Mobil yang Ervin tumpangi berhenti di depan restaurant tempatnya bekerja. Kepalanya tertunduk saat memasuki restaurant. Beberapa teman kerjanya spontan mengerubuni Ervin seolah dia artis terkenal yang sedang terkena skandal.
“Lo gak apa-apa, Vin?” tanya teman kasirnya. Rahel.
“Emang aku kenapa?” Ervin balik bertanya.
“Lo gak diculik?” tanya pria yang berdiri di sampingnya. Miko.
Ervin menghela napas panjang. Tanpa menjawab pertanyaan teman-temannya, Ervin berjalan ke pojok dan duduk di kursi. Teman kerjanya yang berjumlah lima orang mengikuti Ervin duduk di kursi yang berbeda untuk mendengar penjelasan dari pria itu lebih lanjut.
“Aku gak diculik cuma mau dinikahkan.”
“Apa? Nikah?” ujar teman kerjanya serentak. Beruntung tidak ada tamu jadi mereka aman.
“Iya, aku akan nikah sebentar lagi.”
“Sama?”
“Cewek.”
Kelima temannya menatap Ervin tajam. Jawaban singkat Ervin membuat teman-temannya bad mood. Mereka langsung membubarkan diri saat rombongan anak SMA masuk ke restaurant. Ervin segera beranjak ke ruang karyawan bersiap untuk pulang. Entah kenapa ia tidak semangat untuk over time. Saat Ervin menutup lokernya ia dikejutkan oleh kedatangan Kumar. Pria pendek berkepala plontos itu berkacak pinggang menatap Ervin dengan tatapan menusuk. Helm warna pink Hello Kitty pun masih terpasang di kepalanya.
“Lain kali kalau mau pergi itu bilang-bilang. Saya gak perlu repot-repot ke kantor polisi buat laporan kalau kamu diculik.”
“Eh? Bos dari kantor polisi?” tanya Ervin.
“Iya sudah di depan kantornya, tapi saya balik lagi. Takut, ada banyak polisi,” jawab Kumar. Ervin mengedipkan matanya berulang kali mencoba mencerna apa yang dikatakan bosnya.
“Lah di kantor polisi memang banyak polisi, Bos. Anak SD saja tahu.” Ervin menggeleng heran pada bosnya. “Maaf, Bos. Kalau begitu saya pulang dulu. Permisi. Selamat malam.”
Ervin buru-buru pergi meninggalkan Kumar. Ia akui Kumar adalah bos yang paling peduli pada karyawannya namun juga aneh. Sudah tahu takut polisi masih juga pergi ke kantor polisi.
***
Hari yang tidak ditunggu-tunggu Ervin tiba. Ia tidak tahu menahu tentang pernikahannya tapi pagi ini dua orang pengawal itu berada di depan rumah untuk menjemput Ervin ke acara pernikahan.
Ervin menurut saat ia didandani dan diberikan pakaian pengantin. Tidak ada senyum atau ketegangan di wajahnya. Ekspresi Ervin sangat datar, seperti raga tanpa jiwa. Seperti air tanpa wadah. Bagaikan udara tanpa angin, raganya ada tapi hati dan pikirannya tidak di tempat.
“Tumben banget eike dandani pengantin macam yey dan calon istri. Gak ada manis-manisnya,” ujar orang di depan Ervin. Dia sendiri bingung memanggil orang itu dengan sebutan Mas atau Mbak jadi Ervin hanya bisa diam takut salah bicara. Ia tidak mau ada berita pengantin pria dipukul mas-mas cantik sebelum akad.
“Sudah jangan melamun. Itu sudah ditunggu sama pengawal.”
Ervin menoleh lemas melihat dua pria itu lagi itu lagi. Dengan gontai ia berjalan mengikuti dua pria itu sampai di depan penghulu. Sebuah ide terlintas di kepalanya untuk bisa membatalkan pernikahan ini. Ervin menatap penghulu dengan senyum lebar. Senyum pertama Ervin hari ini. Pak pengulu mengucapkan ijab sambil menyalami tangan Ervin. Dengan tenang Ervin menerima alat pengeras suara ketika penghulu selesai mengucapkan ijab.
“Sa… saya terima nikah dan kawinnya El… Elisa…”
“Elina,” bisik pengawal yang ada di belakangnya.
“Boleh diulang?” ujar Ervin pada penghulu. Lagi-lagi Ervin salah menyebut nama calon istrinya. Terhitung dua kali kesalahan yang ia lakukan. Ervin tersenyum senang. Satu kali lagi ia salah mengucap ijab kobul maka gagal sudah pernikahannya. Dalam hati Ervin tertawa dengan ide cerdasnya. Di saat-saat genting ia masih bisa berpikir brilliant. Ia bersyukur Tuhan memberikan dia otak encer.
Terima kasih Tuhan, sebentar lagi hamba akan terlepas dari pernikahan ini, batin Ervin.
Namun sepertinya Ervin harus mengurungkan niat itu karena semua mata menatapnya tajam. Kaila calon ibu mertuanya sedang menitikan air mata. Belum lagi Tristan yang masih belum pulih dari sakitnya kini menatap Ervin sendu. Dua pengawal yang sejak tadi menjaga jarak di belakang kini duduk menghimpit Ervin. Tatapan mereka mengancam membuat Ervin gemetar.
Tatapan itu seolah menyiratkan sekali lagi kamu salah maka kami akan menghabisimu. Ervin menelan ludahnya susah payah. Badannya kecil kini dihimpit dua pria berbadan besar. Tamat sudah riwayatnya.
Ervin menutup mata saat mengucapkan ijab kobul yang ketiga. Sebuah keajaiban ia bisa mengingat nama panjang istrinya dan menyebutnya dengan lancar tanpa hambatan. Sorakan dari tamu undangan yang terdiri dari para pembantu rumah itu membuat Ervin membuka mata. Ia mengusap leher belakangnya tidak suka saat kata sah menggema. Dalam sekejap statusnya pun berganti. Dia harus mengganti status KTP-nya segera. Itu merepotkan.
Seorang gadis cantik datang dan duduk di samping Ervin. Balutan kebaya putih yang menjuntai panjang membuat gadis itu terlihat anggun. Ervin membuang pandangan ke arah lain namun dengan cepat salah satu pengawal mengarahkan kepalanya untuk menatap sang istri.
Ervin terpana menatap betapa cantiknya gadis itu. Hidungnya kecil mancung, bibir merah merona dan bulu mata palsu yang membuat matanya terlihat lebih besar dan indah. Ervin terdiam sejenak sebelum berdehem untuk menetralkan ekspresinya yang mungkin terlihat aneh.
Gadis itu menarik tangan Ervin. Sentuhan tangan lembut itu membuatnya berdebar. Bukannya mencium tangan Ervin gadis yang bernama Elina itu malah menggigit punggung tangannya. Teriakan Ervin sukses membuat seluruh undangan menatapnya.
“Maaf, habisnya dia buat aku gemas,” ujar Elina dengan senyum lebar. Saat mata mereka beradu, senyum cantik itu memudar. Ervin tahu itu adalah tanda perang. Cincin sudah melingkar di jari manis masing-masing. Tiba saatnya Ervin untuk mencium kening Elina. Ervin menangkup sisi wajah Elina cukup keras membuat bibir istrinya monyong. Elina memejamkan mata saat Ervin mendekatkan wajahnya.
“Aww!” teriak Elina saat Ervin membenturkan keningnya. Elina menatap Ervin dengan mata berkilat marah. Ia tahu Ervin sengaja melakukannya untuk membalas dendam.
“Kamu sengaja, ‘kan?” kata Elina sambil mengusap keningnya yang tidak jauh beda dengan keadaan kening Ervin yang memerah.
“Jangan nuduh orang sembarangan. Aku tidak sengaja.”
“Bohong. Kamu sengaja, ‘kan?” kata Elina lagi.
“Sudah dibilangin tidak sengaja,” sahut Ervin dengan nada tinggi.
Para tamu undangan hanya bisa melihat pertengkaran mereka tanpa berani melerai. Sampai akhirnya Ervin dan Elina menyadari bahwa mereka menjadi tontonan semua orang. Dengan cepat Ervin memeluk Elina sambil memamerkan deretan giginya.Senyum Elina pun tidak kalah manis membuat para tamu menghela napas lega kalau mereka baik-baik saja.
Setelah upacara selesai Elina bergegas pergi ke kamarnya. Beberapa kali pintu kamarnya diketuk membuat ia terganggu. Elina terpaksa membuka pintu kamarnya lebar-lebar. Ervin berdiri di depannya seraya berkacak pinggang.
“Kenapa?” tanya Elina ketus.
“Aku mau pulang,” kata Ervin.
“Ya sudah pulang saja sendiri.”
“Tapi kamu harus ikut. Kamu sudah jadi istri aku sekarang,” kata Ervin.
Elina menolak ikut bersama Ervin. Ia kembali masuk ke kamarnya meninggalkan Ervin di ambang pintu.Setelah Ervin memastikan tidak ada yang melihat, ia kemudian masuk menemui Elina. Gadis itu tidur telungkup di atas kasur empuk king size. Kamar Elina tidak kalah megah dari kamar kedua orangnya.
“Kalau kita tinggal di sini yang ada ayah dan ibu kamu akan terus mengintai kita tiap hari, tapi kalau kamu mau tinggal di rumahku maka kamu bebas. Aku tidak akan melarang apa yang akan kamu lakukan nantinya,” kata Ervin. Elina segera duduk di atas tempat tidur. Terlihat dari raut wajahnya ia tertarik dengan ucapan Ervin.
“Baiklah, aku bersedia pindah ke rumahmu. Ingat biarkan aku bebas.”
Ervin memutar bola matanya. Elina sepertinya akan sulit diajak bekerja sama. Gadis ini terlalu bebas untuk diikat dalam pernikahan.
“Hei,” panggil Ervin.
“Apa?”
“Kamu kuliah di mana? Aku akan mengatur jadwal biar bisa nganterin kamu ke kampus,” kata Ervin. Bagaimana pun juga ia sudah menjadi seorang suami. Walau mereka tidak saling cinta. tapi Ervin tidak mau melalaikan kewajibannya.
“Aku masih SMA. Sebentar lagi akan lulus.” Jawaban Elina sukses membuat mata Ervin melotot ingin keluar. Mengetahui istrinya masih bau kencur membuat hatinya mencelos. Ervin menjambak rambutnya kuat-kuat. Ia merasa masa depannya akan suram.
Kenapa bebanku makin bertambah? batin Ervin.
***
“Ini rumah hantu?” gumam Elina saat melihat rumah yang ada di depannya. Halaman rumah yang kotor oleh daun-daun kering. Ervin tidak sempat merawat rumahnya setiap hari sehingga cat yang sudah mengelupas pun tidak ia hiraukan. Ervin menurunkan semua barang-barang Elina dari mobil. Terlihat Elina tidak menyukai rumah itu. Terlalu menakutkan untuk ditinggali.
Akhirnya Ervin selesai mengeluarkan barang Elina yang total ada delapan koper dari mobil. Ervin heran dengan barang bawaan istrinya yang begitu banyak. Mobil hitam yang mengantarnya lalu pergi. Ervin menepuk pundak Elina membuat gadis itu kaget.
“Itu barang kamu sudah aku turunin dari mobil. Aku masuk dulu mau istirahat,” ujar Ervin berlalu melewati Elina. Dengan cepat Elina menarik lengannya membuat Ervin berbalik menatap Elina.
“Bantuin bawa barangnya ke dalam. Semua kopernya berat-berat,” ujar Elina. Ervin melepas tangan Elina yang mencekalnya. Kedua tangan Ervin masuk ke dalam saku celana. Ia lalu memiringkan kepalanya menatap sang istri.
“Bodo amat.” Ervin berlari ke dalam rumah membuat Elina menghentakkan kaki kesal.
“Suami tidak bertanggung jawab!” teriak Elina. Satu per satu koper itu akhirnya masuk ke dalam rumah. Ervin yang sejak tadi mengintip Elina yang bersusah payah membawa kopernya hanya bisa menahan tawa. Wajah Elina yang kesal sangat lucu menurut Ervin.
Elina mematung untuk meneliti setiap sudut rumah yang akan ia tinggali. Tidak ada yang mewah atau pun terlihat indah di matanya. Pintu kamar terbuka, Ervin keluar lalu bersandar pada tembok dekat pintu.
“Ini kamar aku dan sebelah sana kamar kamu,” kata Ervin sambil menunjuk sebuah kamar yang ada di seberang. “Mulai sekarang jangan ikut campur urusan pribadi masing-masing, kecuali urusan dapur dan rumah yang menjadi urusan bersama. Ada pertanyaan?”
Elina menggeleng membuat Ervin mengacungi jempolnya. Ervin kembali masuk kamar untuk istirahat. Baru saja ia menyamankan dirinya di atas kasur pintu kamarnya diketuk. Ervin berusaha mengabaikannya lalu memejamkan mata kemudian menutup wajahnya dengan bantal. Suara ketukan pintu hilang membuat tidur Ervin kembali tenang.
Ketukan pintu itu kembali terdengar, kali ini lebih keras dari yang tadi. Seakan orang yang ada di luar ingin menjebol pintu kamarnya. Ervin segera bangun. Dengan kesal ia beranjak dari tempat tidur, sumpah serapah ia lontarkan pada orang yang ada di luar. Siapa lagi kalau bukan wanita yang baru dinikahinya tadi pagi.
Saat Ervin membuka pintu lebar-lebar pukulan tangan Elina mengenai dadanya. Elina buru-buru menarik tangannya yang ada di d**a Ervin.
“Maaf, aku kira belum dibuka,” kata Elina.
“Mau apa lagi? Aku mau tidur,” kata Ervin sambil mengusap dadanya yang terasa sakit..
“Aku haus, dapurnya di mana?” tanya Elina. Ervin menunjuk sebuah ruangan yang menjadi dapur di rumah itu. Elina mengikuti arah telunjuk Ervin lalu mengangguk. Tanpa mengucapkan terima kasih, Elina berlalu begitu saja. Ervin menutup pintunya dan mencoba memejamkan mata kembali.
Baru saja Ervin kehilangan kesadaran pintu kamarnya kembali diketuk. Dengan kesal Ervin melempar bantalnya dan membuka pintu dengan kasar.
“Apa lagi?” tanya Ervin pada Elina. Mata Elina mengerjap beberapa kali melihat penampilan Ervin yang berantakan.
“Itu… lemarinya kekecilan. Barang-barangku tidak muat semua,” kata Elina.
“Bukan lemarinya kekecilan tapi barangmu kebanyakan,” jawab Ervin.
“Terserah kamu mau bilang apa pokoknya aku mau lemari baru. Papa ngasi uang, ‘kan ke kamu tadi pagi?” tanya Elina.
“Iya, 10 juta. Itu untuk makan kita berdua sama bayar SPP kamu bulan ini.” Ervin masuk ke kamar mengambil sebuah kertas berwarna kuning yang tergeletak di atas meja. Ia menunjukkan kertas itu pada Elina. “Kamu nunggak sebulan, ‘kan? Kamu ke manakan uangnya?” Ervin mengintrogasi Elina sementara gadis itu hanya bisa tersenyum.
“Buat jajan,” ucap Elina tanpa dosa. Ervin memejamkan matanya. Satu lagi fakta yang baru Ervin tahu tentang istrinya yaitu boros.
“Anggap saja ini hukuman untuk kamu. Tidak ada lemari baru. Sisa barang itu biarkan saja di dalam koper.”
Ervin menutup pintunya, namun ia dengan cepat membuka lagi. Elina yang berjalan menjauh seketika menghentikan langkahnya untuk menatap Ervin.
“Satu lagi, jangan gedor-gedor pintu orang. Ganggu.”
Ervin menutup pintunya rapat-rapat membuat Elina menghentak kaki kesal.
“Dasar nyebelin,” gumam Elina.