05 : Tutup Kepala

1015 Kata
"Lanaaaa!'' Aku berteriak berulang kali entah kemana dirinya pergi. Ku lihat tempurung lututku menghadap ke samping, nyatanya tidak bisa tertolong lagi. Sementara jeritan beruk saling bersahutan dari telinga kanan dan kiriku. Suara mereka semakin dekat, mereka berkerumun seperti semut yang mendatangi gula. Mungkin mereka berfikir darahku lebih manis dan empuk. Aku hanya bisa menahan napas, dan menutupi wajahku dengan tanah rumput liar ini. Mengenang memori silam tentang ocehan guru pramuka, bila berhadapan dengan jenis simpanse yang satu ini kumpulkan kayu kering dan buat lah api sebesar-besarnya. Mengingat badan beruk sebesar dua kali lipat badan orang dewasa, apalagi cakarnya seperti kuku kuntilanak. Cara itu mustahil ku lakukan, bila ku paksakan aku yakin tulangku akan terlepas keluar. Sialnya satu diantara mereka turun mendekat padaku. Tercium bau busuk, sebagai tanda ia hanya berjarak 1 meter, tidak-tidak, mungkin sudah didepan kepala. Aku rasa tangan gempalnya menjambak rambutku, dan menyeretku ke arah kawanannya. Ku nikmati dengan pasti tanah yang tergesek di hadapanku. Bebatuan kecil menciumi bibirku, alhasil rasa haus dipuaskan oleh darah bibir yang pecah. Sementara mataku buram, aku hanya melihat warna orange dengan posisi badan yang besar, jumlahnya banyak sekali, ku rasa ini akan menjadi kematian yang paling konyol. Tanpa perlawanan, membuktikan aku pecundang yang memalukan. "Lana, Lana, L-Lana kenapa kamu tega sih?!'' pikiranku tertuju kepadanya. Aku hanya bisa berdoa supaya tidak mati sia-sia. "Bangun, aku mau bicara sebentar," ucapnya. Bagaimana mungkin hewan bisa berbicara? Ini bukan dunia fantasi seperti komik kecil dirak perpustakaan sekolah. Tidak mungkin juga ku jawab, mungkin ini hanya jebakan. Dia terus mengulang-ngulang ucapannya, dari suara yang normal sampai berubah melengking. "Kau keras kepala ya?!" Dia kembali menyeretku. Bebatuan kecil dan ranting-ranting yang patah menggulung badan mungilku. Iya, mungkin aku dilahap beramai-ramai. Dahaga ku bertambah, setidaknya diakhir hidup ku rasakan seteguk air putih dan satu makanan sederhana, sebelum eksekusi mati. "Berdiri saja. Jangan buat aku muak!" Aku memakluminya, hewan adalah ciptaan yang t***l. Berbeda dengan rasku yang berakal, seandainya manusia dia akan mengerti keadaanku yang tertatih. Kaki ku saja kutekuk, bila dipaksa lurus untuk berdiri— sudah pasti semakin parah. Kalau aku tidak bisa menikmati hidupku, setidaknya aku bisa memaki dengan bebas. Aku ingin membalas ocehannya, tetapi bibir dan gusiku sudah rusak. PLAKK! Kini pandanganku hanya hitam, benar-benar gelap. Sepertinya tamparan kerasnya mengenai saraf mata dan kepala. Makhluk jadi-jadian? Apa pun jenisnya sekarang aku tidak perduli. Aku hanya ingin proses kematianku tidak dengan penyiksaan. Kalau bisa bunuhlah dulu lalu bagikan dagingku atau dihabiskan sendiri, terserah saja. Ini baju kesayangan. Cardigan, apalagi baju dalaman yang nyaman sudah robek begini. Mungkin ini kenangan terakhir, barusan saja crop top mahalku rusak sempurna. Dalam bagian cerita hidup wanita, aku yakin masuk bagian cerita dengan epilog yang menyedihkan. Menunggu hanya terus menunggu. Adakah sifat heroik? Begitu pun tidak ada. Biarlah sudah sejarah akan mencatat kebodohan pembunuh, sementara aku korban yang bisa di maklumi. Pembunuh yang sesungguhnya mematikan korban dengan satu gerakan,—bila banyak gerakan yang dilakukan ia lah sifat pengecut. "Ini gue, t***l," ''L-Lana?'' "Udah diem. buka mata lo? Bisa ga? Lu kira gue hantu apa?!?'' " Olivv!!'' **** *POV Lana* "Terlalu banyak menghayal juga ga bagus, kebiasaan banget sih," gumamnya. Pingsan begini hal pertama kali terlihat di wajahku. Terus bagaimana? harus kah nafas buatan? Jadi penuh penyesalan dulu nolak ikut tawaran pmr. Hanya ada aku dan anak ini, statusnya tidak berubah juga—dari korban buli sampai hukuman mati. Perempuan sehancur ini masih mampu bernafas. Aku bingung, mungkin ku tutup saja kepalanya, agar dia cepat sadar. Aku bergegas mencari bantuan. Daripada dituduh melakukan hal yang tidak pantas, secepatnya ku kumpulkan air secukupnya. Ingin ku sirami wajah cantiknya ini supaya tidak mempersulit keadaan. Aku juga ingin keluar dari tempat ini. Tetapi hal aneh baru-baru saja buat ku sadar. Anak ini mengalami luka yang cukup parah, kenapa tubuhku normal tanpa sedikit pun lecet? Paradoks mana lagi yang akan terbentuk sekarang? Ku paksa otakku untuk ingat hal apa yang terjadi sebelumnya. Dalam wujud dimensi waktu, mungkin ini pertemuan dua mimpi yang berbeda. Aku takut, kalau ku tinggal dirinya, ia akan disantap hewan buas, atau ditawan oleh pemburu liar. Ginjal memang punya nilai jual yang tinggi, ga heran orang-orang jadi mudah menarik pelatuknya, ya! Nyawa tidak lagi berharga. Penjualan organ tubuh manusia menjadi sarana pendapatan tambahan. Dari pihak manusia yang dititipkan gelar akademik, sampai orang awam yang didesak oleh kebutuhan pribadi, transaksi gelap itu berhasil memuaskan. Ini yang ku takutkan, sebagai langkah pencegahan, bajuku ku sobek menjadi 4 bagian untuk menutupi luka-lukanya. Tak jauh dari tempat anak ni terbaring, ada gubuk tua yang masih berfungsi. Aku mau menaruhnya disitu, lalu bermalam dan menyalakan api unggun. Aku harus tidur diluar gubuk, karena dia seorang wanita. Jujur, selama mencari kayu kering, terlintas dipikiranku untuk mengecup bibir tebalnya itu—namun aku tidak mau juga bersifat sama seperti pemerkosa lainnya. Sebaik mungkin ku layani dia. Sampai dirinya bangun, aku mau cari temanku yang terpisah. Iya, 10 menit yang lalu aku mendaki ke arah gunung ini, kata Resa ada barang tertinggal didekat pohon yang kami beri tanda. Aku kesal, hampir saja ku maki anak itu. Sayangnya Resa dan Banda barusan saja pacaran, itu pun menembaknya saat menaiki tanjakan gunung, menjijikkan, padahal bisa ditempat lain. Saat aku berusaha turun dari ketinggian 1000 kaki, di turunan terakhir pendakian aku terguling ke bawah. Pantas saja aku bertemu dengan anak ini, ya itu anehnya kok tidak ada patah tulang atau pun darah encer? Itulah keanehan yang ku hadapi, sekarang kayu kering sudah terkumpul, semoga ini cukup. "Tcih! Sial!'' aku lupa menutup pintu gubuk itu. Beruk itu berdiri diatas atap gubuk, seraya mengoyak-ngoyaknya. Nafasku jadi agak sesak, aku laki-laki harus berani bertarung! Kalau hari ini aku menghindar, sia-sia pelajaran silat yang pernah jadi bahan pelajaranku. Kalau aku hanya berfikir diriku sendiri, aku menyalakan api disini, anak itu habis pasti disantap. 1 lawan 1, mencurigakan—biasanya hewan jenis ini hobinya keroyokan. Jika pertarungan terjadi, aku pastikan hanya satu pukulan yang mengenainya. Dia bisa saja mematahkan tangan dan kakiku, apalagi mengoyak isi badan. Sampai saat ini aku masih berfikir. Sebelum atap itu rusak total, harus kesana. Hidup atau mati, sebagai umpan atau membawanya lari, adalah pertimbangan akhir yang harus ku lakukan.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN