Hasrat Sang Raden

1406 Kata
Wijaya menatap satu per satu para prajurit yang sedang melakukan latihan kanuragan hari ini. Dia sendiri sudah berlatih sejak usia dini, di mana semua pangeran memang diwajibkan menguasai ilmu bela diri. Hanya saja ilmunya memang lebih mumpuni dibandingkan dengan pangeran yang lain, sekalipun usianya lebih muda. "Raden." Salah seorang pelatih prajurit menyapanya. Wijaya membalasnya dengan anggukkan sembari terus memantau latihan itu hingga satu jam ke depan. Melihat para parajurit tampak bersemangat, lelaki itu menjadi tertarik dan ingin berlatih juga. Sejak pergi merantau untuk belajar, dia lama vakum dari bela diri. Ratu menginginkannya mengusai banyak pengetahuan, tak hanya bela diri dan berkuda. Wijaya bahkan fasih berbahasa asing. "Ayo, Raden! Ikut kami latihan," ajak prajurit yang lain. Wijaya menyambutnya dengan antusias. Lelaki itu langsung membuka pakaian dan membiarkan kulitnya yang cokelat terpapar sinar matahari. Otot-otot tubuhnya begitu liat, dengan perut rata karena kerap dilatih. Wijaya memang tak setampan saudaranya yang lain. Bentuk wajahnya standar, tetapi rahangnya begitu kokoh. Sikapnya yang tenang dan dewasa justru menjadi daya tarik sendiri. Peluhnya bercucuran ketika mengikuti gerakan demi gerakan. Tubuhnya terasa sedikit kaku karena lama tidak dilatih. Namun, rasa suka cita mengalir di dalam darah lelaki itu. Semangatnya berkobar dalam d**a. "Siapa yang mau adu tanding?" Pelatih bertanya ketika latihan telah selesai. Beliau adalah panglima terdahulu yang telah undur diri karena menginjak usia sepuh. Hanya saja fisiknya masih kuat sehingga dipercaya raja untuk melatih para prajurit keraton. Mereka duduk membentuk lingkaran. Sementara yang akan bertarung berdiri di tengah-tengah. Dua orang prajurit memulai aksinya. Mereka saling mengadu kekuatan. Mempraktikkan ilmu yang selama ini dipelajari untuk pertahanan diri. Tidak boleh ada senjata saat adu tanding seperti ini. Mereka hanya akan berbagi pengalaman dan bukan mencelakai teman sendiri. Kekuatan tangan dan kaki serta taktik menghindar serangan lawan adalah kuncinya. Ketika itu telah berhasil dikuasai, maka melakukan serangan balasan sangat mudah dilakukan. Semua prajurit yang menyaksikan adegan itu bersorak riuh memberikan semangat, termasuk Wijaya. Dia memang membumi dan bergaul dengan siapa saja tanpa melihat kasta. Berbeda dengan saudaranya yang lain, yang lebih meninggikan diri. "Raden mau mencoba?" tanya pelatih saat melihat pangeran mereka begitu antusias. Wijaya bahkan bertepuk tangan ketika salah satu dari parjurit memenangkan pertarungan. Lelaki itu ikut bersorak dan berdiri untuk memberikan dukungan. "Siapa yang alan menjadi lawanku?" tanya Wijaya. "Kamandanu," jawab si pelatih. "Mengapa harus dia?" tanya Wijaya heran. "Karena lawan yang sebanding untuk Raden hanya dia," jawab pelatih. Wijaya tertegun sesaat. Beberapa hari tinggal di keraton, membuatnya mendengar kehebatan panglima baru itu. Hanya saja mereka belum pernah betatap muka secara langsung. Dia hanya melihat sekilas pada saat acara penyambutan dan pertemuan di pendopo. "Baiklah. Di mana dia?" Mata Wijaya menatap sekeliling dan orang yang dimaksud sama sekali tak tampak. "Di belakang, sedang melihat kuda. Hamba akan mengutus seorang prajurit untuk memanggilnya," jelas pelatih lagi. "Kenapa dia tidak ikut latihan bersama yang lain?" Wijaya kembali bertanya. Setahunya, sebagai kepala prajurit, Kamandanu diwajibkan untuk membantu latihan setiap hari. "Dia sedang dimintai tolong oleh Daksa untuk melihat kuda-kuda yang bermasalah. Beberapa ada yang mengamuk di malam hari," jelas pelatih. Wijaya terdiam sejenak. Lelaki itu mencoba mengingat siapa orang yang bernama Daksa. Ternyata itu adalah ayah dari Sekar. Berarti gadis itu juga mengenal penglima mereka. "Baiklah, aku akan menunggu sambil melihat yang lain bertarung," kata Wijaya tenang. Satu jam berlalu, muncullah Kamandanu dari balik gerbang. Dia langsung menuju tanah lapangan tempat latihan. "Raden." Kamandanu duduk di samping Wijaya dan menyapanya dengan penuh penghormatan. Tubuh lelaki itu basah karena peluh. Sehingga dia meminta salah satu prajurit untuk mengambilkan kain. "Apa kau siap bertarung denganku?" Wijaya bertanya tanpa basa-basi. Kamandanu pasti sudah tahu alasan mengapa dia dipanggil datang. "Hamba siap beradu tanding dengan Raden," jawabnya mantap. "Kalau begitu, jangan ragu-ragu. Keluarkan semua kemampuanmu. Jangan merasa sungkan atas statusku." Wijaya langsung berdiri dan berjalan menuju ke tengah lapangan. Sikapnya disambut dengan suara riuh dan sorakan dari parjurit yang lain. Tentu saja mereka menjagokam sang pangeran. Sementara itu, Kamandanu sedang besiap-siap. Lelaki itu melepas beberapa atribut yang ada di tubuhnya. Menyisakan sebuah celana panjang yang diikat kuat pada simpul depan. Aba-aba diberikan dan pertarungan pun dimulai. Dua lelaki gagah dan tangguh itu saling beradu kekuatan. Sesuai dengan perintah, Kamandanu akan mengeluarkan semua kemampuannya. Tentu saja dia lebih menonjol karena diasah setiap hari. Wijaya nampak kewalahan menahan serangan. Di bagian akhir, sang pangeran itu terjatuh dan terbanting di tanah. Namun, dia tetap bersikap jantan dengan mengakui kekalahan. Mereka berdua bersalaman sebagai tanda saling mengormati satu dengan yang lain. Setelah semua latihan selesai, mereka kembali ke pendopo dan beristirahat. Di sana telah disediakan berbagai sajian untuk mengembalikan tenaga. Wijaya ikut makan bersama mereka dan melupakan statusnya. Jika nanti ratu menegur karena dia kurang pandai menempatkan diri, maka lelaki itu akan menanggapinya dengan santai. Sementara para prajurit sedang asyik menikmati hidangan. Di dapur para juru masak sibuk mengatur menu apa yang akan dimasak untuk santapan tambahan di pendopo. Mereka tak menyangka jika salah satu pangeran ikut serta dalam latihan itu. Raden tak pantas menikmati hidangan yang sama dengan abdinya. Sehingga menu tambahan itu harus berbeda dan mewah. *** Hari ini dapur begitu riuh. Sejak tadi semua orang panik menghadapi situasi ini. "Kar, antar ini ke pendopo," pinta Ratih, ibunya. Wanita itu tahu bahwa Wijaya sedang ikut bertanding bersama para prajurit. Dalam hati Ratih berdoa, semoga putrinya ini diangkat menjadi salah satu selir istana. Dia tak ingin nasib Sekar sama sepertinya yang hanya bejodoh dengan kusir kereta. Sekalipun suaminya baik. Sekar sangat cantik karena sejak kecil dirawat dan diajari tata krama olrh ibunya. Sekalipun mereka terlahir dari kasta rendah. Oleh sebab itulah, dia menjadi primadona. Banyak lelaki yang ingin memperistri gadis itu, tetapi Ratih menolak. Kepulangan Wijaya membuat harapan baru dalam hati Ratih. Pangeran ketiga itu sejak