Teman Serumah

1513 Kata
Malam menjelang. Untuk pertama kalinya Ervin memiliki teman satu atap. Perut Ervin berbunyi, ia lupa belum makan sejak siang tadi. Ervin keluar dari kamar bertepatan dengan Elina yang keluar dari kamarnya. Sejenak mereka saling bertatapan sebelum membuang pandangan ke arah yang berlawanan. Terdengar suara pintu diketuk. Dengan kecepatan tinggi Elina berlari membuka pintu depan. Seorang pria berpakaian hijau menyerahkan sesuatu padanya. Ervin mendekati Elina. Senyum Elina mengembang saat Ervin mendekatinya. “Aku gak ada uang, kamu yang bayar, ya,” kata Elina lalu pergi meninggalkan Ervin. “Eh, kok aku yang bayar?” Ervin menerima bill dari ojek online. Ia tidak habis pikir Elina memesan makanan seharga dua ratus lima puluh ribu lebih. Dengan terpaksa Ervin membayarnya. Beruntung uang di dalam dompetnya lebih lagi dua ratus perak. Setidaknya dompet itu tidak kosong melompong. Pengirim makanan itu pergi setelah Ervin membayarnya. “Kita perlu bicara,” kata Ervin setelah duduk di depan Elina. Gadis itu mengangguk sambil menyantap makanannya. Steak dengan kentang goreng ditambah saos jamur. Ervin yang melihat cara makan Elina yang lahap tiba-tiba jadi lapar. Beberapa kali Ervin menelan ludahnya sendiri. Ervin mengalihkan tatapannya pada sekotak pizza ukuran sedang. “Papa ngasi uang 10 juta. Dua juta untuk SPP. Sisa delapan juta, uang jajan kamu satu juta dan uang jajan aku dua juta sisanya untuk keperluan dapur, mengerti?” jelas Ervin. Elina meminum sodanya. Ia menelan daging steak dengan susah payah. “Itu tidak adil,” protes Elina. Ia menyingkirkan sebentar makanannya dan fokus pada Ervin. “Uang jajan satu juta mana cukup sebulan? Make-up mau habis, belum lagi biaya rambut di salon. Terus makan sama teman-teman, hang out bareng. Uang segitu mana cukup?” Ervin mencondongkan tubuhnya pada Elina, membuat jarak wajah mereka berdua sangat dekat. “Itu sudah adil. Anggap saja hutang kamu hari ini lunas. Atau kita bagi rata. Masing-masing uang jajan satu setengah juta,” kata Ervin. “Aku setuju, setidaknya adil.” “Kalau begitu kamu harus bayar biaya makanan ini tiga ratus ribu. Biaya nurunin barang dari mobil seratus ribu dan biaya pintu yang kamu ketuk seratus ribu. Total lima ratus ribu jadi sisa uang jajan kamu satu juta,” jelas Ervin membuat Elina melongo. “Jangan mengada-ada. Makanan ini harganya gak sampai tiga ratus ribu, terus nurunin barang masak harus bayar? Terus ketuk pintu harus bayar juga?” “Tentu, semua ada sebab dan akibatnya. Harga makanan sudah termasuk bunga dari pinjaman uang termasuk ongkir jadi totalnya tiga ratus ribu. Tidak ada yang gratis di dunia ini jadi jasa apa pun harus bayar. Kalau masalah pintu kamu ngetuknya terlalu kencang, jadi ada biaya penyusutan yang harus dibayar kalau sewaktu-waktu pintunya rusak. Paham?” Ervin menarik tubuhnya kembali untuk melihat wajah Elina yang melongo. Bibir gadis itu terbuka lebar setelah mendengar penjelasan Ervin. Ia cukup puas melihat ekspresi istrinya yang seperti orang bodoh. “Dasar pelit, pelit, pelit. Mister Pelit,” teriak Elina. Gadis itu kembali menyantap makanannya membuat perut Ervin bergejolak. Mendengar suara perut Ervin membuat senyum Elina terbit lagi. Ia makan dengan penuh penghayatan layaknya iklan makanan di televisi. Selesai dengan steak