Penugasan

1361 Kata
Sekar menunduk saat mendengarkan penjelasan mengenai tugas baru yang akan dia emban. Kemarin, salah seorang pelayan menyampaikan pesan bahwa dia diminta datang dan menghadap ratu untuk menerimanya. "Kamu sangat berbakat dan masih muda. Tidak cocok kalau berada di dapur," jelas ratu. Wanita yang masih terlihat cantik diusia senjanya itu mulai menasihati. "Nggih," jawab Sekar menurut. "Besok, ada tugas baru yang lebih menjanjikan masa depan." Sekar mengangkat kepala dan menatap sang pemilik kekuasaan tertinggi di keraton ini dengan hati berdebar. "Wijaya baru saja menikah. Itu berarti istrinya akan tinggal di sini untuk selama-lamanya. Jadi, dia butuh seorang pelayan untuk mendampingi." Sekar tersentak. Jika boleh memilih, dia rela kalau harus menghabiskan waktu seumur hidup di dapur, daripada harus bertemu dengan lelaki itu. Apalagi harus menjadi pelayan istrinya. "Apakah saya harus menerima?" Sekar menatap sang ratu dengan gamang. Lalu, bisik-bisik terdengar dari pelayan lain yang berada di ruangan itu. Selama ini tidak ada yang berani membantah titah ratu. Sikap Sekar tadi dianggap lancang dan kurang sopan. "Tentu saja. Gajimu akan ditambah. Selain itu, menjadi pendamping putri akan mendapatkan banyak kemudahan yang lain." Sekar kembali tertunduk. Dia sudah tahu apa yang akan menjadi masa depannya jika dia menerima. Ratu sedang mencoba mendekatkannya kembali dengan Wijaya. Pelayan pribadi adalah orang yang akan mendampingi putri atau ratu selama 24 jam penuh. Itu berarti dia akan tinggal di dalam keraton dan mendapat kamar sendiri. Ada banyak yang menginginkan posisi itu. Namun satu yang dia tahu, hampir semua pelayan pribadi akan berakhir menjadi selir pangeran atau raja. Itu, yang Sekar tidak mau. Dia tak ingin menjadi selir Wijaya atau menjadi istri siapa pun. Panglima masih hidup dan dia percaya akan hal itu. "Bagaimana jika saya menolak, Kanjeng Ratu?" Ratu tersentak mendengar jawaban itu. Wanita itu tidak marah, justeru mengulum senyum. Jika sudah begini, tugasnya menjadi lebih berat. Ternyata tidak gampang membujuk Sekar. Jika gadis itu menolak, maka putranya akan merajuk. Wijaya adalah satu-satunya penerusnya. Sedangkan pangeran lain lahir dari rahim para selir. "Sebaiknya kamu pikirkan baik-baik. Ayahmu semakin tua. Apa kamu tega membiarkannya bekerja di istal kuda? Sementara kamu sendiri belum ingin menikah." Kata menikah itu membuat hati Sekar tersayat. Bayangan Kamandanu yang hingga kini belum ditemukan, kembali melintas. Dia teringat akan malam itu, saat sentuhan lembut bibir mereka menyatu. Membuatnya merasa melayang dalam gelombang cinta yang maha dahsyat. "Kamu diberi waktu satu minggu untuk berpikir. Prameswari putri yang baik. Dia terpilih menjadi istri Wijaya bukan hanya karena fisik yang sempurna, tetapi juga ketulusan hati." Sekar masih terdiam mendengarkan. Rasanya dia ingin keluar dari ruangan ini sekarang juga. "Nggih." Hanya itu yang bisa dia jawab. "Kami berharap ada kabar baik nantinya." "Nggih." Eatu menatap Sekar dengan penuh selidik. Sejak tadi gadis itu hanya mengiyakan tanpa banyak berkata yang lain. "Kalau begitu kamu boleh keluar. Jika memang hatimu menerima, maka kamar