kecil bersahabat dengan putrinya. Wanita itu berharap Sekar bisa menjadi salah satu bagian dari keluarga inti keraton. "Apa aku juga yang harus mengantar makanan ini, Mbok?" tanya Sekar bingung. "Iya. Karena Raden Wijaya dan Kamandanu sedang bertanding. Jadi, kamu yang harus kesana membawakan makanan untuk mereka," jelas Ratih. Mendengar nama sang pujaan hati disebut, mata Sekar berbinar. Tentu saja dia mau kalau begitu. Bisa bertemu dengan Kamandanu merupakan suatu harapan baginya selama ini. Lelaki itu begitu sibuk hingga jarang terlihat. "Kemarikan nampannya. Aku akan mengantar sekarang juga," kata Sekar dengan bersemangat. Ratih menggeleng melihat sikap putrinya. Dia mengira gadis itu senang hendak bertemu dengan Wijaya. Padahal Sekar menyukai orang lain. "Jangan ganjen di depan Raden. Tetap jaga sopan santun. Ingat itu!" Pesan Ratih sebelum putrinya meninggalkan dapur. Sekar menjawabnya dengan anggukan kepala. Gadis itu dan beberapa pelayan yang lain berjalan beriringan menuju pendopo dan meletakkan nampan berisi aneka makanan di meja panjang. "Kar." Sekar menoleh dan tersenyum saat tahu siapa yang memanggilnya. "Raden," jawabnya sambil menunduk. "Ikut aku dan bawa makanan itu." Wijaya memberikan perintah dan menujuk sebuah nampan berisikan makanan kesukaannya. "Tapi, Raden--" Sekar tampak ragu-ragu. Sejak tadi matanya mencari Kamandanu, tetapi lelaki itu tak terlihat. "Kamu nyari siapa, Kar?" tanya Wijaya heran. Dia pikir, sahabat masa kecilnya itu sengaja datang membawakan makanan untuknya. Sekar bukan pelayan dapur. Dia ditempatkan di bagian lain, yaitu mencuci dan membersihkan ruangan. Karena itulah sewaktu Wijaya datang, dia dan yang lain sibuk merangkai bunga untuk mepercantik dekorasi. "Ndak apa-apa, Raden. Itu--" Raut wajah Sekar berubah kecewa. Apalagi terdengar bisik-bisik dari yang lain bahwa Kamandanu kembali ke istal kuda untuk membantu ayahnya di sana. "Cepat bawa nampannya dan ikut aku sekarang." Sekar menurut dan mengekori Wijaya berjalan menuju keluar. Lelaki itu sengaja ingin berduaan. Sudah cukup lama dia menahan rindu. "Letakkan di sini," titah Wijaya. Sekar menurut dan meletakkan nampan. Mereka kini berada di sebuah pondok kecil di ujung keraton. Agak sepi karena memang jarang didatangi. Bangunannya sebagian juga sudah rusak karena tak pernah diperbaiki. "Kenapa duduknya jauh-jauhan? Bukannya dulu kamu suka sekali menempel kepadaku?" tanya Wijaya. "Itu ndak sopan, Raden," jawabnya. "Kar, aku kangen sama kamu," bisik Wijaya. Lelaki itu menggeser tubuh hingga mereka semakin berdekatan. Raut wajah Sekar berubah. Dia menunduk dan memilih diam, tak menyangka jika Wijaya akan berkata seperti ini. Mereka memang bersahabat. Namun, nada bicara lelaki itu berbeda dari biasanya. "Aku ndak ngerti Raden bicara apa," katanya cepat. Sekar berusaha menjauh tapi lengannya malah digenggam erat. Sementara Wijaya terbahak mendengarnya "Kita sudah sama-sama dewasa, Kar. Kamu pasti tahu apa maksudku." Jemari Wijaya kini meremas tangan halus itu. Sementara itu, Sekar menjadi gugup dan mencoba melepaskan diri. Melihat sikap Sekar yang menolaknya, Wijaya menjadi tersinggung. Lalu, tangannya meraih dagu lancip itu dan menatapnya lekat. Sekar berusaha mengelak, tetapi terlambat. Bibirnya sudah terlanjur disentuh oleh Wijaya dengan lembut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN