"Zea, apa yang sedang kau lakukan?"
Patricia Verona menatap heran. Memerhatikan baik-baik sang putri yang tampak tergesa dan sibuk mengemas pakaian serta beberapa barang penting lainnya ke dalam koper yang ukurannya lumayan besar.
Patricia tentu keheranan sekaligus bertanya mau ke mana Zea malam-malam begini. Lagi pula, putrinya itu tidak ada bercerita atau menyinggung apa pun soal rencana untuk bepergian dalam waktu dekat.
"Aku harus pindah, Ma."
"A-apa katamu? Pindah?"
Zea lantas menutup kemudian mengancing kopernya. Menoleh, berusaha menjaga air mukanya agar tetap tenang agar sang ibu tidak khawatir.
Sepanjang jalan pulang tadi, ia terus kepikiran untuk memberi alasan seperti apa kepada sang ibu. Itu sebabnya ia berusaha untuk terus tenang. Detik kemudian, melempar senyum sembari menyahut, "Zea hari ini dapat pekerjaan baru."
"Kau sudah dapat pekerjaan? Di mana, Sayang?"
Patricia semakin penasaran. Tapi, dilihat dari wajahnya, ia juga senang mendengar sang putri akhirnya mendapatkan pekerjaan baru setelah beberapa waktu sempat menganggur karena di PHK oleh perusahaan yang sebelumnya.
"Di salah satu perusahaan milik teman Renata. Dia yang mengenalkanku. Kebetulan temannya ini butuh akuntan muda untuk mengisi jabatan yang baru saja kosong."
"Ah, begitu rupanya." Patricia menganggukkan kepala, paham. "Lantas, untuk apa kau berkemas?"
Sekali lagi Patricia berusaha memahami. Mencari-cari apa hubungannya berkemas dengan diterima kerja di perusahaan baru.
"Karena perusahaan ini berada jauh di Manchester, aku memutuskan untuk sementara waktu tinggal di plat yang sudah disediakan oleh perusahaan. Selain menghemat waktu, aku juga bisa menghemat pengeluaran karena tidak perlu bolak-balik ke sana."
Zea tentu saja membual. Mana mungkin ia berterus terang kepada sang ibu soal dirinya yang setuju menyewakan rahimnya untuk orang lain.
1000% Zea yakin sang ibu akan sedih dan marah kalau tahu apalagi dengar bahwa ia melakukan tindakan ini untuk mendapatkan uang demi menopang biaya hidup dan biaya cuci darah Patricia tiap minggunya.
"Jadi, kau harus pindah? Lalu, Mama---"
"Jangan khawatir," potong Zea buru-buru. "Mama tidak akan sendirian di sini. Renata juga bantu menyarikan satu orang asisten untuk menemani dan mengurus semua keperluan Mama selama Zea bekerja di Manchester. Besok pagi, asisten itu akan datang ke sini."
Patricia masih saja terlihat kebingungan. Menyadari hal itu, Zea pun mendekat dan berusaha untuk menenangkan. Ada rasa kasihan dan tidak tega juga karena setelah malam ini, kemungkinan dirinya akan lama lagi baru bisa bertemu sang ibu.
"Jangan sedih, Ma," ucapnya lirih. Ia raih pergelangan tangan sang ibu lalu digenggamnya dengan lembut. "Zea janji akan mengunjungi Mama di saat libur bekerja. Zea juga akan sering-sering menghubungi Mama saat berada di sana."
Patricia mengangguk lalu tersenyum. Ia peluk, kemudian usap lembut rambut Zea yang tergerai. Rasanya tidak rela melepaskan putri yang sudah 27 tahun ini tinggal bersamanya.
"Mama bukan merasa sedih, Zea. Hanya saja, kasihan kepadamu karena kau harus banting tulang demi menghidupi dan mencukupi semua kebutuhan pengobatan Mama. Sungguh, Mama minta maaf karena sudah merepotkanmu."
Zea kendurkan pelukan Patricia. Ia seka air mata yang tampak jatuh membasahi pipi ibunya itu.
"Ini sudah kewajiban Zea, Ma. Apa pun itu Zea akan lakukan. Yang penting, Mama bisa berobat dan kembali sehat seperti dulu."
Patria mengangguk. Ia kembali peluk dan cium Zea lama-lama, sebelum akhirnya merelakan putri kesayangannya itu pamit dan pergi jauh untuk beberapa waktu ke depan.
Sebenarnya, Zea tidak pindah ke Manchester. Kediaman Jane sendiri berada di kawasan elit Kensington, London. Hanya satu jam berkendara dari tempat tinggalnya bersama sang ibu.
Sampai di kediaman Jane, Zea langsung disambut oleh si pemilik rumah. Supermodel itu bahkan tampak senang, kemudian mengajak Zea untuk segera masuk ke kamar yang sudah ia sediakan.
"Mulai saat ini hingga beberapa bulan ke depan, kau akan menempati kamar yang sudah aku sediakan."
Zea mengangguk. Begitu masuk, matanya langsung memindai ke seluruh sudut ruangan. Ada perasaan takjub kala ia diberikan kamar yang ukurannya dua atau mungkin tiga kali lipat dari kamar studio yang ia tempati sebelumnya.
Ada ranjang ukuran besar, sofa, walk in closet, kamar mandi lengkap dengan bathtub dan pemanas air. Bahkan, tersedia balkon berikut kursi santai untuk dirinya menikmati pemandangan taman bunga serta kolam renang yang berada di samping rumah.
"Untuk sarapan, makan siang, dan makan malam, kau bisa langsung pergi ke ruang makan. Kau bebas meminta makanan apa saja kepada juru masak. Dan bila kau perlu sesuatu, aku juga menyediakan satu asisten untuk membantumu."
Kemudian, terdengar Jane memanggil satu nama. Detik berselang, satu perempuan berumur sekitar tiga puluh tahun datang menghampiri ke kamar.
"Namanya Laura. Dia asisten yang akan membantu semua keperluanmu. Kalau kau butuh apa pun, silakan minta kepadanya." Kemudian Jane menoleh ke arah sang asisten. "Laura, ku minta kau untuk melayani Zea selama dia tinggal di sini. Pastikan semua keperluannya terkecupuki dan tidak kurang satu pun."
"Baik, Nyonya. Saya akan pastikan itu."
Zea mengangguk paham. Tidak ada juga yang bisa ia lakukan selain menuruti apa yang sudah Jane perintahkan.
"Nyonya..." cicit Zea pelan sebelum Jane beranjak pergi dari kamarnya.
"Ya? Kau ingin bertanya sesuatu?"
Zea mengangguk. Selagi ada kesempatan, Zea ingin memastikan hal ini.
"Apakah setelah tinggal di sini, aku tetap boleh mengunjungi ibuku?"
Jane tidak langsung menjawab. Merotasi bola matanya, ia berpikir sejenak.
"Aku rasa selama proses kehamilan, kau tidak boleh ke luar dari rumahku, Zea."
"Tapi, Nyonya---"
"Aku tidak mau sampai publik tahu bahwa ada perempuan hamil di rumahku. Media pasti akan bertanya dan mengorek informasi lebih dalam. Hal ini tentu saja akan memberikan citra buruk untuk karir dan nama besarku. Jadi, sebelum bayi di perutmu lahir, kau tidak boleh kemana-mana terkecuali jadwal rutin untuk pergi ke rumah sakit."
Zea menelan kata-kata yang tadinya berkumpul di ujung lidah. Mendengar ucapan Jane yang tampaknya tidak bisa diganggu gugat, ia pun pasrah menerima kenyataan.
"Kau tidak perlu khawatir. Aku pastikan ibumu baik-baik saja. Lagi pula, sudah ada asisten terbaik yang aku kirim untuk menjaga dan mengurusi semua keperluannya."
Zea menurut. Toh dirinya sendiri yang sudah memilih dan menyanggupi kerja sama antara dirinya dengan Jane. Itu artinya, ia harus siap juga menerima segala konsekuensi yang nantinya akan terjadi.
***
Hari pertama berada di rumah Jane, Zea masih merasa canggung. Terbangun pagi-pagi sekali karena merasa lapar, Zea pun memutuskan untuk mandi, lalu turun ke lantai satu bermaksud untuk pergi menuju ruang makan.
Di sana, ia dapati Laura dan asisten lainnya yang tengah sibuk menyiapkan sarapan.
"Nona Zea?" panggil Laura ketika menyadari keberadaan Zea di sana. "Ada yang bisa saya bantu?"
Seperti orang yang kepergok, Zea mengangguk kikuk. Merasa tidak enak karena terlalu pagi untuk pergi ke ruang makan. Tapi, dirinya tidak berbohong kalau saat ini memang tengah merasa lapar. Semalam, Zea sama sekali tidak makan karena sibuk berkemas dan menyusun pakaian ketika sampai di rumah Jane.
"Apa aku boleh minta segelas susuu dingin?"
Laura tersenyum.
"Tentu saja boleh. Silakan duduk. Setelah menghidangkan makanan, akan aku ambilkan segelas susuu dingin untukmu."
"Hhmm... bagaimana kalau aku ambil sendiri saja?" Zane menawarkan diri. Lagi pula, ia tidak enak mengangguk Laura yang memang sedang sibuk menyusun dan menghidangkan sarapan di meja.
"Jangan, Nona." Laura terdengar melarang. Asisten itu tampak menggeleng. "Biar saya saja yang siapkan."
"Tidak masalah. Aku bisa ambil sendiri. Lagi pula, hanya segelas susuu."
Laura pada akhirnya mengangguk setuju. Ia arahkan telunjuknya untuk menunjuk lemari yang letaknya pas di sebelah kulkas.
"Silakan ambil saja gelas yang ada di lemari. Untuk susunya ada di di kulkas deretan paling tengah."
Zea terlihat paham. Ia buka lemari yang Laura maksud, lalu mengambil satu gelas kaca berukuran tinggi. Detik kemudian, Zea buka kulkas yang berada tepat di sebelahnya. Ia ambil satu kotak s**u fullcream dan langsung tuang ke dalam gelas yang dirinya pegang.
"Perfect."
Zea tersenyum kemudian berbalik badan. Di saat yang sama saat baru selangkah maju, tanpa sengaja dirinya menabrak seseorang hingga s**u di tangannya tumpah dan tentu saja mengenai orang yang ada di depannya.
"Tuan Edgar."
Zea memekik terkejut. Matanya kemudian membola, mendapati sosok Edgar sudah berdiri dan menatap dingin tepat di hadapannya. Lebih parah lagi susuu yang ia pegang berhasil membahasi kaos putih yang pria itu kenakan.
"Ya Tuhan. Maaf, Tuan. Aku tidak sengaja."
Zea sontak menarik tissue yang memang tersedia di sebelah kulkas. Bermaksud untuk bantu menyeka bekas susuu yang mengenai kaos, tapi pria itu malah dengan serta merta menahan tangan Zea seolah tidak sudi disentuh olehnya.
"Tuan, a-aku hanya ingin ----"
Edgar menggeleng. Ia hempas pergelangan tangan Zea agar menjauh darinya. Kemudian, pria itu pergi tanpa berucap sepatah kata pun.
Zea membeku. Detik berselang memejam sekilas sembari merutuk kebodohan yang sudah ia perbuat. Bisa-bisanya di hari pertama dirinya sudah membuat kesalahan.