Suara Emas

1044 Kata
Yuza terpesona saat Gisel tampil di panggung, gadis itu menyanyikan sebuah lagu diiringi gitar akustik yang dimainkan oleh Ello. Suara Gisel sangat merdu membuat Yuza langsung jatuh cinta pada pemilik suara emas tersebut. Semua bertepuk tangan di akhir lagu yang Gisel nyanyikan. "Terima kasih," ucap Gisel dengan pipi merona karena malu. Sesungguhnya dia gadis yang tidak suka tampil tapi karena Ello yang memaksa akhirnya Gisel mau juga tampil mengisi acara di pentas seni dan bazar yang Kampus mereka adakan. Gisel terkejut saat Yuza naik ke panggung dan memberikan setangkai bunga mawar warna putih. Mau tidak mau Gisel menerimanya, dia tidak mau mempermalukan sang dosen kalau dia menolaknya. Aksi Yuza mendapat sorak sorai dan tepuk tangan dari semua mahasiswa dan mahasiswi kampus yang hadir. Sontak pipi Gisel kembali merona. "Kan gue bilang apa! Suara loe tuh bagus, Sel. Loe aja yang gak percaya diri. Buktinya semua orang tepuk tangan sampai pak Yuza ngasih bunga mawar sama loe," ucap Ello. "Tau nih pak Yuza pakai acara ngasih bunga mawar segala sih! Bunga bank mau gue," sahut Gisel sambil memandangi bunga pemberian Yuza. Ello mencubit kedua pipi Gisel dengan gemas. "Dasar mata duitan!" Dari kejauhan interaksi keduanya tidak luput dari pengamatan Yuza. Dia tidak pernah ikut campur dengan hubungan orang lain tapi melihat Ello dan Gisel membuat Yuza ingin tahu ada apa di antara mereka berdua, apakah mereka berpacaran? Melihat kedekatan mereka yang begitu akrab dan terkadang terlihat mesra. *** Malam ini Gisel mencari makan malamnya tidak jauh dari apartemennya, dia lagi malas keluar. Gadis itu memilih sebuah Restaurant yang ada di dekat kolam renang. Dengan hanya menggunakan kaos tank top dan celana pendek serta rambut di gulung asal ke atas dan sendal jepit favoritnya. Dia hanya membawa dompet dan ponselnya. Sesimpel itu penampilannya keluar dari unit apartementnya. "Ternyata suasana malam hari di sini bagus juga, romantis," monolog Gisel. Gisel duduk di sebuah meja yang tidak jauh dari area kolam renang, lampu kecil-kecil yang di tata di antara pepohonan membuat suasana tambah romantis. Seorang pelayan restaurant mendekati Gisel dan memberikan daftar menu. "Silahkan, Kak," ucapnya sambil berdiri dengan kertas kecil dan pulpen siap menerima pesanan pelanggannya. "Sop iga plus nasi seporsi, minumnya es teh manis 2. Makan di sini," ucap Gisel. Pelayan itu mencatat dan mengulang pesanan Gisel. Gisel mengangguk. "Ditunggu ya, Kak. Pesanannya segera di buat," ucap sang pelayan. "Makasih," Byuuurrr! Gisel dikejutkan suara seseorang loncat ke kolam renang dan berenang dari satu sudut ke sudut satunya sepanjang kolam renang itu. "Malam-malam berenang? Orang aneh!" gumam Gisel. Tidak lama pelayan tadi datang dengan nampan di tangannya, pesanan Gisel langsung dia taruh di meja. "Makasih, Mas," ucap Gisel karena pelayan itu sudah menyiapkan semua pesanan Gisel tanpa kurang satu pun. "Sama-sama, Kak. Kalau ada lagi panggil saya aja," balasnya. "Pesan satu porsi yang sama seperti dia, tapi pakai es jeruk." Suara bariton Yuza mengagetkan Gisel, bagaimana bisa sang dosen ada di sana semalam ini hanya dengan menggunakan baju handuk dan rambutnya basah. Dia kah tadi yang berenang? Pikir Gisel. "Pak Yuza," sapa Gisel. Yuza tersenyum sambil menyisir rambutnya kebelakang dengan tangannya. "Kamu tinggal di sini juga?" tanya Yuza. Dengan santainya pria itu mengambil satu gelas es teh manis punya Gisel dan meminumnya. "Iya, Bapak tinggal di sini?" Gisel bertanya balik. "Yup, kalau gak ngapain saya berenang di sini malam-malam begini. Eh! Silahkan di makan, selamat makan," ucap Yuza. "Saya tunggu pesanan Pak Yuza datang aja," "Kamu mau makan malam bersama saya ya?" Goda Yuza. Gisel terkekeh. "Saya hanya gak enak jika makan duluan nanti Pak Yuza ngiler," balas Gisel. Yuza mengulum senyumnya, ternyata gadis ini bisa membalas candaannya. Gisel tidak sepolos yang Yuza kira. "Bagaimana menurut kamu buku design interior itu?" tanya Yuza. "Ooo buku itu, saya baru baca beberapa halaman. Tapi sejauh ini bukunya bagus," Yuza mengangguk-anggukan kepala menyimak penjelasan Gisel. Tidak lama pelayan Restaurant itu datang kembali membawa pesanan Yuza. "Karena nunggu pesanan aku, makanan kamu sudah dingin. Apa mau tukeran?" Gisel menggeleng. "Sop iga ini bekas saya, Pak." Yuza tidak perduli dengan ucapan Gisel. Pria itu menukar mangkuk sop iga miliknya dengan sop iga milik Gisel. "Aku gak masalah, yang penting kamu bisa menikmati makan malam kamu dalam kondisi hangat. Selamat makan," "Selamat makan," balas Gisel. Yuza dan Gisel menikmati makan sambil ngobrol ngebahas soal pentas seni dan bazar yang dilaksanakan Kampus pagi hingga sore tadi. Yuza merasa Gisel bisa nyambung di ajak ngobrol padahal sesekali Yuza membuka topik obrolan berat tapi gadis itu bisa mengikuti. Gisel gadis yang smart menurut Yuza. Dari saku baju handuknya Yuza mengeluarkan dompet dan membayar semua makanan yang dia dan Gisel makan. "Gak usah, Pak. Saya bayar sendiri saja," ucap Gisel. Yuza mengabaikan ucapan Gisel, dia tetap memberikan uangnya pada pelayan Restaurant itu. "Sudah lah, gak usah sungkan. Anggap saja traktiran dari saya, sebagai perayaan ternyata kita satu apartement." Yuza memasukan lagi dompetnya setelah membayar. Gisel terdiam dengan kening menyernyit. Alasan yang dipaksakan, Yuza juga merasa aneh dengan dirinya. Kenapa saat bertemu Gisel dia menjadi pria yang tidak bisa lancar berbicara apa lagi gombal. Padahal dengan mahasiswinya yang lain Yuza rajanya gombal. "Kamu di lantai berapa?" tanya Yuza saat di mereka di dalam lift, tangannya sudah siap menekan tombol nomer lantai yang di tuju. "Delapan," jawab Gisel. Sesaat Yuza terdiam, dan akhirnya jari telunjuknya menekan angka 8. Hening. Mereka hanya berdua saja di dalam lift itu. Tidak ada percakapan selama di dalam lift, jarak mereka pun berjauhan. "Saya duluan ya, Pak. Makasih atas traktirannya," pamit Gisel saat pintu lift terbuka. Yuza mengangguk. Gisel lebih dulu keluar lift, Yuza mengekor. Tadinya Gisel ingin berhenti melangkah dan bertanya mengapa sang dosen mengikutinya, tapi dia urungkan. Langkah kaki Gisel terhenti tepat di pintu unitnya bernomer 8.8. Begitu juga dengan Yuza. "Pak Yuza, ngikutin saya?" selidik Gisel dengan nada ketus. Yuza menggeleng. Pria itu menunjukan sebuah kartu yang sama dengan milik Gisel. Kartu pengganti kunci yang biasa mereka pakai untuk membuka pintu unit masing-masing. Kedua mata Gisel membola saat dia melihat kartu dengan nomer 8.9, unit Yuza tepat di sebelahnya. Jadi selama ini Yuza penghuni unit sebelah yang selalu berisik setiap malam minggu itu? Seketika bulu kuduk Gisel meremang mengingat suara itu berputar dibenaknya. Gisel tersenyum getir sebelum masuk ke dalam unitnya sendiri. Lalu menutup pintunya. "Dia kenapa?" gumam Yuza. Sambil menggedikan kedua pundaknya lalu Yuza masuk ke dalam unit apartemennya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN