Tidak seperti biasanya Ervin bangun kesiangan. Matahari sudah meninggi membuat Ervin kalang kabut bersiap ke kampus. Disambarnya handuk yang menggantung di belakang pintu lalu berlari ke kamar mandi. Sayangnya pintu kamar mandi terkunci.
“Elina kamu di dalam?” tanya Ervin sambil mengetuk pintunya.
“Jangan ganggu dulu. Perutku lagi sakit,” teriak Elina dari dalam.
“Aku buru-buru Elina. Cepat keluar.”
“Cari toilet lain saja, perutku masih mulas.”
Di rumah ini hanya ada satu toilet. Ervin mengacak rambutnya frustrasi. Sebentar lagi kelas akan dimulai, tapi dia belum bersiap sama sekali. Berkali-kali Ervin menggedor pintu kamar mandi agar Elina mempercepat ritualnya. Pintu akhirnya terbuka, Elina menatapnya tajam.
“Ganggu saja pagi-pagi,” ujar Elina. Ervin mendorong gadis itu untuk masuk ke dalam kamar mandi. Tanpa Ervin sadar Elina berada di dalam bersamanya. Teriakan Elina membuat Ervin mengurungkan niatnya membuka pakaian.
“Kenapa masih ada di sini?” tanya Ervin pada Elina yang sedang menutup matanya.
“Kamu yang dorong aku masuk.” Elina berbalik lalu keluar dari kamar mandi dengan wajah memerah. Ervin menutup kembali pintu kamar mandi kemudian menguncinya rapat-rapat. Tentu dia tidak ingin saat mandi Elina tiba-tiba masuk mengganggunya, walau itu belum tentu terjadi. Waktu adalah hal yang sangat berharga bagi Ervin. Sejak kecil ia hidup dengan disiplin yang tinggi. Bahkan untuk bertemu teman sepermainan, Ervin termasuk orang yang tepat waktu meski ia harus menahan kesal pada temannya yang datang terlambat.
“Ini untuk siapa?” tanya Ervin saat keluar dari kamarnya dengan pakaian lengkap dan tas di punggung. Beberapa kantong belanjaan berjejer di lantai dekat tembok seolah rumahnya menjadi tempat pembagian sembako dadakan.
“Aku beli makanan dan bahan makanan via online. Kamu gak perlu repot-repot masak terus kita gak perlu ke pasar,” jelas Elina.
“Dapat uang dari mana?” Jiwa pelit Ervin merasa terpanggil. Terakhir yang ia tahu bahwa Elina kehabisan uang jajan. Tidak mungkin gadis itu tiba-tiba mendapatkan uang sebanyak ini dalam waktu singkat. Apalagi Elina bukan tipe wanita yang bisa bekerja.
“Minta sama papa.” Elina segera menutup mulut sambil memukulnya berkali-kali.Mata Ervin menatap tajam hingga Elina hanya bisa menunduk.
“Kenapa kamu minta sama papa kamu, Elina?”
“Habisnya kamu gak pernah ngasi aku uang jajan. Aku juga butuh uang untuk keperluan pribadi dan jalan-jalan sama teman. Papa juga senang-senang saja pas ngasinya, kenapa kamu yang marah?” tanya Elina. Ervin menghembuskan napas panjang. Kalau saja ia tidak ingat dengan kelasnya pagi ini mungkin ia akan memberikan siraman rohani pada istri cantiknya.
“Nanti kita bicara di rumah Papa Tristan di jam makan siang,” ujar Ervin sebelum pergi. Elina menghentakkan kakinya kesal. Elina ingun berbuat baik agar Ervin tidak perlu capek-capek masak untuknya, tapi pria itu malah marah.
“Sekalinya pelit dan ngeselin selamanya gak akan berubah!”
***
Seperti janji Ervin tadi pagi kini dia dan Elina duduk berdampingan di depan Tristan. Elina yang sejak tadi bermuram durja tidak sedikit pun menatap Ervin. Walau pria itu tidak pernah melontarkan kata-k********r padanya, tapi Elina tidak suka sikap Ervin yang tidak pernah menghargai usahanya.
“Kalian ada masalah?” tanya Tristan membuka pembicaraan. Ervin menarik tangan Elina, tapi gadis itu menepisnya kasar. Ervin menggaruk kepalanya menghadapi kemarahan Elina untuk pertama kali.
“Saya ingin minta maaf karena Elina sudah meminjam uang kemarin. Saya akan mengembalikannya segera,” kata Ervin membuat Tristan dan Elina menatapnya. Tristan tertawa membuat Ervin menekuk kedua alisnya. Dia baru tahu ternyata Tristan sama anehnya dengan Elina. Ayah dan anak sama saja.
“Jangan dipikirkan, saya senang Elina meminta uang pada saya itu artinya dia masih menganggap saya papanya. Memang seharusnya Elina minta pada saya karena dia masih menjadi tanggungan saya,” kata Tristan sambil menyulut nikotin di bibirnya.
“Tidak, Pa. Elina sudah menjadi tanggung jawab saya, setidaknya untuk urusan uang jajan saya masih bisa menanggungnya walau tidak banyak. Elina adalah istri saya, susah senang akan kita lewati bersama. Walau saya tidak memiliki pekerjaan tetap tapi saya akan berusaha mencukupi kebutuhan Elina,” sahut Ervin. Tristan mematikan rokoknya. Kakinya saling bertumpu dengan tangan mengait di lutut.
“Menikah muda memang tidak mudah, tapi saya salut dengan tanggung jawabmu sebagai seorang suami. Saya tidak salah pilih menantu.” Tristan tertawa kencang. “Tapi jangan terlalu menekan Elina, pelan-pelan saja. Sejak kecil dia sangat manja jadi perlu waktu beradaptasi dengan lingkungan baru.”
Ervin menatap Elina yang kini juga menatapnya. Elina menjulurkan lidahnya seolah sedang mengejek Ervin. Gadis itu merasa senang ketika Tristan membelanya. Setidaknya hal itu bisa membungkam Ervin.
“Elina sayang papa,” ujarnya lalu memeluk Tristan, suaranya dibuat seimut mungkin. Ervin memutar bola mata melihat sikap manja Elina pada Tristan. Saat mata mereka beradu Elina langsung mengubah mimik wajahnya.
Dasar manja
***
Setalah mereka pulang Elina dan Ervin terlibat perang dingin. Tidak ada satu dari mereka yang mau bicara terlebih dahulu seolah mereka adalah musuh bebuyutan. Setiap mereka berpapasan baik Elina atau Ervin saling membuang muka. Tidak tahan dengan sikap cuek seperti itu membuat Ervin menyerah. Ia berdiri di depan pintu kamar Elina lalu mengetuknya.
“Mrs. Bawel buka pintunya!” Ervin mengetuk pintu itu cukup keras tidak lama kemudian gadis itu keluar dari kamarnya dengan wajah cemberut. Ervin berdehem sebelum bersuara.
“Aku minta maaf.” Ervin mengulurkan tangannya. Namun Elina tidak langsung menjabatnya. Elina menatap wajah dan tangan Ervin bergantian. Ervin menarik kembali tangannya saat Elina tidak kunjung menyambut.
“Kamu marah?” tanya Ervin. Lagi-lagi Elina hanya diam tak bersuara sedikit pun. Bahkan gadis itu menatap Ervin sinis.
“Elina!” panggil Ervin cukup keras. Elina menyisipkan rambut panjangnya ke belakang telinganya. Sepasang headset blutooth bertengger di kedua telinganya. Elina melepas dua benda itu lalu menyimpannya ke dalam saku.
“Mr. Pelit mau bicara apa? Aku mau minum air. Haus,” kata Elina. Ervin menggaruk bagian belakang kepalanya. Elina ternyata tidak mendengar apa yang ia katakan tadi. Ervin mengatur napasnya lagi.
“Aku minta maaf.”
“Oh, itu saja?”
“Aku serius Elina.” Elina menggaruk dagunya, kedua mata gadis itu menatap ke atas. Entah apa yang sedang dipikirkan Elina saat ini yang jelas perasaan Ervin merasa tidak tenang. Firasat buruk mulai menghantui. Elina seakan tidak menerima permintaan maafnya.
“Iya, aku maafin tapi dengan satu syarat.”
“Eh? Syarat?”
“Cepat balik badan!” Elina mendorong bahu Ervin untuk memunggunginya. Tanpa aba-aba Elina melopat ke punggung Ervin membuat pria itu hampir terjungkal karena ulahnya. Kedua kaki gadis itu melingkar di pinggang Ervin kedua tangannya mengalung di leher suaminya.
“Gendong aku ke dapur. Goooo!”
Ervin menghela napas panjang lalu berjalan ke dapur sambil menggendong Elina di punggungnya. Gadis ini terlihat kecil, tapi ternyata berat juga.
“Sudah turun,” kata Ervin saat mereka sampai di dapur.
“Gak mau. Ambilin gelas, aku mau minum air.” Ervin terpaksa berjalan ke rak gelas lalu membungkukkan badannya agar Elina mampu meraih gelas itu. Ervin kembali menggendong Elina ke tempat galon yang ada di dekat kulkas. Lagi-lagi Ervin menundukkan tubuhnya saat Elina mengisi gelasnya dengan air.
“Antar aku ke kamar,” perintah Elina. Ervin mengatupkan bibirnya berusaha mengendalikan diri agar tidak berbicara kasar pada Elina. Demi mendapatkan maaf dari gadis itu Ervin terpaksa menggendong Elina sampai di depan kamar. Wajah Elina berseri-seri, rona bahagia tergambar jelas pada paras cantiknya.
“Nah begitukan manis.” Elina mengusap pipi Ervin membuat pria itu mematung. Tangan halus Elina menyentuh kulitnya. Ini pertama kalinya Ervin merasa sebuah kehangatan menjalar ke sekujur tubuhnya. Ervin menahan tangan Elina di pipinya. Matanya terpejam membayangkan sentuhan sang ayah yang selalu mengusap pipinya sebelum tidur.
Ervin merindukan ayahnya. Pria yang menjadi panutannya selama ini. Pria yang mengajarkan Ervin disiplin yang tinggi dan kerja keras serta bertanggung jawab. Walau dulu dikenal play boy, tapi ayahnya hanya memiliki satu istri sampai akhir hayatnya.
Tanpa Ervin sadari air matanya meleleh. Sosok sang ayah membuatnya lemah. Bahkan sudah bertahun-tahun Ervin belum bisa melupakan kesedihan atas meninggalknya sang ayah. Senyum Ervin memudar saat membayangkan batu nisan bertuliskan nama ayahnya. Ayah adalah orang yang sangat Ervin sayangi selain sang ibu.
“Ervin,” panggil Elina lembut. Air mata pria itu mengalir di tangannya. Elina tidak tahu apa yang Ervin rasakan, tapi yang jelas Elina melihat kesedihan mendalam di wajahnya.
Ervin tersadar dari pikirannya. Ia segera mengahpus air mata di depan Elina lalu pergi begitu saja. Elina mengikuti Ervin berjalan ke kamar pria itu. Namun Ervin dengan cepat menutup pintu kamarnya membuat Elina tidak bisa masuk ke dalam. Tangan Elina terangkat untuk mengetuk pintu di depannya, tapi ia mengurungkan niat itu. Ervin butuh waktu menenangkan diri, pikirannya. Elina menunduk lalu menatap pintu itu sekali lagi. Ia pun kembali ke kamarnya dengan perasaan gundah.