kini Elina beralih pada sekotak pizza. Ervin hanya bisa menelan ludah saat Elina menggigit nikmat pizza-nya. Ervin mengusap perutnya yang semakin perih. Tidak tahan dengan lapar, Ervin segera pergi dari hadapan Elina. Ia akan memasak makan malam, namun sayang ia tidak memiliki stok bahan makanan. Hanya satu cup mie instan yang menghuni rak dapurnya. Setelah memasak mie instan selesai Ervin kembali ke meja depan dan duduk di depan Elina. Ia makan dengan lahap membuat Elina memanyunkan bibirnya. Cara makan Ervin membuat Elina ingin merasakan mie instan itu. Namun gadis itu segera menghilangkan keinginannya. Ervin tidak akan memberikan secara gratis. Elina menutup pizza-nya setelah kenyang. Ia menatap Ervin yang sudah menghabiskan mie instannya. “Di mana letak kulkasnya?” tanya Elina. “Tidak ada kulkas,” jawab Ervin. “Apa? Terus aku simpan di mana sisa makanan ini?” Elina menatap pizza-nya yang masih banyak. Ervin tersenyum tipis lalu berdeham. “Mau tidak mau harus dihabiskan. Ingat jangan membuang makanan, masih banyak orang kelaparan di luar sana. Membuang makanan sama dengan dosa,” kata Ervin mencoba menahan senyumnya. “Aku sudah kenyang. Harus aku apakan makanan ini?” Elina memanyunkan bibirnya, merasa tidak tega untuk membuang sisanya. “Perlu bantuan?” “Boleh.” Ervin segera menarik kotak pizza, saat ia ingin membuka kotak itu dengan cepat Elina menutup kembali. “Tapi bayar,” kata Elina sembari tersenyum. Ervin menegakkan tubuhnya. “Pilih gratis atau dosa? Sebenarnya aku sudah kenyang setelah makan mie. Tidak masalah kalau kamu mau simpan sampai basi, tapi kamu akan mendapatkan do….” Ervin sengaja tidak menyelesaikan ucapannya. Mata pria itu melirik Elina yang cemberut. Dengan berat hati Elina memberikan sisa pizza itu pada Ervin. Refleks Ervin mengusap kepala Elina membuat gadis itu mematung. Pertama kalinya ada seseorang yang memperlakukannya seperti itu. Ervin makan dengan lahap. Akhirnya malam ini ia tidak jadi kelaparan. *** Sudah menjadi kebiasaan Ervin untuk bangun pagi. Terkadang ia melakukan olahraga sebelum memulai ativitasnya. Pagi ini setelah lari keliling gang rumah Ervin menyempatkan diri mampir ke toko kelontong membeli sebungkus roti tawar dan selai. Ia tidak tahu sarapan apa yang disukai Elina, tapi biasanya orang-orang kaya akan sarapan roti sebagai penganjal perut. Itu menurut Ervin. Dengan langkah santai Ervin masuk rumah, mencuci tangan lalu mulai memanggang roti. Aroma mentega yang meleleh membuat perut Ervin berbunyi. Walau tadi malam ia sudah menghabiskan sisa pizza dari Elina tetap saja perutnya keroncongan pagi-pagi. Ervin menatap jam di ponselnya yang menunjukkan angka 05.43. Dilihatnya kamar Elina masih gelap gulita. Setelah mengoleskan selai pada roti dan memotongnya menjadi beberapa bagian, Ervin kemudian pergi ke kamar Elina. Tidak ada sahutan dari dalam membuat Ervin menduga bahwa gadis itu masih tidur. Ervin mencoba membuka pintunya yang ternyata tidak dikunci. Dengan pelan ia masuk ke dalam kamar lalu mengendap-endap mendekati satu-satunya meja yang ada di kamar itu. Sebuah jam weker Spongebob warna kuning berada di dekat tempat tidur. Sebuah ide jahil muncul di kepalanya. Ervin mengubah jarum kecil itu di angka tujuh setelah itu ia membunyikan jam weker tepat di samping telinga Elina. “Bangun, sudah siang!” teriak Ervin. Elina menggeliat dengan mata tertutup. Ervin memperlihatkan jam weker itu tepat di depan wajah Elina. Seketika mata Elina membola. Ia bergegas bagun dan turun dari tempat tidur dengan panik. “Di mana handukku?” teriak Elina sambil mundar-mandir. Ervin yang melihat Elina panik hanya diam menonton sambil memainkan boneka panda milik istrinya. Kesal karena Ervin tidak mau membantu membuat Elina menendang kaki Ervin sekuat tenaga. “Sakit tahu!” teriak Ervin menatap Elina tajam. “Di mana handuknya?” tanya Elina dengan wajah cemberut. Ervin menunjuk pintu di mana handuk merah muda tergantung. Tanpa membuang waktu Elina segera menyambar handuk itu lalu keluar dari kamarnya. “Kenapa aku bisa punya istri seperti itu?” Ervin bergumam sambil berjalan pincang keluar kamar Elina. Ervan kembali ke dapur membawa sarapan ke ruang depan. Dengan santai ia menyalakan televisi mencari chanel kartun yang ia suka. Tiba-tiba televisi di depannya mati. Ervin mendengkus kesal, bau sabun tercium oleh hidungnya. Ia tahu siapa dalang yang merusak paginya. “Kenapa dimatikan?” Ervin menoleh pada Elina yang berdiri di sampingnya sambil berkacak pinggang. Ervin segera memalingkan wajahnya saat tahu Elina hanya mengenakan handuk yang membelit tubuhnya. Wajah Ervin seketika memerah. “Mr. Pelit bantuin aku cari seragam sekolah ,” rengek Elina. Namun Ervin tidak mengubris, ia asik menyantap sarapannya. Elina menarik tangan Ervin masuk ke kamarnya. Mau tidak mau Ervin harus membantu Elina jika tidak ingin harinya diganggu. Ada tujuh koper yang harus mereka periksa untuk mencari seragam sekolah Elina. “Harusnya kamu persiapkan dari tadi malam,” oceh Ervin sambil membuka koper berukuran kecil berwarna merah. Ervin menatap Elina yang membuang pakaiannya sembarangan, sementara tangannya sibuk meraba isi dari koper itu. Ervin mengernyitkan dahinya saat merasakan benda aneh yang ia genggam. Matanya melotot ketika melihat tumpukan pakaian dalam wanita. Tangan Ervin berada tepat di atas salah satu koleksi bra milik Elina. Wajah dan telinga Ervin seketika memerah. “Itu koper khusus pakaian dalam!” teriak Elina sambil memukul tangan Ervin. Ia segera menutup kembali kopernya. Ervin mengusap tangannya yang memerah akibat pukulan Elina. Seketika suasana menjadi canggung. Namun Ervin segera berdeham untuk mencairkan suasana kemudian kembali membuka koper yang lain. “Ini bukan?” tanya Ervin saat melihat rok abu-abu di antara tumpukan baju. “Akhirnya ketemu.” Elina segera mengambil seragamnya. “Kenapa masih di sini? Aku mau ganti baju, sana ke luar,” usir Elina. Ervin berdiri dengan kesal. Elina bahkan tidak bisa mengucapkan terima kasih. “Istri durhaka,” ujar Ervin saat duduk di depan televisi. Kegaduhan kembali terdengar saat Elina keluar dari kamar dengan penampilan rapi. Ia siap untuk pergi ke sekolah. Tanpa pamit atau mengucapkan sesuatu Elina langsung keluar. Langkahnya terhenti saat melihat matahari yang belum terlalu tinggi tidak seperti jam 8 seperti biasanya. Elina merogoh tas hitam miliknya untuk melihat jam di ponsel. Elina mengeram ketika melihat angka 06.39 terpampang di layar, belum lagi matanya menatap tulisan Minggu di bawah angka itu. “Mr. Pelit nyebelin!” teriak Elina meluapkan kekesalannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN