Edgar baru saja memarkirkan Jeep Mercy G Wagon miliknya di pelataran arena menembak Picadelli Shooting Arena. Begitu masuk, ia sudah disambut oleh Shawn, Samuel, Kaivan dan juga Raphael yang memang sudah lebih dulu sampai dan bermain.
Setelah sekian lama vacum karena kesibukan, baru hari ini Edgar kembali bergabung untuk latihan menembak bersama para sahabatnya. Lagi pula, ia juga ada keperluan dengan Samuel yang harus dibahas segera.
"Astaga, Edgar. Kenapa lama sekali. Aku bosan dari tadi tidak mendapat lawan yang sepadan."
Kaivan Aldrich Winata terdengar menggerutu. Dari mereka berlima, ke semuanya memang memiliki hobi yang sama, yaitu berkuda, memanah, dan juga menembak. Hanya saja, diantara mereka memang Kaivan dan Edgar yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dalam menggunakan senjata api.
Edgar sendiri sedari kecil memang memiliki ketertarikan besar pada olah raga menembak. Terlebih sang ayah, Edward Cullen mendukung penuh hobinya tersebut. Bahkan, tak tanggung-tanggung sampai memasukkannnya ke sekolah menembak milik ayah Kaivan.
"Ada banyak urusan yang harus aku selesaikan. Lagi pula, kau bisa melawan Shawn yang kemampuannya juga sangat bagus."
"Tapi, tidak ada yang segila kau, Ed."
Mata Edgar lantas menyipit.
"Gila? Sebutan itu lebih pantas disematkan kepadamu, Kaivan. Aku ini pria terhormat yang waras. Bukan berandalan gila seperti dirimu."
Kaivan tergelak. Mana ia tersinggung dengan ucapan Edgar yang memang terkenal pedas dan juga amat ketus. Kenal akrab sejak kecil, ia hapal mati tabiat serta sifat sahabatnya itu.
"Ya Tuhan, dasar Tuan Pemarah. Ayolah, cepat ambil senjatamu. Aku sudah tidak sabar untuk mengalahkanmu malam ini."
Edgar tertawa kecil.
"Itu tidak akan pernah terjadi. Seperti biasa, malam ini kau akan kalah."
Kaivan tersenyum meremehkan. Ia amat sangat percaya diri dengan kemampuannya. Entah kenapa, ia yakin bisa mengalahkan Edgar malam ini.
"Kalau malam ini kau menang, aku akan memberikan apa saja yang kau minta."
Edgar balas menatap tak kalah antusias.
"Kalau aku kalah?"
"Maka, kau wajib mengenalkanku kepada wanita cantik yang tempo hari aku temui di rumahmu. Siapa namanya? Zea, bukan?"
Edgar lalu berdecak. Ia tatap Kaivan dengan seringai mengolok.
"Jangan mimpi hal itu akan terjadi."
Edgar kemudian gegas pergi menuju ruang penyimpanan senjata. Ia pilih baik-baik pistol yang akan digunakan untuk melawan Kaivan malam ini.
Sementara itu, Samuel yang sudah lebih dulu berada di sana terlihat menghampiri Edgar. Sebelumnya, pria itu memang sempat menghubunginya.
"Memangnya apa yang ingin kau bahas denganku?" tanya Samuel penasaran. Padahal, ia sudah bertanya saat Kaivan menelpon. Tapi, pria bertubuh kekar itu malah meminta mereka untuk berbicara secara langsung saja.
"Nanti aku ceritakan setelah selesai. Kita bisa mengobrol santai sambil minum kopi."
Samuel mengangguk setuju. Ia persilakan Edgar untuk memulai permainan.
Di babak pertama, tampak jelas Kaivan memimpin permainan. Unggul dengan score yang tinggi, pria itu berhasil mencetak poin yang mana menbuat Edgar tertinggal jauh. Kaivan sudah senang bukan main. Ia percaya diri kalau malam ini pasti bisa mengalahkan Edgar seperti biasanya.
"Lebih baik kau menyerah saja, Ed. Sudah ku katakan, tidak ada yang bisa mengalahkanku."
Edgar tertawa saja. Ia tidak perdulikan ocehan Kaivan barusan.
"Jangan senang dulu. Aku belum 100% mengeluarkan kemampuanku."
Kemudian, Edgar tampak fokus. Berusaha mengejar ketertinggalan, hingga akhirnya mampu menyamakan kedudukan.
"Apa ku bilang!" Edgar berseru. Wajahnya tampak senang. "Aku bisa mengejarmu, bukan?"
"Tetap saja kau tidak bisa mengalahkanku."
Edgar tidak perduli. Setelah 45 menit bermain, ia sudahi pertarungan bersama Kaivan dengan score imbang.
"Aku rasa ini semua lebih dari cukup."
Kaivan langsung mendelik. Dari wajahnya yang tampan, ia tampak tidak terima ketika Edgar menyudahi permainan. Baginya, harus ada pemenang yang keluar dalam pertandingan malam ini.
"Kau culas! Harusnya kita menambah durasi waktu agar muncul pemenang sebenarnya."
"Lain kali saja," sahut Edgar tampak malas. Ia bahkan sudah bersiap untuk mengembalikan senjata yang tadinya ia pergunakan. "Aku lelah. Lagi pula, ada urusan penting yang harus aku selesaikan bersama Samuel setelah ini."
"Kalau begitu, aku ikut bersama kalian. Kau harus mentraktirku minum karena sudah seenaknya menyudahi permainan."
Edgar tidak bisa menolak. Ia biarkan saja Kaivan ikut bersama dengannya dan Samuel untuk berpindah tempat ke salah satu coffe shop.
"Jadi, apa yang ingin kau bahas malam ini?"
Samuel membuka percakapan. Sejak awal ia penasaran dengan apa yang ingin Edgar bahas dengannya.
Sementara itu, Edgar memilih untuk menyesap terlebih dulu kopi yang sudah ia pesan. Dari wajahnya yang tenang, Samuel sulit sekali menebak apa yang tengah terjadi.
"Sebenarnya aku bingung harus memulai dari mana, Sam."
"Kalau begitu, langsung ke intinya saja, Ed. Tidak perlu bertele-tele. Sampaikan dengan singkat, padat, dan jelas."
Kaivan yang menyahut dengan santai. Tidak ia perdulikan Samuel yang berdecak sebal karena kesempatannya untuk memberi tanggapan diserobot oleh pria berambut undercut tersebut.
"Kaivan." Samuel menegur.
"Kenapa? Aku tidak salah, bukan? Lagi pula, kita semua sama-sama tahu kalau Edgar memang tipikal pria yang pelit berbicara. Aku bahkan bingung sebenarnya dia ini benar anaknya Uncle Edward atau bukan? Kenapa bertolak belakang sekali dengan ayahnya. Berbeda jauh juga dengan saudara kembarnya, Elea yang suka ---"
"Aku meniduri perempuan lain."
Kaivan langsung terdiam karena terkejut mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Edgar secara tiba-tiba. Pun Samuel juga memberikan respon yang sama. Pria itu sampai menatap Edgar tidak percaya.
"A-apa kau bilang?"
"Iya. Baru-baru ini aku tidur dengan wanita lain."
Samuel bergeming beberapa saat. Memastikan apa yang ia dengar, pria itu kembali bertanya.
"Maksudmu? Kau tidur ---"
"Iya, Sam," angguk Edgar. "Kau ingat kejadian saat tempo hari kita berdua minum hingga aku mabuk?"
"Aku tentu saja ingat," sahut Samuel kemudian.
"Sampai di rumah, aku sempat limbung hingga tersungkur di depan kamar. Setengah sadar, aku melihat Zea membantu untuk membopongku menuju kamar."
"Jangan bilang kalau malam itu kau meniduri Zea?"
Edgar hela napasnya dalam-dalam lalu mengangguk. Ia tidak menyanggah atau membantah tebakan yang Samuel lontarkan kepadanya.
"Aku sadar ini perbuatan bodoh dan tidak termaafkan."
"Ya Tuhan, Edgar. Lantas, bagaimana dengan Zea?"
Edgar mengedikkan kedua bahunya. Pria itu tampak bingung.
"Aku sudah berusaha untuk mengklarifikasi hal ini kepada Zea. Mau bagaimana pun juga, walau mabuk, aku ingat kalau malam itu sudah memaksanya untuk melayaniku. Tapi, anehnya Zea mengelak kalau kami berdua sudah tidur bersama dan melakukan hal-hal yang tidak semestinya."
"Aku yakin Zea pasti merasa takut dan tidak enak. Kalau boleh menebak, ia sengaja berbohong karena tidak ingin terlibat masalah yang rumit denganmu."
Edgar setuju dengan argumen yang Samuel kemukakan. Ia juga yakin kalau Zea sengaja tidak mengaku karena merasa takut atau mungkin karena ingin menghindar dari masalah besar. Hanya saja, Edgar jadi merasa begitu bersalah.
"Kaivan." Samuel kembali menegur kala mendapati sahabatnya itu malah diam, tidak secerewet sebelumnya. "Kenapa kau diam saja?"
Kaivan berdecak. Menyandarkan bahunya, wajah pria itu tampak kesal.
"Padahal, sejak pertama bertemu, aku tertarik pada Zea. Walau tahu kalau dia perempuan yang dibayar untuk hamil anaknya Edgar, aku bermakud untuk mendekatinya di kemudian hari. Tapi, kenapa sekarang jadi begini?"
"Kau pikir aku tidak merasa bersalah? Bahkan, kalau terjadi apa-apa pada Zea, bagaimana caranya aku menjelaskan ini semua kepada Jane?"
Mendengar nama Jane disebut, raut wajah Kaivan bertambah kesal. Dari awal, ia memang tidak suka dengan wanita itu.
"Ya Tuhan, untuk apa memikirkan Jane? Kau pikir istri kesayanganmu itu perduli? Kalau dia tulus sayang dan mencintaimu, mana mungkin ia meminta perempuan lain untuk hamil anak kalian."
"Sudah lah, Kaivan. Aku bosan dengan tuduhanmu."
"Lalu, tindakan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya Samuel kembali mengalihkan perhatian Edgar.
"Entah lah, Sam. Aku belum bisa berpikir banyak. Yang pasti, aku akan pelan-pelan mencari cara untuk meminta maaf kepada Zea."
***
Setelah sekian lama menunggu, tiba waktu untuk Zea kembali memeriksakan diri ke dokter kandungan. Sebelum berangkat, seperti biasa Laura meminta Zea untuk menyantap sarapan terlebih dahulu.
"Anda ingin roti isi?" tawar Laura sembari menuangkan segelas susuu hangat untuk kemudian ia berikan kepada Zea.
"Tidak." Zea menggeleng. "Aku sedang tidak ingin makan roti, Laura. Entah kenapa, beberapa hari ini, aku hanya tertarik memakan soup hangat."
"Apa Anda sedang tidak enak badan?"
Zea mengangkat kedua bahunya. Ia juga bingung dengan kondisi tubuhnya beberapa hari belakangan ini.
"Entah lah. Aku seperti kehilangan nafsu makan."
"Kalau begitu, saat memeriksakan diri nanti, jangan lupa beritahukan kondisi Anda kepada dokter Samuel."
"Benar juga." Zea tampak setuju. "Mungkin saja kondisiku jadi begini karena efek samping obat yang ku minum beberapa hari belakangan."
Di saat berbincang dengan Laura, Edgar tampak memasuki ruang makan. Zea langsung terdiam menunduk sembari menunggu Laura membawakan sup hangat yang ia pinta.
"Kau tidak makan?"
"Masih menunggu Laura mengambilkan cream sup yang ada di dapur."
Edgar mengangguk. Ia sendiri memilih untuk menikmati makanan yang sudah disiapkan untuknya. Beberapa menit berselang, Laura memasuki ruang makan dengan membawakan satu mangkuk cream sup yang Zea pinta.
Zea kala itu langsung mengambil sendok, bersiap untuk menyantap makanannya. Saat hendak menuang lada, ia begitu kesulitan untuk membuka penutupnya.
Edgar yang melihat kejadian ini langsung mengambil alih. Bantu membukakan, lalu ia berikan botol lada tersebut kepada Zea.
"Terima kasih banyak, Tuan."
Edgar mengangguk saja. Dalam keheningan keduanya menghabiskan sarapan mereka masing-masing. Begitu selesai, Edgar pun langsung membawa Zea menuju rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan sesuai jadwal yang sudah Samuel buat.
"Senang bertemu kembali denganmu, Nona Zea."
Samuel langsung menyapa dengan ramah. Ia persilakan Zea untuk segera berbaring di ranjang pasien.
Sementara Edgar yang terlihat menerima telpon penting, memutuskan untuk berbincang di luar ruangan. Ia biarkan Zea untuk beberapa saat berkonsultasi sendiri bersama Samuel.
"Bagaimana keadaanmu dua pekan terakhir ini? Apa ada keluhan?"
Zea menggeleng. Ia memang tidak merasakan keluhan yang berarti beberapa waktu belakangan ini.
"Tidak ada, dokter. Hanya saja, mood makanku tampak berantakan beberapa hari ini. Sebelumnya, aku juga sempat merasakan keram di bagian perutku. Tapi, beberapa hari belakangan sudah tidak terasa lagi."
Samuel mengangguk paham.
"Bagaimana dengan menstruasimu? Apakah lancar?"
Zea kembali menggeleng.
"Aku bahkan belum menstruasi sejak berhenti mengonsumsi obat hormonal yang dokter berikan sebelumnya."
Samuel terkesiap mendengar pengakuan Zea.
"Jadi, dari terakhir kita bertemu, kau belum juga mengalami menstruasi?"
"Iya, dok."
"Kalau begitu, biar aku periksa terlebih dahulu."
Kemudian Samuel melakukan pemeriksaan pada kandungan Zea menggunakan mesin Ultrasonografi. Ia terkejut sendiri mendapati hasil yang tidak ia duga sebelumnya.
"Ada apa, dok? Apa terjadi sesuatu?"
Samuel taruh terlebih dahulu tuas transcunder yang tadinya ia pegang ke tempatnya semula. Menatap Zea, ia pelan-pelan beri tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Nona Zea..." panggilnya lirih membuat Zea jadi sedikit cemas.
"Apa apa, dok? Sebenarnya apa yang sudah terjadi?"
Samuel diam sebentar sebelum akhirnya memberi tahu.
"Dari hasil pemeriksaan barusan, dapat disimpulkan kalau...."
"Kalau apa, dok?"
"Kalau saat ini kau sedang hamil."
Bola mata Zea melebar. Ia amat terkejut mendengar hasil yang disampaikan oleh Samuel. Tiba-tiba ingatan akan kejadian tempo hari kembali menari-nari diotaknya.
Meneguk ludahnya susah payah, Zea menebak-nebak dalam hati. Apakah janin yang ada di kandungannya saat ini adalah hasil hubungan tidak sengaja yang ia lakukan bersama Edgar?