untukmu akan dipersiapkan." Sekar memberikan penghormatan sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu. Setelah menutup pintu kamar ratu, dia berjalan sedikit menjauh dan bersandar di dinding. Setitik air matanya menetes. Berbagai macam perasaan bercampur aduk di dadanya. Sekar ingin bertanya mengapa takdir mempermainkannya seperti ini. Tak bolehkah dia merasakan kebahagiaan seperti yang lain. Wanita itu merasa kejanggalan ketika pencarian Kamandanu dihentikan. Para sesepuh bahkan mengatakan bahwa kemungkinan jasad lelaki itu sudah dimakan hewan buas jika dibuang ke hutan. Bisa juga tenggelam di dasar sungai jika memang dihanyutkan. Lamunan Sekar terhenti saat ssbuah suara menegurnya. "Kamu?" Sekar mengangkat wajah. Tampaklah sosok cantik Prameswari berada di depannya. Sendiri dan sepertinya hendak menemui ratu karena arah mereka sama. "Ndoro Ayu," sapanya dengan sopan. "Mengapa menangis di sini?" tanya Prameswari heran. Sekalipun dia tak terlalu menyukai gadis itu, tetapi sebagai seorang putri harus bersikap sopan dengan siapa saja. "Ndak ada apa-apa, Ndoro Ayu." "Apa kamu dari kamar Kanjeng Ratu?" tanya Prameswari lagi. "Nggih." "Aku dengar kamu yang akan menjadi pelayan pribadiku. Apa itu benar?" Sekar terdiam dan tak mampu menjawab. "Bukannya kamu yang menari di acara pernikahanku bulan lalu?" Bagaimana Prameswari bisa lupa. Suaminya berdiri dan menatap gadis itu yang sedang menari dengan penuh hasrat. Itu membuatnya sakit hati. Apalagi ketika mendengar kabar bahwa Sekar adalah sahabat suaminya sejak kecil. Prameswari semakin kesal saat ratu justru memilih Sekar sebagai pelayan pribadinya. Itu sama saja dengan mendekatkan gadis itu kepada suaminya. Namun, dia tak bisa membantah. Sebagai menantu di sini, wanita itu hanya diizinkan untuk menuruti semua keputusan. Prameswari tak mau berburuk sangka, tetapi dia harus wasapada. Dugaannya bahwa Sekar akan merebut sang suami semakin kuat saat ratu mengatakan hal itu. Hanya satu yang perlu dilakukan, menyusun rencana agar Wijaya membenci Sekar. Sekalipun dia belum tahu bagaimana caranya. "Nggih," jawab Sekar sopan. "Kamu cantik." Prameswari menatap gadis itu dari atas hingga ke bawah. Secara fisik, Sekar memang begitu ayu. Ditambah tubuh sintal yang padat berisi, itu menjadi daya tarik tersendiri. "Matur nuwun, Ndoro Ayu," jawab Sekar lagi. "Kalau kamu bersedia, maka aku akan senang menerimanya." Prameswari menatap wajah itu dengan senyum. Senyum licik yang Sekar tidak tahu ada maksud lain di dalamnya. "Nggih. Saya permisi." Sekar memberikan hormat kemudian berjalan menjauhi tempat itu. Agak terburu-buru, sehingga tubuhnya menabrak seseorang. "Hati-hati. Dari dulu ceroboh." Terdengar suara seseorang menegurnya. Sekar langsung menjauh saat mengetahui siapa yang ditabraknya. "Permisi, Raden." "Buru-buru?" tanya Wijaya. "Saya mau kembali ke dapur," jawabnya sopan. "Minggu depan sudah siap tinggal di sini, Kar?" pancing Wijaya. Ucapan Wijaya tadi membuatnya kaget bukan kepalang. Sekar menatap wajah tampan itu dengan penuh tanda tanya. Lalu dia berkata, "Saya belum menjawab, Raden." Wijaya mengulum senyum. Sudah menduga gadis itu akan keberatan. Namun, dia yakin kalau ibunya pasti bisa membujuk. "Tapi kamarmu sudah dipersiapkan. Kamar kita," ucap Wijaya santai. Dia sengaja mengucapkannya agar gadis itu terpancing. Sekar menatap wajah Wijaya dengan penuh kemarahan. Dugaanya benar bahwa Wijaya sedang mengincarnya. Entah mengapa dia begitu membenci lelaki itu, padahal dulu mereka dekat satu dengan yang lain. "Kamu kenapa bersikap seperti itu denganku, Kar?" Wijaya merasa tak terima dengan perlakuan gadisnya ini. "Raden telah melecehkan saya," jawabnya kesal. Sekar kembali teringat kejadian waktu itu. Sebenarnya dia merasa senang karena mereka bertemu. Namun, dia tak menyangka jika Wijaya berani berbuat lancang. "Aku khilaf, Kar." Wijaya membela diri. "Kalau begitu jangan diulangi!" katanya dengan tegas. "Aku ndak akan mengulangi," janji Wijaya. "Tapi itu apa maksudnya? Kamar kita?" teriak Sekar tak terima. "Kamu salah dengar, Kar." "Saya belum tuli, Raden!" Wijaya terbahak. Gadis kecilnya ini telah banyak berubah, menjadi pemberani dan galak. "Kamu benar-benar menggemaskan kalau marah begitu." Lalu Wijaya berjalan menjauh, meninggalkan gadis itu sendirian. Sekar sendiri kembali ke dapur dan membantu ibunya memasak. "Tadi kenapa kamu dipanggil Kanjeng Ratu, Nduk?" tanya Ratih. "Ndak apa-apa, Buk. Nanti dibicarakan di rumah saja," jawabnya. *** Sekar menatap kedua orang tuanya dengan gamang. Dia sudah memiliki keputusan sendiri. Hanya saja, gadis itu tak berani membantah titah ratu. "Jadi bagaimana ini, Pak. Bu?" "Terserah kepadamu, Nduk." Daksa menatap putrinya lekat. Ada rasa sedih yang menyelinap di hatinya, jika melihat kondisi Sekar saat ini. Gadis itu kerap menangis di malam hari. Dia dan Ratih berpura-pura tak tahu. Hanya nasihat dan sedikit penghiburan yang bisa mereka berikan. "Aku ndak mau jadi selir, Pak." Daksa dan Ratih saling berpandangan, lalu menarik napas panjang. Sekalipun Sekar tidak bersekolah, gadis itu cukup pintar membaca hal-hal seperti ini. "Kamu mau dijadikan pelayan pribadi, Nduk. Bukan selir." Kali ini Ratih yang berbicara. "Tapi kita semua tau, Buk. Biasanya pelayan pribadi itu akan dimintai menjadi selir," bantah Sekar. "Kalau iya, itu berarti rezekimu. Takdirmu." Sekar menatap ibunya dengan raut wajah kecewa. Gadis itu menbuang pandangan karena merasa kecewa. "Kamandanu sudah ndak ada, Kar. Kamu harus menerima dan melanjutkan hidup." Ratih menatap wajah putrinya dengan lekat. Rasanya dia tak tega mengucapkan ini. Namun, Sekar harus bangkit dan tak boleh hidup dalam bayang-bayang lelaki itu itu. "Buk!" Daksa menyela, tak tega melihat raut wajah Sekar yang berubah setelah mendengar ucapan istrinya. "Dia masih muda, Pak. Aku ndak mau putriku berkubang dalam kesedihan." Mendengar itu, Sekar berlari masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Gadis itu terisak di tempat tidur. Hatinya begitu sakit menerima kenyataan ini. "Kangmas, aku rindu padamu." Jemarinya menyentuh liontin yang melingkar di leher. Juga surat-surat cinta yang berserakan di meja. Sekar masih menyimpannya dengan rapi hingga sekarang. Berharap panglima datang dan memenuhi janji. Cukup lama Sekar terisak. Hingha akhirnya gadis itu tertidur dalam kelelahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN