Ervin menutup hidungnya selama berada di dalam mobil. Dua pria bertubuh kekar yang ada di kanan dan kiri mengapit tubuhnya. Bau badan kedua pria itu membuat Ervin tidak tahan, apa lagi kedua pria itu hanya memakai singlet hitam yang memamerkan otot lengannya tanpa menutupi ketiak mereka.
Kedua pria itu kompak menatap Ervin dengan pandangan menusuk. Perlahan Ervin melepas jepitan tangannya di hidung yang membuat kedua pria itu membuang tatapan ke arah lain. Ervin mencoba menahan napas. Ia tidak mau pingsan dekat mereka. Mobil berhenti di sebuah rumah bertingkat dengan cat putih. Ervin diseret keluar saat kedua pria itu membuka pintu.
Rumah megah bak istana itu terlihat ramai oleh para pelayan berlalu lalang. Ervin disambut dengan senyum ramah oleh para pelayan muda. Sayang, Ervin tidak bisa berlama-lama melihat para wanita cantik bagai bidadari itu karena ia digiring menuju sebuah kamar yang berada di lantai satu. Ruangan itu terbuka. Lagi-lagi Ervin dibuat takjub dengan isi di dalamnya.
Kamar yang luasnya hampir sama dengan total luas rumahnya terlihat sangat mewah. Barang-barang berkilau tertimpa sinar matahari dari jendela yang terbuka. Televisi besar menggantung di tembok. Ervin bahkan merasakan kakinya tidak menyentuh lantai, tapi karpet berbulu.
“Ini surga?” gumam Ervin menatap langit-langit kamar. Banyak lampu-lampu hias yang menggantung di atas sana membuat ruangan itu semakin cantik. Mata Ervin kini tertuju pada sosok pria yang berbaring di atas tempat tidur. Tangannya masih diinfus tapi keadaannya terlihat baik-baik saja. Wanita yang ia lihat seminggu yang lalu di rumah sakit pun menemani pria itu di sisinya.
“Kami sudah membawanya, Tuan,” ujar salah satu pria yang berdiri di samping Ervin.
“Kalian berdua boleh pergi,” perintah pria itu. Ervin sudah terlepas dari dua pria itu. Pintu tertutup kini hanya ada tiga orang yang tinggal di ruangan mewah ini. Ervin hanya diam tidak berani bicara. Ia belum memahami situasi yang terjadi.
“Duduklah.”
Pria itu menatap sebuah kursi kayu penuh ukiran yang ada di samping tempat tidur. Ervin berjalan pelan menuju kursi yang disediakan untuk dirinya. Ia tertegun saat pantatnya untuk pertama kali merasakan empuknya busa yang ada di kursi kayu itu. Duduk berjam-jam pun tidak akan membuat pantatnya bisul.
“Kenapa saya dipanggil ke sini? Kalian siapa?” tanya Ervin memberanikan diri untuk bicara.
“Perkenalkan saya Tristan dan wanita cantik ini istri saya, Kaila,” ujar Tristan memperkenalkan diri.
“Kamu mungkin sudah pernah melihat istri saya di rumah sakit. Saya adalah orang yang menerima donor darahmu,” kata Tristan. Ervin tersenyum lebar saat melihat keadaan Tristan baik-baik saja. Ia senang apa yang ia lakukan bisa bermanfaat bagi orang lain. Ervin mulai menduga-duga alasan mengapa dia dibawa ke tempat ini.
Apa Pak Tristan mau berterima kasih atau mau memberiku hadiah? batin Ervin. Ia tidak bisa menahan rasa bahagianya ketika pikiran itu muncul. Pikirannya berkelana pada kemungkinan hadiah yang akan diberikan Tristan pada dirinya. Mulai dari mobil, rumah, perhiasan hingga uang tunai mulai terbayang di kepalanya, namun Ervin segera mengenyahkan hal itu. Ia tidak boleh berharap imbalan dari pertolongannya. Ervin menolong Tristan dengan ikhlas tanpa berharap imbalan sepeser pun karena baginya menolong adalah ibadah. Dan menolong adalah kewajiban manusia sebagai makhluk sosial.
“Tujuan saya memanggil kamu ke sini adalah untuk menikahkan kamu dengan putri kami satu-satunya,” ucap Tristan.
“Menikah?” Ervin membulatkan matanya. Beberapa kali ia menepuk pipinya untuk segera sadar. Ervin tidak salah dengar. Ia juga tidak sedang bermimpi.
“A-apa maksud Anda? Saya tidak mengenal putri Anda bagaimana saya bisa menikah?” Ervin protes. Ia tidak ingin menikahi wanita yang tidak dicintai. Selama ini Ervin menghindari memiliki hubungan dengan wanita karena ia memiliki prinsip bahwa karir adalah yang utama.
“Kalian akan saling mengenal setelah menikah. Saya juga sudah meminta restu dari ibu dan ayah kamu,” ucap Kaila menimpali.
“Papa sudah meninggal dan mama tidak tinggal bersama saya bagaimana cara Anda meminta restu?” Ervin menatap sengit dua orang di depannya. Ervin tidak suka dengan ucapan Tristan dan Kaila yang seolah tahu kehidupan pribadinya.
“Saya sudah tahu kalau ayah kamu meninggal saat kamu masih SMP. Saya juga tahu dua tahun lalu ibu kamu menikah lagi. Orang kepercayaan saya tidak pernah salah memberi informasi,” kata Tristan.
“Anda memata-matai saya?” Ervin berdiri dari duduknya. Ia marah atas apa yang Tristan lakukan. Tindakan Tristan sudah melampaui batas.
“Duduklah Ervin. Kami minta maaf kalau membuat kamu kurang nyaman. Kami tidak tahu harus mencari kamu ke mana. Alamat yang ada di kartu identitasmu juga berbeda dan itu menyulitkan kami,” jelas Kaila. Amarah Ervin mereda. Ia pun duduk kembali.
“Kami sudah bertemu ibumu. Zemira. Dia mengizinkan kamu menikah. Kamu bisa mengonfirmasinya langsung. Kami juga sudah berziarah ke makan ayah kamu untuk meminta restu dan sepertinya ayah kamu setuju,” kata Kaila. Ervin menaikkan satu alisnya tidak mengerti apa yang dikatakan Kaila. Bagaimana caranya ia tahu kalau ayahnya setuju dengan ide pernikahan konyol ini.
“Dari mana Anda tahu kalau papa setuju?” tanya Ervin.
“Saat saya bilang akan menikahkan kamu dengan putri saya ada bunga kamboja jatuh di makan ayah kamu.”
Makam papa memang ada di dekat pohon kamboja, batin Ervin. Hidungnya kembang kempis saat mendengar cerita Kaila.
“Itu sebuah keajaiban. Ayah kamu pasti setuju,” lanjut Kaila.
Itu bukan keajaiban tapi hal biasa, batin Ervin lagi.
“Aku tidak mau menikah. Aku mau fokus kuliah. Anda tidak perlu merasa berhutang budi padaku karena aku melakukannya dengan lkhlas. Permisi.” Ervin beranjak pergi namun langkahnya terhenti saat Tristan mengerang kesakitan. Ervin berlari mendekati Tristan penuh kepanikan. Kaila tidak kalah sedih saat Tristan memegangi dadanya dan mengerang sakit.
“Aku akan menghubungi dokter,” kata Ervin. Tristan menggenggam tangan Ervin erat.
“Saya tidak tahu kapan ajal menjemput. Saya hanya ingin memastikan putri saya satu-satunya menikah dengan orang yang tepat. Saya memilih kamu sebagai suaminya,” ujar Tristan dengan napas tersenggal. Ervin tidak bisa berpikir jernih, keadaan Tristan semakin memprihatinkan. Mata Tristan pun perlahan menutup.
“Ervin, maukah kamu menikahi putri… saya?” Mata Tristan mulai terpejam membuat jantung Ervin berdetak kencang.
“Baik. Baik. Aku akan menikahi putri Anda,” ucap Ervin. Tristan menarik napas panjang lalu menghembuskan. Ia menatap Ervin dengan senyum lebar. Tidak ada lagi Tristan yang sesak napas seperti beberapa saat lalu. Pria itu terlihat sehat.
“Baiklah pernikahan akan segera dilangsungkan,” ucap Tristan tegas.
“Eh?”
Ervin terdiam kaku seperti patung. Ia menyesali keputusan yang dia ambil secara emosional. Ervin terjebak.