Seperti pagi biasa Ervin akan bersiap ke kampus. Kali ini ada yang berbeda dari sebelumnya. Kaki Ervin melangkah pelan mendekati dapur. Suara wajan dan pekikan seseorang membuat Ervin tertarik untuk melihatnya. Elina berdiri di depan kompor sambil memegang spatula kayu di tangan kananya. Ervin melihat gerak-gerik gadis itu sampai akhirnya Elina menjerit histeris. Ervin segera berlari menghampirinya. Ia tidak mau gadis itu membakar rumah.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Ervin setelah mematikan kompor.
“Minyaknya meletup-letup,” ujar Elina sembari memperlihatkan tangannya yang terkena letupan minyak. Ervin segera mengambil kopi dan menaburkannya di tangan Elina yang terkena minyak panas.
“Kalau mau masak pastikan wajannya kering tanpa air. Setelah itu baru masukkan minyak,” ujar Ervin setelah melihat pinggiran wajan masih basah.
“Maaf aku gak tahu.”
“Kamu mau buat nasi goreng?” Ervin melirik sosis, telor dan sayur hijau yang sudah dipotong-potong dekat kompor.
Elina mengangguk. “Aku pengen makan nasi goreng buatan kamu. Rasanya enak,” puji Elina malu-malu. Ervin menarik kursi lalu mendudukkan Elina di kursi tersebut. Setelah melihat jam di layar ponsel setidaknya Ervin memiliki cukup waktu untuk membuatkan Elina sarapan. Ada rasa bersalah saat melihat Elina terluka karena menyiapkan sarapan.
Elina menopang dagunya menatap punggung tegap Ervin dari belakang. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya terangkat, mengulas senyum untuk Ervin.
“Mr. Pelit,” panggil Elina.
“Ada apa?”
Elina menyandarkan tubuhnya di kursi. “Bagaimana tipe wanita idamanmu?” tanya Elina membuat Ervin menghentikan gerakan tangannya.
“Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?” Ervin kembali menuangkan kecap dan penyedap rasa ke dalam wajan. Ia mulai terusik dengan pertanyaan Elina.
“Aku hanya ingin tahu saja.”
“Wanita idamanku gak harus sempurna yang penting dia bisa masak, ngurusin rumah, suka anak-anak, pintar, gak cerewet, bisa berhemat dan pengertian,” jawab Ervin membuat Elina menoleh.
“Ish, itu wanita sempurna.” Elina mengerucutkan bibirnya. “Bagaimana kalau kamu menemukan wanita seperti itu suatu hari nanti?” lanjut Elina.
Ervin berbalik menyajikan nasi goreng buatannya di depan Elina. “Kalau suatu hari nanti aku bertemu dengan gadis seperti itu aku tidak akan melepaskannya.” Ervin menarik kursi untuk duduk bersama Elina.
“Apa artinya kita akan bercerai?”
Ervin menghentikan gerakan tangannya saat ingin menyantap makanan. Ia menodongkak menatap Elina yang kini sedang menunggu jawaban.
“Aku tidak ingin menikah lebih dari satu kali,” ucap Ervin membuat Elina tersenyum. “Aku tidak akan menceraikanmu kecuali kamu yang minta.”
“Aku juga gak mau jadi janda muda,” celetuk Elina.
“Sudah selesaikan sarapanmu setelah itu cuci piring dan wajannya aku mau ke kampus.”
Elina tidak peduli dengan ucapan Ervin. Ia asik menyantap sarapannya. Ervin tersenyum tipis sesekali mencuri pandang pada Elina. Entah kenapa ia merasa Elina memberikan warna dalam hidupnya. Gadis itu telah menghancurkan tatanan jalan masa depan Ervin. Elina bencana sekaligus berkah untuknya.
***
Setelah Ervin pergi Elina kembali mengingat kata-kata pria itu. Dengan senang hati Elina membersihkan dapur. Tidak ada beban yang terlihat saat gadis itu melakukan pekerjaan rumah ia bahkan sesekali bersenandung. Ponsel Elina berbunyi. Nama Varen terlihat di layar ponsel. Dengan penuh semangat Elina menerima panggilan dari pria itu.
“Halo?”
“Elina kamu di mana?”
“Aku masih di rumah.”
“Kami sudah menunggu kamu di sekolah, ada pengumuman dan pembekalan dari salah satu kampus.”
Elina menepuk jidatnya. Ia lupa hari ini ada pembekalan dari beberapa universitas dan pengumuman terkait upacara kelulusan. Elina panik terlebih ia belum mandi.
“Iya, aku akan segera ke sekolah.”
Ponsel dimatikan. Elina membuang sembarang kain yang ia gunakan untuk membersihkan meja. Secepat kilat Elina masuk ke kamar mandi dan bersiap. Ia merutuki dirinya sendiri karena lupa akan jadwal.
***
Ruang kelas terasa sunyi seperti tak berpenghuni. Semua mata mengarah pada papan tulis yang penuh coretan. Andai saja ada nyamuk yang lewat mungkin suaranya terdengar nyaring di ruangan itu. Ervin menoleh ketika Isya menyenggol tangannya. Ervin menoleh pada teman perempuannya.
“Vin,” bisik Isya tanpa menatap Ervin.
“Ada apa?” Suara Ervin tidak kalah kecil.
“Lo mau gak ngajar les setiap Sabtu Minggu? Mumpung gue punya kenalan yang nyari guru les private matematika,” jelas Isya. Ervin ingin menyahut, tapi Pak Supra lebih cepat tanggap. Ervin menunduk berpura-pura mencatat. Pak Supra menatap tajam padanya, tapi hanya sebentar sebelum kembali menulis rumus.
Ervin memberikan secarik kertas pada Isya. Gadis itu membacanya lalu mengacungi jempol. Mereka pun kembali fokus belajar. Dua jam terlampaui. Tidak henti-hentinya Ervin mengucap syukur pada jarum jam yang bergerak cepat.
Setelah keluar dari kelas Ervin segera mencari Isya. Gadis itu terlihat buru-buru ke luar. Ponsel Ervin berdering, nama gadis yang sedang ia cari pun muncul. Saat Ervin ingin mengangkatnya Isya langsung memutuskan sambungan. Pesan pun masuk ke ponsel Ervin.
From :Isya
Sorry cuma miss call, pulsa habis
Ervin tersenyum membaca isi pesan dari Isya. Pesan kedua masuk yang berisi alamat sebuah rumah.
From: Isya
Ini alamat rumah sepupu gue. Sabtu ini lo bisa ngajar dia. Chat saja gue kalau lo sampai di sana biar nanti gue kenalin. Untuk bayaran gue kasi tahu nanti.
To: Isya
Oke
Ervin kembali menyimpan ponselnya ke saku. Langkah kakinya membawa Ervin ke dalam perpustakaan. Inilah tempat ternyaman bagi Ervin selama di kampus. Ia lebih suka menghabiskan waktu untuk belajar atau tidur di perpustakaan. Tempat yang jauh dari kebisingan.
***
Elina menikmati thai tea yang baru dibelinya. Seporsi kentang goreng menemani Elina saat berbincang dengan keempat sahabatnya. Hendra, Gina, Naura dan Varen terlihat serius membaca brosur dari salah satu universitas yang presentasi beberapa menit lalu.
“Kalian sudah memilih kampus yang cocok?” tanya Elina. Kantin tiba-tiba menjadi ramai saat segerombolan pria datang. Varen meletakkan brosurnya lalu meminum thai tea miliknya yang tinggal setengah.
“Aku masih ragu, tapi papa dan mama mendesak supaya aku memilih management,” sahut Varen dengan nada suara lemas.
“Suruh nyokap dan bokap lo yang kuliah,” sahut Gina yang dihadiahi sentilan di keningnya. Gina mengaduh sembari mengusap kening yang memerah akibat ulah Varen.
“Varen gue kasih tahu ya, tersesat itu gak enak. Apalagi empat tahun. Gue yakin kalau lo mau usaha dikit saja pasti nyokap dan bokap lo ngerti,” ucap Hendra.
“Masalahnya kalau Varen nyari jurusan lain dia gak akan dibiayai. Lo ngerti, ‘kan bagaimana kelanjutannya. Apa lagi background keluarga Varen adalah pengusaha,” jelas Naura.
“Jadi Varen mau gak mau harus pilih management?” Varen mengangguk membenarkan ucapan Elina.
“Sebenarnya aku juga berencana masuk jurusan management.”
Elina tersenyum membuat Varen menatapnya lekat. “Benar kamu mau masuk management? Kalau ada Elina aku sih gak terpaksa,” kata Varen membuat Gina dan Naura mencubitnya.
“Emang cinta itu buta,” celetuk Hendra.
“Sudah gak perlu dipikirin lagi, bagaimana kalau sekarang kita jalan-jalan, gue suntuk di rumah,” ucap Gina.
“Maaf, sepertinya aku tidak bisa, hari ini harus pulang cepat.” Semua menatap Elina. Tidak biasanya ia menolak untuk bersenang-senang.
“Tumben, ada apa El?” tanya Varen. Elina tersenyum. Tidak mungkin ia jalan-jalan dengan sahabatnya di saat uang jajannya menipis, terlebih ia tidak sempat meminta uang jajan pada Ervin pagi tadi. Ervin akan marah jika ia menghamburkan uang lagi. Setelah perpisahan mereka di sekolah, Elina memutuskan naik taxi ke tempat kerja Ervin. Walau dia tidak tahu jam kerja suaminya, tapi Elina sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk memberi kejutan pada Ervin.
***
Ervin mengistirahatkan tubuhnya sejenak setelah meng-handle tamu travel. Bekerja sebagai pelayan menguras banyak tenaganya. Apalagi jika tamu banyak maunya, bukan hanya tenaga, tapi pikiran pun ikut lelah.
“Vin ada cewek cantik yang nyariin kamu.” Ervin tersentak saat Miko datang memanggil.
“Siapa?”
“Dia gak mau ngasi tahu namanya. Kamu ditungguin di depan.”
Ervin bergegas menemui gadis itu. Saat melihat Elina berdiri dekat kasir Ervin pun menghampirinya lalu menarik tangan Elina ke luar dari restaurant. Ervin menatap ke dalam di mana dinding restaurant terbuat dari kaca. Ia bisa melihat teman-temannya sedang memperhatikan dirinya. Terlebih Elina masih mengenakan seragam sekolah.
“Kenapa kamu ke sini?”
“Di rumah sepi jadi aku mau nungguin kamu sampai selesai bekerja. Aku juga gak bisa ke mana-mana karena uang jajan mau habis.”
“Tapi kamu masih pakai seragam, kenapa gak diganti dulu?”
“Emang ada yang salah? Aku biasa-biasa saja.” Elina terlihat cuek bahkan ia langsung berlari ke dalam restaurant meninggalkan Ervin. Dengan langkah lebarnya Ervin berhasil menyusul Elina dan membawanya ke belakang. Tempat loker.
“Kamu duduk di sini jangan ke mana-mana. Aku mau kerja lagi, paham?” Elina mengangguk mengerti. Ervin kembali bekerja. Waktu terus berjalan, Ervin merasa lega shift-nya telah berakhir. Buru-buru ia melepas apron dan menghampiri Elina.
Langkahnya melambat saat melihat Elina tertidur dengan posisi duduk. Ervin membuka lokernya mengeluarkan tas dan jaket miliknya. Ervin lalu duduk di samping Elina. Dibawanya Ervin kemudian mengguncang tubuh Elina pelan. Gadis itu menggeliat lalu membuka matanya perlahan.
“Ayo bangun, kita pulang.” Ervin memakai jaketnya, menyampirkan tasnya ke bahu. Elina menggandeng lengan Ervin sambil bersandar pada bahu pria itu. Matanya masih berat untuk bisa terbuka lebar.
“Cuci muka dulu, biar gak ngantuk,” suruh Ervin. Elina melepas pegangannya pada tangan Ervin kemudian masuk ke toilet.
“Aaaa! Dingin!” teriak Elina. Ervin hanya menggeleng mendengar gadis itu berteriak. Ia yakin Elina sudah tidak mengantuk lagi mendengar suara teriakannya begitu kencang. Elina keluar dari toilet dengan tubuh menggigil.
“Gak jadi cuci muka?” tanya Ervin saat melihat wajah Elina yang masih kering.
“Airnya dingin, baru kena tangan sudah menggigil,” jawab Elina. Ervin melepas jaketnya lalu memakaikannya pada Elina.
“Masukkan tangan kamu ke dalam saku biar hangat,” ujar Ervin. Elina menurut, rasa hangat mulai menjalar di tubuhnya. Ervin berjalan mendahului Elina yang kini mengikutinya dari belakang.
“Aku pulang dulu, ya,” ujar Ervin pada teman-temannya.
“Hati-hati di jalan, jangan mampir ke homestay nanti muncul orang ketiga,” goda salah satu teman prianya. Boby. Ervin menggeleng mendengar guyonan temannya. Sejak tadi mereka tidak berhenti untuk menggoda.
Ervin memakaikan helm pada Elina ketika sampai di parkiran. Beruntung Kumar-bosnya- pulang menggunakan mobil sehingga ia bisa meminjam helm pink milik bosnya itu sekali lagi.
“Kamu lapar?” tanya Ervin saat menaiki motornya. Elina mengangguk sebelum naik r. Ervin melajukan motornya meninggalkan restaurant tempat kerjanya. Udara dingin membuat tubuhnya gemetar. Tubuh Ervin menghangat saat Elina memeluk pinggangnya. Ervin melirik tangan Elina yang mengait kuat di perutnya.
Ervin pun menghentikan motornya di pinggir jalan. Beberapa pedagang gerobak berjejer rapi di pinggir jalan. Elina turun dari motor ketika Ervin mematikan mesinnya. Mata Elina menyapu sekitar. Ia tidak nyaman dengan suasana ramai seperti itu. Beberapa orang terlihat berdiri untuk memesan makanan yang mereka suka.
“Ayo makan.” Elina menahan tangan Ervin. Ia menggeleng.
“Jangan makan di sini. Kita cari restaurant saja,” usul Elina.
“Makan di sini juga enak kok. Kamu harus coba.” Ervin menarik tangan Elina, tapi gadis itu berusaha menahannya. Ervin menghembus napas panjang. Ia tahu Elina belum pernah makan di tempat seperti ini.
“Nanti kalau makanannya gak enak aku teraktir kamu makan di restaurant. Itu pun kalau uangnya cukup,” kata Ervin membuat kaki Elina menghentak.
“Aku mau pulang ke rumah papa.” Elina melipat tangannya sambil membuang pandangan ke arah lain. Ervin menggaruk kepalanya. Ia tahu Elina ngambek lagi. Kalau sudah seperti ini ia jadi malas berdebat.
“Iya nanti aku antar, tapi sekarang temani aku makan dulu. Lapar.” Ervin berjalan lebih dulu meninggalkan Elina yang masih berdiri dekat motor. Walau enggan Elina akhirnya menyusul Ervin yang sedang memesan makanan. Mereka duduk berseberangan. Tidak lama kemudian pesanan Ervin datang. Nasi goreng kambing dan sate ayam masing-masing satu porsi.
Ervin makan dengan lahap membuat Elina meneguk ludahnya. Cara makan Ervin membuat Elina lapar sampai-sampai perutnya berbunyi nyaring.
“Buka mulut kamu,” suruh Ervin. Elina membuka mulutnya lebar-lebar lalu Ervin menyuapinya. Mata Elina membulat saat mengunyah makanan yang masuk ke dalam mulut.
“Enak?” tanya Ervin. Elina mengangguk. Dengan cepat gadis itu mengunyah makannya.
“Lagi.” Elina membuka lebar bibirnya. Ervin mengernyitkan dahinya.
“Beli sendiri. Ini makanan aku.” Ervin kembali menyantap makananya tanpa mempedulikan Elina yang kesal.
“Pelit banget,” gumam Elina.