04 : Irina dan Semuanya

947 Kata
Ba’da kami menyantap hidangan lezat itu, Aku bergegas pulang duluan. Antisipasi saja sebelum orang tua marah, sebelum maghrib harus sudah dirumah. Karena aktivitas jin lalu-lalang di jam-jam itu. Menaiki motor supra batok kelapa, jujur aku sedikit malu. Bukan malu tentang Ayahku, tetapi malu masih menggunakan barang orang tua, termasuk hape iphone yang Ayah hadiahkan untukku. Aku tidak pernah mengatakannya kepada Ayah. Dia mungkin sering melihatku menatap tajam orang yang sedang menggunakan iphone, lalu setelah itu mengusap pundakku. Begitulah pengorbanan ayah, hape ini ku gunakan untuk mencari informasi lomba dan tugas sekolah. Selebihnya ku biarkan saja, aku fokus dengan kehidupan yang nyata. “Hufft…Hahh!” samar-semarku bergeming. “Darimana sayang? mama uda siapin loh! hm? darimana?” “Maap ma, udah mamam kok. Ama temen Oliv, si Cantika” “YA ALLAH, iya deh. Ini kan udah senja, kamu mandi yah sayang?” “Iya, Oliv mandi dulu” KRING..KRINGG!!!! “Oliv, ini ada masker gratis buat lo” “Oh makasi, simpen aja ya shella? maap nih” “Dih! lu kan buriq! pake lah biar cantik. Kan ga ada cowok yang suka kalo lo rembes?! ngarti kagak?” Otomatis saja hapeku lemah daya. Hingga, timbul kebencian yang begitu besar untuknya. Sambil membasuh punggungku, terbesit rencanaku untuk tidak kemana-mana, dan menutup diri lebih lama. Sampai ada keinginanku supaya tidak bergaul dengan anak muda murahan itu, dan berkumpul bersama orang-orang Tua saja. Walau pun gaya bicara orang tuaku datar, pasti akan jauh lebih baik, ketimbang telingaku yang memanas mendengar ocehan orang lain. Ku fikir banyak makna kalau Aku… menjadi “bukan siapa-siapa” jika bersama yang tua-tua. Bagiku anak muda banyak gaya, kurang analisa. Banyak bicara, dan sering salah arah. Pokoknya itu ganjen banget kalau ngeliat yang lain sukses, yang rembes malah tambah rembes, contohnya aku ini. Sampai pernah temanku di sekolah, tepatnya di kelas kami yang seperti sampah. Karena sangking busuknya, mengatakan, “Semoga, Bapaku tobat, hufft…” Jadi Aku penasaran kenapa sampai meminta orang tuanya tobat? apa karena orang tuanya berbuat sesuatu? Tanpa berangan panjang, Aku mencoba hati-hati memulai bahasan ini. Jangan sampai aku salah bicara, jangan sampai aku dibuat malu lagi. “Memangnya kenapa?” “Ini loh Oliv, Dia ga ngejalanin syariat agama dengan cara yang bener. Masih suka kumpul ama lingkaran setan, bacain kitab yang ga dianjurkan, dan selalu malam jum’at. Padahal kan ada malam lain? ada bacaan yang lebih dahsyat pahalanya dan manfaatnya untuk di dunia dan akhirat. Menurut lo gimana Oliv?!” “Gua masih ga paham. Bapa lo salahnya dimana sih?” Aku heran dia kan generasi lanjutan, bisa-bisanya meragukan pengetahuan Ayahnya, ini miris sekali. “Dia masih nyampurin tradisi untuk agama, itukan harus dipisah? masih ga paham lo? gua siram sambel ni” dirinya berbicara sambil menepuk meja begitu keras. “Ga gitu Rena. Justru karena tradisi daerah kita bisa kenal agama lebih terbuka loh! Lo ga boleh anggap budaya itu semua ga guna. Tapi inget, agama ga akan sampe ke hati kalau mengucap dengan mudah yang lo pahamin surga, yang orang beda paham ama lo, lo ucap neraka” “Terserah dah ah! Lo sama kaya bapak gua” “Astagfirullah Ren! lo boleh ga percaya sama gua, wajibnya dengerin dan tiru bapa lo” “CUIH! dasar sampah!” Aku ditertawakan teman sekelasku, yang mayoritas berfaham sama dengan yang Rena ucap barusan. Menurutku, agama bisa dijalankan dengan cara apa saja karena penilaian Tuhan berbeda dengan ciptaan-Nya. Aku lain kali berusaha menghindari hal-hal sensitif ini, agar tidak ada lagi ludah yang menempel di pipiku. Selanjutnya yang lebih parah saat aku merias diri. Ada komentar negatif itu, “Gausah lama-lama lo! sengaja ya biar cowo-cowo biar ngintipin lo? bangga amat! dasar pendosa” ujar sahabat Rena, Lena. Aku tidak sekuat wanita yang dihembus debu dari amunisi yang berkarat. Aku tidak se hebat wanita mulia disisi lelaki mulia. Aku… hari itu pasrah antara berhenti sekolah atau pindah ke sekolah yang lain. Ada banyak hal yang tidak ku ketahui tentang agamaku. Namun Islamku tidak sebengis itu, Islam yang ku anut tidak pandai dan mudah menyalahkan yang se-agama apalagi yang beda agama. Hanya beda aliran kah? aku menjadi sampah yang berjalan di tengah selokan? Hanya karena aku jelek kah? aku menjadi sorotan wanita yang tidak berguna? Hanya karena aku bukan siapa-siapa? lalu orang bisa bebas seenaknya? Hanya karena Aku tidak punya keahlian? ga jago belajar ini itu? Hanya karena Aku cuman pandai pelajaran umum kah? Aku jadi diumumkan dan disyiarkan sampai se-pekan? Daripada terus-terusan terjebak, aku mencoba untuk membalas perbuatan mereka. Untuk saja saat itu ada dia, entah? kemana-mana ku cari seperti hilang di telan bumi. Anak kalem yang sempat membela ku saat itu, rumornya tersebar pindah sekolah. Sejak saat itu, bila kelopakku mulai membengkak terlintas lirikan penuh ungkapan. Benar-benar jika ada kesempatan, aku ingin lebih lama dengan pria itu. Tak terasa langit mulai memijit keningku, kantuk yang begitu berat ini memaksaku untuk istirahat lebih lama. *** Jarum jam saling balapan dengan detiknya. Disini sangat gelap, bahkan didepanku ada keran yang subur airnya. Aku tidak mengingat apapun, sungguh. Seperti berada di pipa bawah tanah? Berulang kali aku meneguk ludah, berlari ke arah kiri dari pertigaan ini, aku pun bertemu dengan pria itu. Pria idaman yang ku kagumi, disaat semuanya mengucilkan harga diriku. "K-kenapa kamu disini?" Dia hanya diam dan membawaku terus berjalan. Sedikit lega memang, tetapi tatapannya sangat suram. Dan aku bertanya lagi padanya, "Kita mau kemana, Lan?" "Itu" Rupa-rupanya dia membawaku keluar dari saluran pipa ini. Saat ku usap mataku, mulut ini hanya bisa terkunci rapat. "AHHHHH!" Dia membawa diriku terjun ke jurang, padahal ada jembatan yang menghubungkan ini. "Kenapa? Lana!" "Aku bukan orang baik" "Ga gini caranya!!" BRAKKK!! jelas rasanya tulang ini pasti retak, dibarengi Lana yang hilang tanpa jejak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN