuk menghibur diri. Dua tahun berlalu, Sekar tumbuh menjadi sosok yang cantik dan begitu ayu sehingga banyak yang menyukai. Hingga tibalah masa itu. Raja mengangkat panglima baru yang muda dan perkasa. Sekar yang baru mekar merasakan bunga-bunga cinta di hati. Gayung pun bersambut. Panglima itu juga merasakan hal yang sama. Hanya saja mereka menyimpan rasa itu dalam diam.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Tentang Cinta Kita

read
202.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.3K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.3K
bc

My Secret Little Wife

read
115.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook