Pertemuan Pertama

1039 Kata
Bunyi denting musik mengalum mengiringi sang penari yang gemah gemulai memainkan tangan. Semua mata tertuju kepada sekelompok gadis ayu yang sedang meliukkan tubuh sambil mengibaskan selendang. Tarian yang dibawakan adalah penyambutan dan penghormatan sehingga dimainkan dengan irama pelan dan gerak lambat. Sekar berada di tengah di antara yang lain. Gadis itu memakai kebaya dengan berwarna berbeda karena malam ini dialah yang memimpin tarian. Sejak kecil Sekar memang berlatih menari sebagai kewajiban bagi setiap anak perempuan. Namun, ini pertama kalinya dia diizinkan tampil atas permintaan ratu. Di kiri dan kanan ruangan berderet kursi yang ditempati oleh para petinggi keraton. Raja duduk di singgasana, setelah memberikan kata sambutan saat acara dimulai. Lelaki paruh baya itu diapit oleh permaisuri dan dua selirnya. Para pengeran berada di sebelah kanan. Sementara putri di sebelah kiri. Setelah satu jam meliukkan tubuh, akhirnya tiba di puncak acara. Sekar membawa sebuah kalung bunga yang akan disematkan di leher Wijaya sebagai penyambutan resmi. Jantungnya berdetak kencang. Tadi saat masuk ke dalam ruangan, mereka sempat bertatapan sebelum lelaki itu duduk di kursinya. Sekar berjalan pelan menuju sang pangeran. Gadis itu berdiri di depannya dengan memberikan penghormatan. Wijaya tersenyum melihat teman masa kecilnya yang kini berubah menjadi sesosok gadis cantik yang memesona. Lelaki itu menunduk agar Sekar bisa mengalungkan bunga itu di lehernya. Semua orang bertepuk tangan. Sepertinya sudah terbaca bahwa kelak yang akan menjadi selirnya adalah gadis itu. Mata Wijaya terbelalak saat Sekar mengangkat tangan, sehingga bagian depan tubuhnya terlihat jelas. Lelaki itu menelan ludah, membayangkan sesuatu yang indah. Setelah pengalungan itu selesai, Wijaya kembali duduk dan menikmati acara. Sementara Sekar masih menari dengan lincah bersama yang lain. Gadis itu tak menyadari bahwa diam-diam ada sebuah rencana dalam acara ini. Perjodohan para putri yang akan menjadi istri sah dari sang raden. Sekar masih menari menghibur para tamu yang mulai menikmati hidangan. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada sesosok yang baru saja masuk ke ruangan itu. Kamandanu tampak tergesa-gesa. Sepertinya dia terlambat. Mata gadis itu terus saja melihat. Ketika tatapan mereka beradu, debar di dadanya berdetak semakin kencang. Apalagi di ujung sana Kamandanu membungkukkan badan sambil memberikan senyum yang manis sebagai tanda penghormatan. Sekar semakin tak karuan dibuatnya. Lelaki itu tampak menawan dengan beskap dan celana batik. Tidak ada seragam prajurit. Namun, gadis itu tetap saja suka. Ketika bunyi musik berhenti, Sekar menutup tarian dengan memberikan salam hormat dan kembali ke belakang bersama yang lain. Tubuhnya bermandikan peluh. Udara di dalam ruangan tadi cukup panas karena penuh sesak. Apalagi pada saat sajian dihidangkan. "Pakai ini, biar adem." Salah satu penari memberikannya sebuah kain basah. Sekar membasuh wajah dengan kain itu, lalu mengoleskan sabun untuk membersihkan pupur yang menempel di wajahnya. Perutnya terasa lapar. Ternyata menari di depan orang banyak cukup menguras energi. "Ayo, makan dulu!" Seseorang menyodorkan sepiring makanan kepada Sekar. Isinya nasi gudeg lengkap dengan teh hangat. Raanya jangan ditanya, sudah pasti lezarlt bukan main. Sekar melahap makanannya dengan cepat. Gadis itu tak lupa mengucap syukur sebelum menyuap. Beberapa orang melirik karena cara makannya yang kurang sopan. Biasanya sikap Sekar memang lebih kalem dan tertata. Namun kali ini perut sudah tidak bisa diajak kompromi. Akhirnya gadis itu merasa lega setelah menghabiskan sepiring nasi dan segelas teh hangat. Peluhnya semakin banyak bercucuran. Namun, hanya aroma harum yang menguar dari tubuhnya. Sekar benar-benar merawat diri sekalipun dia hanya pelayan biasa. Berbagai macam lulur menempel di tubuh dan wajahnya jika malam hari tiba. Sekar berkulit kuning langsat, dengan rambut hitam panjang yang tebal. Tubuhnya mungil dan sedikit pendek dari qgadis kebanyakan, tetapi padat berisi dibagian tertentu. Sehingga jika dia berjalan, maka goyangan pinggulnya akan menggoda mata kaum lelaki. "Aku pamit, pulang. Ini sudah malam," ucapnya kepada juru rias setelah mengembalikan kain dan baju yang dipakai untuk menari tadi. "Ini untukmu." Sebuah amplop diselipkan di kembannya ketika hendak keluar. "Apa ini?" tanya Sekar keheranan. Dia hendak mengambilnya tetapi dicegah. "Pesannya nanti dibaca setelah sampai di kamar," kata si juru rias. "Ini dari siapa?" Sekar masih penasaran. Selama ini dia belum pernah menerima surat-surat seperti itu. Lagipula dia belum terlalu lancar membaca. "Sudah nanti saja dibaca. Sekarang kamu pulang. Nanti aku dimarahi kalau kamu kemalaman," kata si juru rias sambil mendorong tubuhnya. Sekar berjalan pelan-pelan. Ini sudah cukup gelap. Sekalipun masih dalam satu wilayah keraton, pondok tempat tinggalnya terletak di belakang gapura utama. Langkah kakinya terseok-seok. Gadis itu menyesal kenapa tadi malah memakai sendal ini. Sekar menatap kiri dan kanan. Bayangan pohon di sepanjang jalan membuatnya takut. Kadang-kadang itu terlihat seperti hantu atau genderuwo yang sering diceritakan ibunya saat masih kecil. Tiba-tiba saja jerit wanita itu tertahan saat ada sebuah tangan yang membekapnya. Sekar meronta dan mencoba melepaskan diri. Gadis itu menduga-duga siapa yang berniat jahat kepadanya. Sungguh berani sekali, apalagi ini masih dalam lingkungan keraton. "Sstttt," bisik suara itu. Tubuh Sekar dibalik dengan cepat dan mata gadis itu terbelalak saat melihat siapa pelakunya. "Raden?" Wijaya mengulum senyum saat melihat raut wajah Sekar yang ketakutan. Lelaki itu menutup mulut untuk menahan tawa. "Kamu lucu sekali kalau seperti itu, Kar," ucap Wijaya memanggil nama kecil sahabatnya. Sekar tersipu malu. Ternyata Wijaya masih saja mengingat itu, padahal sudah lama sekali. "Apa kabar?" Sekar bertanya basa-basi karena tak tahu harus berkata apa. Sudah cukup lama mereka tidak bertemu. Itu membuatnya merasa canggung. "Baik. Kamu sendiri bagaimana? Masih suka ngompol di celana?" tanya lelaki itu menggoda. Sekar terkejut dan refleks memukul lengan Wijaya. Bukannya mengelak, lelaki itu malah menangkap lengan mungil sahabatnya. "Kamu semakin cantik saja, Kar. Tadi aku pangling melihatnya." Wajah Sekar semakin merona. Dia mencoba melepaskan diri. Namun, Wijaya tak memberikan kesempatan itu. Tenaga lelaki itu begitu kuat, sehingga akhirnya dia pasrah. "Ini sudah malam, Raden. Aku mau pulang." Sekar masih mencoba menarik diri. Akhirnya Wijaya menyerah dan melepaskan cekalan tangannya. "Aku antar pulang. Nanti kamu ditangkap wewe gombel kalau sendirian." Dua orang itu tertawa lalu melanjutkan perjalanan sambil bercerita mengenang masa kecil. Langkah kaki mereka terhenti saat tiba di gapura pondok milik keluarga Sekar. Wijaya mengantarnya hanya sampai di situ. "Nanti kita ketemu lagi," ucapnya sebagai tanda perpisahan. Sekar mengangguk lalu masuk tanpa menoleh ke belakang. Wijaya menarik napas panjang. Dalam hatinya berucap, "Andaikan kamu seorang putri, maka detik ini juga aku akan menikahimu, Kar." Setelah bayangan Sekar menghilang, Wijaya berbalik dan berjalan menjauh dari tempat itu. Di wajahnya tersunging senyuman, khas lelaki yang sedang jatuh cinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN